03. Doi Pura-pura

1670 Words
Jam sudah menunjukkan pukul 22:00 malam. Alista bingung, kok Arsen belum pulang juga? Rasa khawatirnya tiba-tiba muncul. Jangan-jangan Kakaknya diculik?! Atau jangan-jangan Arsen dikeroyok oleh para Cewek? Alista terperanjat dari duduknya. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Alista mengambil jaket agar tidak terlalu dingin, kemudian menuruni tangga. Ternyata Ibu Bianca belum tidur. Alista ragu, akankah Ibunya memberi izin atau tidak. Ia melangkah se pelan mungkin agar flat shoes-nya tidak menimbulkan suara. “Mau ke mana, Al?” Bianca bertanya tanpa menolehkan kepalanya, dia masih sibuk berkutat dengan laptopnya. Alista terbelalak. Bagaimana Ibu Bianca bisa tau coba? Padahal dia kan sudah se pelan mungkin berjalan. “Anu..., Bu, aku mau ke luar.” Bianca menengok, “keluar? Semalam ini?” “Aku nanti enggak pulang sendiri kok. Ada Kakak yang nemenin.” “Jadi kamu keluar buat cari Arsen? Ibu beri izin, tapi kamu gak boleh berangkat sendiri. Ibu akan menyuruh Pak Fadlan buat nganterin kamu.” Kata Bianca. Just info, Fadlan adalah sopir pribadi Mereka. “Iya.” Alista pergi bersama Pak Fadlan. Gadis itu menyuruh sopirnya untuk berhenti di tempat perbelanjaan yang ia datangi tadi siang. Ia masuk ke tempat itu, berharap menemukan sosok yang ia cari. Tapi, kok, sudah beberapa menit dia mencari, Alista sama sekali tidak menemukannya. “dia ke mana, sih?!” gumam Alista kesal. Alista membeli satu botol yoghurt. Daripada dia masuk dan tidak membeli apa-apa, kan, tidak enak. Pak Fadlan membuka kaca mobil, “Mana Tuan Mudanya, Nona?” Alista menggeleng, “enggak ada di dalam, Pak. Sebentar aku telepon orangnya dulu.” Tangan Alista masuk ke salah satu saku jaket, sedangkan tangan satunya mulai mencari kontak Arsen. Ia memencet ikon hijau. “Nomor yang Anda hubungi sedang sibuk. Silakan coba beberapa saat lagi.” Alista merengut kesal. Tiba-tiba seseorang mendorongnya dari belakang. Kontan ponsel Alista terjatuh, menggelinding ke jalan raya. Tidak lama sebuah truk melintas dan melindas benda pipih milik Alista. Seketika ponsel itu hancur sekaligus retak hingga tidak berbentuk lagi. Alista membekap mulutnya sendiri. Kejadian singkat, namun sukses membuatnya syok. “Ya ampun, maaf.” Alista melirik tajam ke arah Cowok itu. “kalau jalan yang bener dong! Permintaan maaf lo enggak akan buat ponsel gue kembali." "Gue akan ganti rugi. Tapi lo harus bantuin gue. Please," Sang Cowok tiba-tiba memohon. Alista menatap tidak mengerti. “Lo mau enggak jadi pacar pura-pura gue?” tanya Cowok itu. Alista tambah syok. Apa-apaan. Baru saja bertemu, tapi Cowok itu sudah meminta hal aneh. “Please, tolongin gue. Kalau enggak, gue bakal dikejar-kejar terus sama dia.” Lanjut cowok itu mendesak. “Enggak mau.” Alista berpaling, hendak masuk ke mobil, tetapi Cowok itu mencekal tangannya. “Bisa lepas enggak?!” ujar Alista risih. “Sorry,” Cowok itu melepaskan genggamannya. “Sekali lagi gue mohon, tolongin gue. Gue bukan orang jahat. Dan juga ini Cuma sebentar. Lima menit. Gak lebih.” “Gue, kan, udah bilang enggak mau.” “Lo—“ “Sayang! Kenapa kamu main lari gitu aja, sih?! Aku belum selesai ngomongnya.” Manik Cowok itu membulat sempurna. Mantannya sudah datang. Dia menggandeng erat tangan Arsen. Alista melotot. “Ih. Lepasin gue.” “Sebentar, please.” lirih Cowok tersebut. Alista memerhatikan penampilan Cewek yang baru saja mendatanginya. Rok minim sekaligus baju tanpa lengan. Alista khawatir melihatnya. Hari sudah malam. Cewek itu tidak takut apa jika ada orang jahat. Eh..., ini kenapa dia jadi peduli dengan Cewek asing itu?! “Dia siapanya kamu?” “Dia pacar baru aku.” “Apa?!” Cewek itu memicing ke arah Alista. Matanya memandang turun, lantas ke atas—memperhatikan penampilan Alista. "kampungan.Kamu rela tinggalin aku demi Cewek enggak berkualitas ini? Cih, masih lebih baik aku.” “Lo bilang gue kampungan?! Sial!” emosi Alista memuncak. Baru pertama kalinya ada yang bilang seperti itu. Gini-gini, dia bisa memikat Cowok loh! Buktinya Alista pernah ditaksir oleh teman dan kakak kelasnya. Tapi Alista tolak. Ada satu Cowok yang ia terima, namun Cowok itu menghilang entah ke mana dan belum pernah kembali walau sudah 2 tahun berlalu. Alista balik memandang tajam lawannya. “Sini lo! Gue copot juga kulit wajah lo.” Alista bersiap, Cowok itu semakin kencang menangkup lengannya. “Jangan,” bisik Cowok itu lembut. "Hih! Kok jangan?!" “Fi, cerita kita udah berakhir. Kamu harusnya fokus sama Bisma yang sekarang udah jadi pacar lo. Jangan ngejar-ngejar aku lagi.” Manik cokelat Cewek itu memerah. “kamu jahat!” ia melempar tatapan tajam ke Alista. “lo juga! Dasar perebut pacar orang!” Lagi dan lagi, Alista mendengar sebutan itu. Ia muak. “Apaan, sih, Fi. Kita udah mantan bukan pacar lagi. Udah. Lebih baik, kamu pulang.” “Awas kamu!” Cewek itu pergi dengan berderai air mata. Mira terenyuh melihatnya. “Udah, kan? Lepas.” Cowok itu melepaskan Alista. “makasih lo udah bantu gue. By the way, gue harus ganti rugi berapa?" "Gak semudah itu. Ponsel emang bisa gue beli lagi, tapi kenangan yang tersimpan di ponsel itu gak akan bisa dikembalikan apalagi dibeli." Cowok itu merasa bersalah. Seharusnya ia lebih hati-hati. Baru saja akan angkat bicara, seorang Laki-laki muncul di belakang Gadis itu. Alista berbalik badan, seketika dia terpaku usai mendapati Sang Kakak tengah melihatnya dengan tatapan sulit di artikan. "Ngapain Lo paksa adik gue buat jadi pacar Lo?! Lo kira dia w************n?!" Arsen mencengkram kerah Cowok itu. Detik berikutnya, dia meninju rahang orang itu hingga terhuyung jatuh. Alista menganga. Dia bersembunyi dan memegang lengan Kakaknya, tapi Arsen malah beralih menggandeng tangannya. "Kita pergi dari sini. Lain kali Lo jangan mau disuruh yang aneh-aneh sama orang asing."' -•••- SMA Dirgantara. Alista memandang sekolah barunya dengan senyum mengembang. "Senyum-senyum kayak orang gila." ujar Seseorang di sebelah Alista. Siapa lagi kalau bukan Arsen. Alista melirik tajam. "Bisa diem enggak, sih?!" ia melemparkan pandangan untuk memastikan tidak ada seseorang. Arsen menengok. "Gak lah. Orang punya mulut tuh dipake. Jangan diem aja." "Nyebelin." Gadis itu mengerucutkan bibir dan membuang muka. "Udah gede. Sikapnya tolong disesuaikan sama umur." "Baru umur 16 kok!" "Iya, itu artinya udah gede." "Bukan gede, tapi remaja." "Tapi sikap lo kayak anak kecil." "Anak kecil gimana? Gue enggak merengek minta permen, rambut gue juga udah enggak dikepang lagi, gue pakai seragam SMA. Kalau anak kecil tuh pakai seragam TK. Mata lo kenapa, sih, Kak? Bermasalah, ya?" "Iyain aja deh. Umur enggak ada yang tau." "Apa?! Lo pengin gue meninggal?" "Hah? Enggak. Kata siapa." "Tadi bilang "umur enggak ada yang tau"." ujar Alista menirukan suara Arsen di akhir kalimat, tapi jatuhnya lucu di mata Arsen. "Itu, kan, cuma--" Alista terhenti setelah tidak sengaja mendapati beberapa murid tengah memperhatikan Keduanya. Tidak. Ini tak boleh terjadi. Dia harus bersikap normal pada Arsen layaknya orang asing yang baru bertemu. "Kenapa?" Alista mengikis jarak, Arsen mencondongkan kepala, penasaran apa yang akan dikatakan Sang Adik. "Jangan bilang kalau kita saudaraan. Gue mau sekolah dengan tenang sampai lulus, ya. Awas aja." bisik Alista. Arsen mengangguk sekali. Ia kemudian mendorong pelan tubuh Alista. "Jaga jarak." "Ish!" Alista menghentakkan kaki sebelum akhirnya ia masuk ke dalam area sekolah. Alista duduk di depan kelas yang ia tidak tahu kelas berapa. Ia menunggu kedatangan Karisa. Di sekolah ini tidak ada yang ia kenal selain Karisa. Awalnya, sih, dia berniat untuk mengajak kenalan orang yang se angkatan dengannya, tapi itu terlalu canggung. "Nungguin lama?" Karisa mendadak muncul di belakang sana dan mendudukkan diri di sebelah Alista. Perempuan itu menengok, "baru aja duduk di sini." "Kakak lo mana? Masih tidur dia?" "Ssst. Jangan sebut nama Kakak gue." "Hah?" "Jangan bilang ke siapa-siapa kalau gue adiknya dia." Karisa terbelalak. "Hah?" Alista merotasikan bola mata. "Hah heh hah heh." "Hehehe..., Ya udah. Kenapa lo enggak mau ngakuin kalau Arsen itu Abang lo?" "Karena--" "Pacar pura-pura! Ternyata kita satu sekolah." Suara yang tidak asing. Alista beralih memandang lurus. Tampaklah seorang Cowok yang ia temui di jalanan sekat perbelanjaan kemarin malam. "Cowok aneh," "Apa dia bilang?! Pacar pura-pura?!" pekik Karisa heboh. "maksudnya apa, sih? Kalian berdua pacaran?" "Jangan keras-keras, Sa." Alista melihat sekitar. Benar saja. Ada yang memerhatikan Mereka berdua. "Tuh kan jadi perhatian." "Maaf," Alista kembali melihat ke arah Cowok itu. Dia melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Alista menatap tidak tertarik. Buat apa dia menghampiri Cowok itu. Pasti yang akan dikatakan adalah 'maaf'. Ia sudah bosan dengan kata itu. "Al, gue mau ngomong sesuatu." "Eh, itu lo dipanggil, Al." Karisa menyentuh lengan Alista. "Biarin." jawab Alista cuek. Tubuh pendeknya itu berdiri duluan, meninggalkan Karisa yang masih diam di tempat. Karisa bimbang. Menghampiri Cowok itu untuk membunuh rasa penasarannya atau mengikuti Alista? Kalau dilihat-lihat, kasihan juga Cowok itu. Karisa berjalan mendekati laki-laki tersebut setelah beberapa detik berpikir. "Nama Lo siapa?" Cowok itu menjulurkan tangan, Karisa menjabat. "Rafael Carmelo." "Lo tinggal di daerah mana? Siapa tau rumah kita deket," "Teman lo ke mana?" Rafael balik bertanya, mengabaikan pertanyaan Karisa. "Nggak tau. Permisi." Karisa melangkah pergi. Rafael memandang kepergian Gadis itu. Aneh. Dia bertanya, tapi Cewek tersebut malah pergi. Yang lebih aneh lagi, dia lupa menanyakan siapa nama perempuan barusan! -•••- "Mi, Cowok tadi enggak asyik banget masa." Karisa menyalakan kran di wastafel. Ia membiarkan air mengalir di sela-sela jari. Alista menengok ke samping, "Cowok yang mana?" "Tadi. Yang manggil lo 'pacar pura-pura'. " Karisa membasuh wajahnya untuk menangkal rasa kantuk sebab tadi malam dia begadang. "Oh, Cowok aneh itu? Lo ngajak dia kenalan?" Alista menatap tidak percaya. "harusnya lo diem aja, Ris. Jangan diladenin." "Why? Orang dia manggil-manggil juga." "Iya, tapi berakhir lo kecewa kalau dia enggak asik, kan? Udah deh. Kalau mau cari gebetan, Cowok lain aja. Banyak kok." Alista mengeluarkan liptint di tasnya. Ia mengoleskan pada bibir tipisnya. "Lo pernah ngalamin cinta pada pandangan pertama enggak?" Alista terhenti. Ia menutup kembali tasnya udah memasukkan liptint. "Gak pernah." "Ish. Gak asyik lo." "Dikit-dikit enggak asyik. Ud--" "Tes.. Tes.. Satu. Dua. Tiga. Ekhem! EKHEM!" suara seseorang di speaker sana membuat seluruh murid seketika diam. "Untuk murid-murid baru tersayang, mohon berkumpul di lapangan." Mereka berdua spontan panik setelah mendengar pengumuman tersebut. "Ayo, cepet, Sa! Kita bisa telat nanti loh." "Iya sebentar napa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD