68

1029 Words
Altair datang. Tanpa buang waktu lagi, dia menendang Marsel hingga terdorong jauh dari Alista. Cowok dengan seragam dikeluarkan itu berjongkok, menatap Alista panik pasalnya dia tahu bagaimana ketika perutnya ditendang sekeras itu. “Kita ke UKS sekarang,” “Enggak mau,” tolak Alista lemah. “Kenapa? Lo pengin tetap di sini? Lo mau perut Lo ditendang dia sampai hancur, hm? Ayo pergi sebelum lukanya tambah parah,” desak Altair. Dia meraih lengan Gadis itu, dan melingkarkannya pada kedua pundak. Alista akhirnya bisa berdiri berkat tuntunan dari Altair. Kedua orang itu pergi meninggalkan Marsel yang masih tersungkur. Altair tidak berniat menghajar Marsel atau semacamnya sebab yang terpenting sekarang adalah keadaan Alista, adik temannya sendiri. Altair meletakkan Alista di brankar UKS. Pandangannya beralih pada sebuah kotak P3K. Baru saja akan mengambil, Altair berhenti karena Alista memanggilnya. “Gue enggak butuh itu. Gue pamit ke kelas sekarang, Al.” “Yakin enggak pa-pa?” “Iya, makasih udah nolongin gue,” “Beneran, nih? Gue enggak mau kena marah Arsen gara-gara gue biarin Adiknya terluka,” ujar Altair. Alista mengerjap. Dia harap dirinya salah dengar. “Hah?” “Gue tau kalian Adik kakak. Kenapa enggak bilang ke yang lain dari awal? Tingkah kalian bikin gue bingung tau enggak,” ujar Altair. Barulah Alista sadar, dia tidak salah dengar. “Maaf,” “Lupain. Mending sekarang, Lo jangan ketemu Marsel lagi. Kalau dia berniat jahat ke lo, jangan ragu buat telepon gue. Gue selalu siap,* Altair pergi meninggalkan Alista saat itu juga. Gadis itu terenyuh, menyadari Altair yang terkenal playboy dan anak langganan guru BK, ternyata bisa sepeduli ini padanya. Namun, detik berikutnya Alista terduduk. Pikirannya tengah mencari cara bagaimana dia bisa menghapus video itu. Dirinya jelas tidak ingin mencuri surat-surat penting Ibunya. Dia tidak akan melakukan hal buruk tersebut. “Gue harus gimana sekarang,” monolog Alista gusar. "Al! Please, ikut gue!" Karisa datang begitu saja dan langsung menarik lengan Alista untuk keluar dari sana. Alista yang tidak tahu apa-apa, hanya bisa menurut dengan seribu pertanyaan yang terpikirkan. Kerumunan bagaikan semut yang tengah menggerumuti permen manis itu dapat diterobos dengan mudahnya berkat bantuan Karisa hingga tampaklah dua orang saling melayang tinju. Mereka bertengkar, saling menimpa tubuh masing-masing. Bunyi keretak membuat orang sekitarnya berdesis ngilu usai Marsel menonjok hidung Arsen. "Kak!" teriak Alista spontan yang langsung dihadiahi oleh tatapan mata teman-temannya, termasuk Marsel. Alista bergerak mendorong kasar tubuh Marsel hingga tercipta jarak dengan Arsen. "Lo kenapa, sih, Sel! Dia enggak salah apa-apa, kenapa Lo malah pukul dia tanpa alasan?" tanya Alista hampir berteriak. "Kak, kita obati lukanya sekarang," Arsen tak menyahut. Rasa perih yang mendera di hidungnya membuat dia acuh dengan semuanya. Alista berdiri sembari menuntun Arsen untuk pergi dari sana. Sementara Marsel memandangi Mereka berdua sambil menyeka darah yang keluar di sudut bibirnya. "Ar!" panggilnya tiba-tiba. Yang dipanggil berhenti. Mau tidak mau, Alista juga ikut berhenti. Marsel tersenyum miring. "Tubuh Adik Lo bagus juga. Gue enggak sabar buat sebar video itu," "Sialan!" Arsen melepaskan genggamannya dari Alista. Cowok itu berlari menghampiri Marsel dan kembali mencengkram kerah seragam Marsel, namun sebelum tinju melayang, seseorang di belakang telah menarik tubuh Arsen hingga cengkeramannya terlepas. "Sudah kedua kalinya kamu membuat onar. Arsen, Marsel, ikut saya sekarang!" Perintah Pak Dodi garang. "Apa yang kalian tonton? Pergi sana. Sudah waktunya masuk kelas malah berkumpul di sini!" sergah Bu Ani tidak kalah garang. Mereka akhirnya bercerai berai kembali ke kelasnya masing-masing, terkecuali dengan Alista yang memilih untuk mengikuti ke ruang BK. "Al, kita ke kelas aja sekarang, yuk," cegah Karisa yang sadar pergerakan sahabatnya tersebut. "Enggak mau," "Harus, Al. Cukup kakak Lo aja yang masuk ke ruang itu, tapi Lo jangan sampai. Lo mau Tante Bianca tau dan kekecewaannya dua kali lipat?" Alista menghela nafas sejenak, sampai dia berbalik badan, berjalan berlawanan arah ke ruang kelasnya. ***** Semua murid sudah berangsur kembali ke rumahnya. Alista masih di sini. Di tepi jalan untuk menunggu angkutan umum melintas. Kepalanya tidak jeda menengok ke kanan kiri. Tanda-tanda kendaraan itu akan datang, belum terlihat juga. "Sendirian aja, nih? Enggak mau diantar sama gue, sayang?" bisikan itu membuat Alista merasa Dejavu. Perempuan tersebut menengok ke belakang. Kakinya refleks melangkah mundur mendapati Marsel tengah menyeringai di dekatnya "Pergi!" "Lo enggak memohon buat balikan ke gue? Semua kelemahan lo udah gue tau, paham? Apa yang Lo suka dan enggak Lo suka. Gue tau apapun tentang Lo. Semuanya ada digenggaman tangan gue." "Gue enggak mau tau! Sekarang Lo pergi dari sini." tekan Alista sekali lagi. Sirat frustasi kentara jelas dari suaranya. "Gue kasih Lo waktu tiga hari. Selama itu, Lo harus berusaha apapun biar bisa ngambil surat-surat penting yang ada di rumah lo. Atau enggak, aib lo bakal gue sebar ke seluruh kota ini bahkan dunia biar Lo enggak punya keberanianpun untuk menampakkan diri ke semua orang!" *** "ARGGGHH!" Alista meremas rambutnya frustasi. Dia membanting semua barang di dekatnya hingga berserakan di meja. Perempuan dengan mata sembab itu tersungkur ke bawah. Dia lantas memeluk lututnya sendiri, menenggelamkan kepalanya di antara lipatan paha. "Gue benci! Gue benci! Gue nyesal! Gue bodoh!" Alista terus memukul kepalanya sendiri. Ia merasa tidak berdaya sekarang. Pemikirannya seolah buntu. Dirinya tengah ditarik oleh dua pilihan yang membingungkan. "Ya ampun, Non. Kenapa atuh?" Bi Hanifah datang. Melihat benda berceceran di sekitarnya, membuat dia meringis. Rautnya juga ikut prihatin mendapati keadaan Alista yang berantakan. "cerita ke Bibi, Non. Jangan dipendam semua. Tidak baik," Bi Hanifah berjongkok di dekat Alista. Bukan menjawab, Alista mendadak berdiri. Bi Hanifah yang melihatnya perlahan bangkit. "Non mau ke mana? soal pakaian, biar Bibi yang beresin." Katanya panik. Alista seakan tidak mendengar suara itu. Setelah mengeluarkan koper besar berwarna hitam, dia mulai memasukkan semua baju seisi lemarinya ke dalam benda itu. Dia tidak mempunyai muka lagi untuk menghadapi Arsen yang mungkin sudah melihat video itu dan juga Alista tidak mau terus berada di dalam belenggu Marsel. "Non mau ke mana? Jangan tinggalin rumah ini, Non. Nanti saya dimarahi. Kalau Non tidak bisa bercerita pada Bibi, bibi akan menelepon Nyonya sekarang juga, asalkan Non tidak boleh pergi," Alista diam membisu. Dia meraih jaket yang tergantung di dinding. Tidak lupa kacamata dan masker. Usai memakai semuanya, dia pergi sambil menggeret koper itu. Untuk saat ini dia ingin sendiri dan menghilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD