69

1102 Words
Alista masuk ke dalam taksi kebetulan melintas. Ia memandang ke arah luar jendela dengan tatapan kosong. Mendadak ponsel di sakunya bergetar. Alista terperanjat. Ia meraihnya, tertera nama Karisa di sana. Tanpa berpikir lagi, Alista memencet ikon merah. Tidak tanggung-tanggung, dirinya juga mematikan ponselnya, kemudian meletakkannya di tas. "Ke mana, Neng?" tanya Sang supir. "Apartemen di dekat sini," Sekitar tiga puluh menit, Alista sampai di depan sebuah apartemen besar, tempat yang akan menjadi singgahnya. Perempuan itu membuka pintu, hendak keluar bersamaan dengan tangannya yang menggantungkan tas selempang di pundak. Setelah memberikan uang, pandangan Alista beralih pada apartemen besar itu. Kedua matanya dibuat terbius. Saking seriusnya, dia tidak sadar ada seorang laki-laki yang sedang memperhatikannya. Namun Alista mempunyai insting kuat. Ia menolehkan kepala, seketika merasa ngeri melihat Pria paruhbaya memandangnya dengan aneh. Alista menggeret kopernya, mulai berjalan, namun baru saja dua langkah, tiba-tiba tas selempangnya direbut oleh seseorang. "COPET!" lengkingan Alista yang kelewat keras itu berhasil membuat Bapak-bapak bergerak spontan mengejar Laki-laki tengah berlari yang menjadi tersangka pencopet itu sendiri. Alista memukul pelan kepalanya. "Kenapa gue bisa ceroboh," hal yang ia pikirkan bertambah, terlebih lagi di dalam tas itu terdapat dompet, ponsel, peralatan make up dan kartu identitas. Dia mendarat duduk di bangku halte sambil memukul pelan kakinya yang pegal. Tidak lama, Bapak-bapak itu datang dengan raut panik yang menambah ketakutan Alista. "Pencopetnya berhasil kabur, Neng." "Iya, larinya cepat sekali." "Kami kehilangan jejak di tengah kerumunan pasar," "Maaf, Neng. Atau Neng bisa lapor saja ke pihak polisi dan menyebutkan ciri-ciri pelakunya. Insyaallah, tertangkap." Tubuh Alista semakin melemas. Tapi melihat raut kelelahan Bapak-bapak itu, membuatnya tidak enak. "Enggak apa-apa, Pak. Nanti saya akan ke kantor polisi untuk melapor. Terimakasih sudah membantu saya menangkap pelakunya," "Tidak masalah. Lain kali Neng hati-hati. Di sini banyak pencopet dan memang sering terjadi beberapa kali," Alista balas mengangguk sekaligus tersenyum. Setelah Bapak-bapak itu berlalu, Alista membungkukkan badan. Jarinya memijit kening, bingung memikirkan apa dan ke mana ia akan pergi selanjutnya. Tidak mungkin juga ke apartemen, mengingat ada biaya yang harus ia keluarkan. Dirinya sudah tidak punya apa-apa sekarang. "Kak Alista?" Kedua mata Wanita itu spontan terbuka. Dia mendongak, dan mendapati Sesil berdiri di depannya dengan tatapan polos. "Kakak ngapain di sini? Kak Arsen sama Tante Bianca mana?" Sesil menengok ke sekitar Alista, tetapi orang yang ia cari tidak kelihatan juga. "Di rumah," "Terus Kakak mau ke mana?" "Lo ada tempat penginapan cadangan? Gue minta kuncinya. Nanti gue akan bayar setelah gue dapat pekerjaan," Sesil mengernyit tidak mengerti. Dia beralih mendarat duduk di samping Alista. "Kakak ada masalah apa? Kenapa pergi dari rumah? Coba kasih tau Sesil. Siapa tau aku bisa bantu," ujarnya berusaha membujuk, namun sepertinya Alista tidak tertarik akan hal itu. "Enggak," Sesil paham. Dia sama sekali tidak marah atau semacamnya. "Oke kalau Kakak enggak mau cerita sekarang. Aku maklumi kok. Tapi sorry, aku nggak punya tempat penginapan. Lebih baik Kakak pulang aja ke rumah Papa. Gimana? udah lama juga, kan, Kakak enggak pulang? sekalian mempererat hubungan biar Papa berubah baik ke Kakak," Sesil memperhatikan wajah Alista, berharap mendapat respons anggukan kepala. "Enggak," lagi, Alista menjawab dengan jawaban sama. Sesil membuang nafas perlahan. Ia raih telapak tangan Alista ke dalam genggamannya. "Kak, mau sampai kapan Kakak terus menghindar dari Papa? Terus kalau Kakak menolak ajakan aku, Kakak mau tinggal di mana? ayolah, Kak. Lama kelamaan Papa akan luluh, kok," desak Sesil, sambil menarik lengan Alista. "Jangan paksa gue bisa enggak, sih?" sinis Alista, lantas menarik lengannya dari genggaman Sesil. Sesil menunduk. Bibirnya mengerucut. "Aku enggak memaksa, Kak. Aku bilang begitu demi kenyamanan Kakak juga," "Enggak usah pura-pura. Lo yang udah menyebabkan gue diusir dari rumah enam tahun lalu dan sekarang Lo sendiri yang ngajak gue ke rumah itu? Lo mau bikin gue diusir untuk kedua kalinya?" sarkas Alista. Sesil langsung menggeleng cepat. "Bukan begitu, Kak. Iya, di masa lalu aku memang salah. Tapi itu dulu, bukan sekarang. Maafin aku. Sekarang aku janji enggak akan fitnah Kakak lagi. Semua orang berubah. Apa Kakak enggak percaya itu?" "Semua orang tetap sama. Enggak ada yang berubah. Gue enggak percaya kata-kata Lo sekarang. Jangan pura-pura polos lagi di hadapan gue, Arsen dan Ibu Bianca." balas Alista tegas. Dia berdiri dengan membawa koper dan melangkah asal tanpa tujuan. Entahlah. Dia hanya ingin menjauh dari Sesil sekarang. "Aduh!" seorang wanita tiba-tiba menabrak Alista yang sedang tidak fokus. Mungkin Alista akan terjerembab kalau dia tidak bisa menahan tubuhnya. Kedua netra itu mengarah pada seorang perempuan di depannya dengan tatapan sinis. "Kalau jalan yang benar dong!" "Maaf, tadi aku enggak sengaja." "Enggak sengaja atau emang sengaja?" sungut Alista mulai terpancing emosi. "Enggak sengaja. Lagian kenapa, sih? Enggak ada tubuh Lo yang terluka, kan? jangan lebay gitu napa, Mbak!" balas anak itu tidak kalah sinisnya dengan Alista. "Berani, ya. Umur berapa, sih, lo?" "Dua puluh. kenapa?" perempuan itu malah berkacak pinggang. "Gue tujuh belas. Seenggaknya, sopan dikit ke gue yang lebih muda dong," "Sopan? Hih! Lo nya aja enggak punya attitude," "Yura!" Wanita berpakaian rapih itu menarik putrinya menjauh dari Alista. Dia membungkuk beberapa kali. "Maafkan putri saya. Dia memang perlu diajarkan sopan kepada orang yang lebih tua," "Eh, enggak pa-pa, kok, Bu. Maaf juga saya tadi sempat marah ke putri Ibu," Mendengar suara yang familiar barusan, wanita bername tag Vania itu memandang lurus ke wajah Alista. Bibirnya perlahan tersenyum haru. Alista bingung dengan tatapan wanita itu. Apakah di wajahnya ada yang salah? "Aisha?" Nama itu... Alista heran, darimana Wanita ini tahu namanya yang dulu? Lebih terkejutnya lagi Vania memeluk Alista dengan erat, seolah seorang Ibu yang tidak bertemu Putrinya selama beberapa tahun. "Ibu kenal dia?" kata Yura, ikut bingung juga mengapa Ibunya memeluk orang asing. "Mohon maaf, Tante siapa, ya?" tanya Alista pelan. "Kamu sudah tumbuh begitu besar. Maaf, Bibi tidak ada di saat kamu tumbuh. Sekarang bagaimana keadaan semuanya? Farhan? Nela? Sesil? apa mereka baik-baik saja?" Alista mengerjap tidak percaya. Satu hal lagi yang membuatnya tambah bingung. "Mereka baik-baik aja. Tante siapa?" "Aku adalah adik Ibu kandung kamu. Apa kamu lupa dengan wajah Bibi? Selama beberapa tahun Bibi sudah mengurusmu padahal," Alista mengingat-ingat kembali, namun berakhir mustahil. Dia saja tidak ingat masa SD nya apalagi masa kecilnya. Tapi Alista tidak boleh percaya begitu saja. "Apa Bibi punya bukti?" "Sebentar. Aku mempunyai fotoku bersama Leanna," Vania terlihat merogoh tas. Alista dengan penasaran terus memperhatikan. "Dia Aisha, Bu?" Yura memperhatikan Alista dari bawah sampai atas. Yang diperhatikan hanya bisa diam dengan seribu pertanyaan yang terngiang di kepala. "Ini," Alista langsung menerima foto yang diserahkan oleh Vania. Di sana tampak dua orang wanita muda mungkin seumuran dengan dirinya tengah tersenyum. Salah satu wanita itu adalah Leanna, Ibunya. Ia sangat mengingat bagaimana bentuk wajah Sang Ibu. "jadi Tante... Bibi aku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD