18. Kekesalan

1482 Words
“Aduh, iya-iya. Galak amat lo," kalau saja dia sedang tidak memakai helm, sudah dia usap telinganya karena suara Alista begitu pengang. Gadis itu tak menanggapi. Kepala Alista sesekali menengok ke belakang untuk memastikan tidak ada orang yang mengikutinya. "Kak,Karisa belum liat kita pergi, kan?" "Belum. Masih serius ngobrol sama Rifka dia. Tenang aja,Al. Gak ada yang ngikutin," "Kalau ada gimana?" "Ya, kita kerjain dia, lah. Apa susahnya," sahut Arsen, terdengar samar-samar karena suaranya meredam akibat seru kendaraan yang lewat. Beberapa menit Mereka menempuh perjalanan dan memilih untuk diam, akhirnya Mereka sampai di depan sebuah rumah besar bercat putih dengan gerbang tinggi yang terpasang. Alista turun terlebih dahulu, dia melepaskan helm dan menyerahkannya pada Arsen. Alista memandang lama rumah itu. Semoga saja Sasya tidak pindah rumah juga. Karena kalau tidak, dia akan lebih sulit mencari keberadaan Gadis itu. Tujuan mereka ke sini untuk memastikan saja karena pernyataan yang dilontarkan anak buah Ibu mereka tidak membuat keduanya puas. “Yuk,” ajak Arsen usai meletakkan helm di atas motor. Alista melenggut. Mereka berdua berjalan menghampiri pos satpam yang ada di sana. Arsen menengok ke dalam, ternyata satpam itu sedang tidur. Mana mendengkur lagi dan dengkurannya sebelas duabelas dengan Altair. “Bangunin gih,” titah Alista, dia berdiri di belakang Arsen. “Ekhem! Pak permisi!” sentak Arsen seraya mengetuk-ngetuk meja pos satpam tersebut. “Apa? Minta sumbangan? Udah gede gitu kok minta-minta. Kerja sana!” balas Satpam itu tanpa membuka topi yang menutupinya. “Ya ampun, Pak...” Arsen mengelus d**a. Memang se rendah itu wajahnya sampai dianggap peminta sumbangan. Dia melirik Alista yang sedang terkekeh tanpa dosa sama sekali. “Jangan ketawa,” “Baru kali ini lo disangka peminta sumbangan!" tawa renyah Alista kembali terdengar dan itu membuat telinga Arsen memanas. “Gue enggak akan kasih uang buat beli boba sekarang.” “Ish! Jangan begitu. Gue juga enggak bakal mau beresin kamar lo lagi!” ancam Alista. Biasanya sih hanya berkata saja. Paling beberapa hari ke depannya dia tetap membersihkan karena Alista itu termasuk golongan Cewek yang tidak tegaan. “Woy, Pak. Saya sepupunya Sasya. Bapak akan saya laporkan ke Ibunya Sasya karena sudah tidur di jam kerja,” kata Arsen, mempertegas gaya bicaranya. Pak Satpan itu bereaksi. Dia membuka topi yang menutupi kepala, kemudian duduk tegap. Matanya menatap panik. “Maaf, Tuan. Tadi semalam heboh ada maling di sekitar komplek sini. Jadi saya tidak tidur untuk berjaga.” ucapnya membuat Arsen mengerti. Pria yang sepertinya berumur 30 tahunan itu beranjak keluar posnya. Dia membuka kunci gerbang. Alista mengernyit. Kok gerbangnya dikunci? Padahal masih sore-sore begini. Arsen menengok ke arah Alista. Seketika tatapannya berubah jengah. Gadis itu malah memperhatikan hal lain. Tangannya bergerak menggandeng lengan Alista. “Mau sampai kapan diam di sini terus?” kata Arsen. Alista yang mendengarnya pun tiba-tiba tergemap. Ia tersadar dari lamunannya. Spontan, Alista menarik lengannya dari genggaman Arsen. "Apaan, sih, pegang-pegang." misuhnya tidak terima. "Yaelah. Kalau gue enggak pegang, lo mungkin akan ngelamun sampai malam." Sampai di depan pintu, Arsen memencet bel rumah. Tidak membutuhkan waktu lama, seorang wanita yang sudah tidak keriput dan rambut telah memutih itu muncul mengenakan daster bermotif abstrak. “Kalian? Siapa, ya?” “Kenalin Saya Arsenio Kavindra. Ini teman saya, Alista, Tante. Kami berdua teman sekelasnya Sasya. Dia ada di rumah enggak?” tanya Arsen ramah. Sekejap, ekspresi wanita itu berubah menjadi murung. Bibirnya datar. Raut wajahnya berubah seketika menjadi tidak bersahabat. “Pergi dari sini!” “Apa?” Alista menggeleng tidak percaya. “kita teman baiknya Sasya di sekolah kok. Kedatangan aku di sini bermaksud baik- baik. Bukan yang aneh, Tan. Sebentar aja. Tante boleh ngawasin ketika aku ketemu dia,” “Tetap tidak bisa. Sebaiknya kalian pergi atau saya panggilkan satpam,” “Tante, jangan gitu—“ “Satpam! Cepat ke sini!” potong Wanita itu. “Tante, kasih kesempatan buat kami. Kami berdua tau apa yang dialami Sasya. Dan sekarang Sasya butuh dukungan dan kasih sayang buat keluar dari trauma itu. Saya sama teman saya ini berniat untuk mengeluarkan Sasya dari trauma itu, Tan.” Jelas Arsen panjang lebar, berusaha membuat Wanita yang belum tahu namanya itu, luluh. “Tidak. Bagaimana saya bisa mempercayai perkataan kalian. Sasya tidak boleh bertemu dengan sembarang orang saat ini. Dia sudah pergi jauh dari sini! Dan jangan berharap saya akan memberitahu lokasinya. Satpam! Hey, kemari!” nada bicara Wanita itu naik empat oktaf bersamaan dengan tangannya yang melambai-lambai. Satpam itu berlari mendatangi, “Iya, Ada apa, Nyonya? Perasaan mobil sudah saya cuci kemarin,” “Usir Mereka!” titah wanita itu mutlak. Alista menggeleng-geleng. “Tan, kasih kami kesempatan satu kali aja. Please, Tan. Setidaknya kasih kami clue tentang tempat tinggal barunya sekarang. Ini penting, Sasya—“ “Loh, bukannya Mereka berdua ini sepupu Sasya?” Satpam kebingungan sendiri. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wanita itu kini memandang sengit ke Alista dan Arsen. “Dari awal saja kalian sudah berbohong. Apa alasan yang tadi kalian katakan tadi hanya kebohongan juga? Pergilah. Sasya butuh ketenangan untuk keluar dari trauma pelecehan itu. Dia tidak butuh siapapun untuk mendampingi. Dia hanya butuh orang-orang terdekat dari keluarganya bukan kalian.” Pandangannya kini beralih pada Satpam yang masih saja terpaku. “mereka bukan sepupu Sasya. Bawa Mereka pergi dari sini. Jangan biarkan Mereka datang ke rumah ini lagi,” “Baik, Nyonya.” Satpam itu berdiri mendekati Alista, lantas memegang lengan kurus perempuan tersebut. Arsen yang melihatnya langsung melirik sinis. Dia melepaskan genggaman Kak Satpam tersebut dari lengan Adiknya. “Jangan sentuh dia. Kami bisa berjalan sendiri,” kata Arsen, menarik lengan Alista ke dalam genggamannya. Sementara wanita itu sudah masuk ke dalam rumah kembali, Arsen membuang nafas perlahan. “Udah. Ayo pergi,” “Tapi, Kak, Sasya—“ “Lo udah liat gimana, kan, reaksi neneknya? Lain kali aja, ya?” “Kak...” “Lis...,” panggil Arsen balik. Bahu Alista melemas. Dia akhirnya mengangguk dan berbalik, memunggungi rumah itu. Arsen menyusul langkah Adiknya. Dia menilik wajah Alista yang terlihat murung. “Seenggaknya, kita udah berusaha,Lis. Jangan cemberut lagi dong. Nanti gue disangka ngapa-ngapain lo lagi,” Arsen berusaha mengimbangi langkahnya dengan Alista. “Senyum dong,Lis. Nggak enak dilihat tau.”tapi gemesin, sih. Lanjut Arsen dalam batin. Mereka sudah keluar dari area rumah itu. Arsen meraih helm, kemudian menyerahkannya pada Alista. “gue beliin boba sepuluh, ya? Atau berapa? Gue yang bayar semua. Lo senyum dong. Ayo senyum. Cantik-cantik kok enggak senyum.” Katanya, masih berusaha membujuk. Arsen maju, dia menarik kedua sudut bibir Alista. “nah, gini, kan, cantik.” Matanya tiba-tiba tertarik pada pipi Alista yang agak berisi. Tanpa aba-aba, ia mencubit pipi tersebut. “makin gemesin, lo, ya. Squishy aja kalah." “Ih, lepasin. Nanti pipi gue kendor.” Alista menampik kedua tangan Arsen. Ia mundur tiga langkah, menghindar dari Kakaknya yang mulai menyebalkan. “Biarin,” “Jangan niru kata-kata gue dong. Kreatif dikit napa.” gertak Alista dengan nada kesal. “Udah ayo. Mau sampai kapan berdebat di sini? Sampai lumutan?” Alista mendengkus. Ia akhirnya memakai helm, kemudian naik menyusul Kakaknya. Mereka pergi dari rumah Sasya. Alista sebenarnya masih tidak rela. Dia mau mendampingi Sasya. Itu saja. Alista yakin Gadis itu tidak bisa menahannya sendiri. Tapi wanita tadi yang melarang Mereka, membuat mood Alista seketika menjadi jelek. Arsen menghentikan motornya di tepi jalan dekat sebuah pedagang boba. “Ngapain di sini?” “Beli boba buat lo,” Arsen kini menengok. Mata Keduanya bertemu. “lo enggak akan nolak, kan?” “Enggak, sih,” Alista tidak munafik. Nyatanya dia lapar sekarang. Meminum boba sepertinya bisa mengganjal rasa laparnya. “Boba nya lima, Mang.” ujar Arsen langsung di iyakan oleh pedagang itu. Arsen menyeluk saku, dia rogoh-rogoh. Keningnya berkerut. Perasaan uang sakunya masih tersisa, namun kenapa sakunya malah kosong. Atau ia tak sadar sudah menghabisi uang sakunya. Arsen menatap Alista yang sedang melihat ke arah lain. “Al,” “Hm?” Alista menyahut tanpa menolehkan kepala. Kedua matanya yang berbinar-binar itu terus memperhatikan boba-boba yang tengah disiapkan. Namun beberapa detik berlalu, Arsen tidak kunjung buka suara. Alista menengok, memandang Arsen. Melihat raut Kakaknya seperti itu,tatapan Alista berubah menjadi horror. “jangan bilang duit lo abis,” “Dari mana lo tau soal itu?” “Duit lo beneran abis?” mulut Alista menganga. Ia membekap mulutnya sendiri. “mampus! Itu boba nya udah dibungkus. Terus siapa yang bayar nanti? Mana uang saku gue enggak sisa juga lagi! Jahat, lo. Harusnya dari tadi kek lo bilang kalau duit lo abis,” Alista bergerak gusar. Dia menggigit bibir bawahnya. Ah, bagaimana ini. Tidak mungkin Mereka mengutang. “Permisi Mas, Mbak. Ini pesanannya,” Alista membuang muka ketika pedagang itu mulai menegur Mereka. Tangan Alista menyenggol sikut Arsen. “Kak, tanggung jawab sana. Lo aja yang ngomong, “ “Lo yang mau minum boba, kan?” “Tapi tetap aja. Kan, dari awal lo bilang mau bayarin? Kakak gimana sih?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD