17. Alista POV

2057 Words
"Wey, saran gue jangan dekat-dekat dia," Suara itu jelas aku sangat mengenalnya. Aku menengok ke belakang, benar dugaanku. Tampak Marsel dan Brian. Seragam Mereka dikeluarkan. Aku bisa melihat, Mereka tidak memakai kaus kaki. Sepatu Mereka juga terlihat berdebu. Aku berdiri, tidak ingin berurusan lebih jauh lagi. Tentu aku tau bagaimana akhir jika aku berdebat dengan Mereka. "Eh, Alistayang, kenapa pergi? Gue kangen nih debat sama lo." Marsel hendak memegang tanganku, aku menepis. "Nggak." Aku berjalan mendekati Karisa dan Rifka. Dengan adanya Mereka, aku merasa lebih aman. "Al!" Seseorang memanggilku. Yang jelas bukan Marsel. Aku akan menoleh, tapi rasanya tidak mungkin. Tidak untuk saat ini. "Tadi lo sama Bagas ngapain?" Karisa menyambutku dengan tatapan menggoda. "Cuma ngobrol sedikit aja." "Jujur aja kalau lo suka sama Bagas, Al. Nanti gue comblangin kalian." Rifka begitu lancang ucapannya. Aku, kan, jadi malu. Takut yang lain dengan. Lagi pula, Rifka terlalu berlebihan. Aku duduk dan berbincang sekilas saja, dia main menduga kalau aku ada perasaan. "Enggak, Rif." aku duduk, di sebelah Karisa. Aku melihat ke bangku tempat tadi aku dan Bagas berbincang. Brian dan Marsel terlihat berbicara pada Bagas. Mereka sesekali melirikku, saat itulah aku memalingkan muka, enggan menatap. Pasti... Mereka berdua telah membisikan sesuatu yang buruk padaku. Ah, biarlah. Aku berusaha untuk tidak peduli. Sorakan Murid merebak riuh di setiap sudut lapangan. Tidak sedikit dari mereka yang meneriaki nama Kakakku, Arsen. Tak lama, terdengar suara 'hore' menandakan orang yang Mereka dukung, menang. Aku tersentak. Karisa tiba-tiba menyikut lenganku. "Kakak lo menang," "Kakak? Kakak siapa?" Aduh, mampus. Aku merutuki Karisa. dalam batin, seharusnya dia tidak bilang seperti itu. Karisa terlihat menengok ke arah Rifka, "Ka-- kakak.. Hans. Iya, maksud gue itu." "Yang menang Arsen bukan Kak Hans," ralat Rifka. "Eh, lihat deh! Arsen ganteng banget ya." aku terpaksa berkata demikian untuk mengalihkan perhatian Rifka. Kalau kakakku mendengar perkataan ku tadi, sudah pasti rasa percaya dirinya meningkat dan ujung-ujungnya kebanyakan gaya. Aku melihat lagi ke lapangan, Seorang Cowok dengan keringat di tubuhnya memperhatikanku. Aku tidak tahu namanya. Sepertinya dia kakak kelasku. Aku menengok ke belakang, tidak ada siapapun. Aku menggelengkan samar kepalaku. Bisa saja kan Cowok itu memandang Karisa atau mungkin Rifka. Semua murid berangsur-angsur pergi meninggalkan luasnya lapangan. Kecuali Rifka, Cewek itu fokus selfie-selfie sendiri. Sedangkan Karisa juga ikut-ikutan. "Gue pergi duluan, ya," aku pamit. Darimana tetap di sini, tidak ada gunanya. Lebih baik aku pergi saja. "Yah, si Alista main pergi aja." "Al, tunggu dong." Aku terpaksa berhenti. Belum sempat menoleh, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Orang [Jangan lupa makan di kantin istirahat nanti.] Itu pesan dari kakakku. Aku tidak menjawabnya dan kembali memasukkan ponsel ke saku. Tahu-tahu Rifka dan Karisa sudah ada di belakangku. "Cieeee... Siapa tuh?" Rifka lagi-lagi menggodaku. Alisnya naik turun. Aku gemas melihatnya. "Itu Bagas, ya, Al?" duga Karisa, menatapku penasaran sama seperti Rifka. "Bukan. Itu tadi Ibu. Biasalah, dia takut anaknya nggak istirahat." jawabku, menyeka keringat dingin yang entah kapan sudah keluar. "Masa? Sini coba gue liat. Siapa Cowok yang lagi deketin lo. Siapa tau, kan, dia temen gue." Oh Tuhan, dari arah mana Rachel datang? Dia mengambil ponselku begitu saja di saku rok seragam ku. Lancang sekali. Perasaan aku tidak pernah berbuat salah pada dia. Kenapa dia mengusik? "Balikin." aku berusaha meraih ponselku. Rachel mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan dia justru menjauhiku beberapa langkah. Ah, menyebalkan. "Orang?" Sial. Dia sudah melihat kontak Arsen. Untung saja aku menamainya tidak jelas. "Wah, orang siapa, nih? Kok isi chatnya ribut mulu? Sebaiknya gue telefon aja, ya, buat bantu kalian biar akur." Rachel sepertinya akan memencet ikon hijau. Gawat! Ini tidak boleh. Aku memandang Karisa, berusaha meminta pertolongan. Semoga saja temanku itu peka. "Bukan urusan lo. Siniin HP gue!" gertak ku. Tidak mempan di telinga Rachel. "Heh. Lo nggak punya sopan santun? Balikin HP temen gue!" Rifka protes. "Hel, balikin. Bukannya lo nggak suka Alista? Ngapain lo ngurusin hidup dia?" kali ini Karisa yang angkat bicara. "Bodo." Aku geram. Tanganku terulur, akan menjambak rambut Rachel. Tapi dia malah menjauh. "Eits. Lo bisa masuk guru BK, lhoo. Udah, diem aja. Gue bakal bantu kalian berdua buat baikan," Rachel terlihat terbelalak. Aku yakin sambungannya sudah terhubung. Ku lihat Arsen di tepi lapangan sana, jauh dari posisiku. Arsen rupanya melihat ke arahku. Aku menggeleng pelan, dia balas mengangguk. Seketika ketakutanku lenyap. "Kok nggak aktif sih?!" Rachel mengadu. Aku merebut paksa ponsel itu. "Kayaknya gue harus bilang ke orang tua lo biar Mereka kasih tata cara sopan santun." setelahnya, aku melenggang pergi. Aku yakin Karisa dan Rifka mengikuti dari belakang. "Lo mau istirahat, Al? Gue nitip dong. Mager tau," Rifka menjejeri langkahku. Aku menengok ke samping. Kok Karisa tidak ada? "Karisa mana, Rif?" "Dia ke kamar mandi. Jadi gimana? Lo mau kan beliin gue makanan?" Aku melenggut sebagai jawaban. Rifka memberikanku satu lembar uang berwarna biru. Kalian bisa tebak sendiri kan berapa jumlahnya. Aku memasuki kantin. Di sini kebanyakan Cowok. Ada juga murid perempuan, tapi hanya beberapa. "Kalian tau berita itu?" "Belum. Berita soal apa?" "Sasya. Rumornya Sasya pindah karena dibully si Kiara sama temen-temennya itu." Salah satu dari murid itu mengangguk. Aku jadi tertarik dengan pembicaraan Mereka. Ku tarik bangku, lantas duduk. Jaraknya tidak jauh. Hanya terhalang satu meja saja. "Serius? Masa sih? Gue lihat Mereka baik-baik aja. Gak pernah ribut juga." "Ye, lo cuma liat di depannya doang. Bukan di belakang." "Liat buktinya." "Nggak ada lah. Kan, itu cuma rumor doang." "Udah termasuk hoax itu mah." Aku mendesau lega. Mereka belum tahu hal itu. Yang jelas, aku tidak akan mengasih tau. Aku takut jika salah satu dari Mereka atau murid di sekolah ini akan mem-bully Sasya ketika Mereka bertemu dengan dia. Mbak Yeni, penjual bakso di kantin ini menghampiriku dengan senyum ramahnya. Aku tau nama dia dari Rifka. "Mie ayam dua, ya, Mbak. Yang satunya jangan dikasih seledri sama saus. Oh, iya, satu es lemon juga." jawabku saat ditanya mau pesan apa. Aku meraih ponsel, berniat mengirimkan pesan ke Arsen. [Kak, Sasya pindah. Bisa minta tolong nggak? Minta alamatnya Sasya ke Karisa atau Kiara. Bisa, kan?] Centang satu. Aku kesal mendapati dia offline begitu saja. Ah, biarlah. Yang terpenting dia sudah menuruti keinginanku. "Tunggu, Mbak. Biar saya aja yang kasih ini ke dia." Suara Marsel. Aku bisa menebak apa tujuannya ke sini. Aku berdiri, "Sini pesanan gue." "Mau langsung balik ke kelas? Makan dulu mie ayamnya, sayang." Aku tidak luluh mendengar dia berkata seperti itu. Langsung saja ku rebut nampan yang dia bawa, tapi sialnya Marsel berhasil menahan. "Mau lo apa sih? Bisa berhenti ganggu gue nggak?!" ujarku nyaris berteriak. Kalau saja tidak ada yang lain di sini, sudah pasti Marsel akan ku bentak. "Uh, slow, baby." jarinya hendak menyentuh rambutku, aku segera menangkis. "Waw, kok jual mahal?" badannya mencondong, bibirnya mendekat di telingaku. "ibu lo aja murahan, masa anaknya enggak?" seulas senyum miring tampak. Aku kontan memukul rahang Marsel. Tidak peduli dengan banyak pasang mata yang kini memerhatikan kami. "Cowok itu kalem. Tapi sikap lo tadi nunjukkin kalau lo itu banci. Menghina Cewek padahal lo nggak tau yang sebenarnya. Mending besok lo pakai rok aja. Biar sesuai sama perilaku lo," aku berhasil merebut nampan yang dia pegang. "Woahh, savage banget itu Cewek!" "Hahaha! Salah lo apa, Mar? Sampai-sampai digampar gitu?" "Mar, lo takut sama dia? Cewek modelan dia paling nangis kalo dipukul balik." "Wey. Sesat lo." "Kenyataan itu, Bro." Aku mendengar celetukan Mereka. Aku memilih untuk tidak menghiraukan. Mereka gerombolan Cowok yang sepertinya kelas dua belas. Dan aku tidak mau berurusan dengan Mereka. Merepotkan. "Gila, Al! Lo pukul si Marsel?" aku terkejut menangkap Rifka sudah ada di depan pintu kantin. "Katanya lo nggak mood buat ke kantin. Kenapa lo ke sini?" aku menatapnya jengah. Berarti dari tadi Rifka menonton dong?! "Jawab gue, Al. Lo ada masalah apa sama si Marsel itu?" Aku tentunya tidak menjawab. Rifka terlalu 'ember' untuk diajak curhat. Pasti akan bocor keesokkan harinya. "Nggak ada masalah apa-apa. Nih," aku memberikan bungkus plastik berisi mie ayam pesanan Rifka. "gue cabut duluan." "Tunggu. Lo mau makan di mana?" "Di kelas aja." jawabku. Tidak ada pilihan lain. Aku tidak mau makan satu ruangan dengan Marsel. "Nggak malu, Al? " "Buat apa malu? Gue masih pake baju utuh kok. Nggak telanjang." aku berjalan melewati Rifka. "Al, gue temenin di dalem deh. Sekalian gue mau makan juga. Si Kiara sama Karisa katanya sebentar lagi ke sini." Aku memutar badan, berbalik. Tanpa menunggu ucapanku Rifka telah masuk ke kantin. Aku mengekorinya dari belakang. Pandanganku tidak berani menatap Marsel, aku pura-pura tak melihatnya. Meski aku tau Marsel kini meninjau tajam ke arahku. Aku mulai memakan mie ayam itu. Tidak ada obrolan di antara aku dan Rifka. Rifka terlihat menikmati sekali makanannya sambil terus melihat ke benda pipih yang kini dia pegang. Aku penasaran. Dia sedang menyaksikan apa sampai terlihat serius seperti itu. "Hey, Guys!" Kiara melambaikan tangan dan menarik bangku di depan kami berdua. Aku menengok ke belakang Kiara, tapi tidak nampak Karisa pun di sana. "Sebentar lagi ke sini katanya." "Masih di kamar mandi dia? What!" celetuk Rifka. Sama terkejutnya denganku. Bedanya aku tidak menampakkan keterkejutan itu dengan heboh. "Kamar mandi?" dahi Kiara mengerut. "Iya. Si Karisa beralasan mau ke kamar mandi waktu gue ajak ke sini." "Kok lama banget?" Kiara masih bingung. Aku pun sama. "Iya, enggak tau dia lagi ngapain." "Mungkin telefonan sama Nyokapnya." tebak Rifka. Aku berdeham beberapa kali. Aku bangkit dari tempat duduk, "Gue mau susul Karisa, ya." masalahnya aku merasa tidak lengkap jika tidak ada Karisa di antara kami bertiga. "Perlu gue temenin, Al?" Aku menggeleng, "Gak usah, Rif." Aku keluar dari area kantin. Meninggalkan makananku yang belum selesai dikonsumsi dan berhenti di depan ruang kamar mandi. Tanpa buang waktu, aku masuk ke dalamnya, memeriksa semua pintu apakah ada Karisa. Namun, sudah seluruh pintu aku periksa, orang yang aku cari tidak kelihatan sama sekali. "Lo suka Sasya?" "Enggak." "Buat apa lo nanyain alamat dia, Sen?" Samar-samar aku mendengar percakapan itu. Aku segera keluar, mengikuti arah sumber suara itu. Sampai di samping kamar mandi, tampaklah Arsen dan Karisa sedang berhadapan. Kakak pasti sedang meminta alamat Sasya. Tidak ada tujuan lain selain itu. "Gue mau nemuin dia. Tinggal kasih apa susahnya, sih,Sa?" Arsen terdengar berusaha sabar. "Gue bakal kirim pesan ke lo buat kasih alamatnya. Tapi dengan syarat, gue ikut lo ke rumah Sasya." Aku lega. Tetapi di sisi lain, tidak. Karisa akan tau alasan sebenarnya Kakak ke sana. "Oke," Karisa membalikkan badan, saat itulah aku merapatkan diri di tembok, bersembunyi. Berharap tidak ketahuan. Punggung Karisa terlihat berlalu. Aku mengesah. Baru saja akan mengamati Arsen kembali, Arsen mendadak sudah ada di depanku. Jaraknya dekat lagi. "Ngapain?" "Tadi cuma kebetulan lewat aja. Terus liat kalian. Terus ngintip deh." jawabku. "Dosa, lhoo." "Dosa apanya?" "Dosa menguping pembicaraan orang," "Biarin." kata itu adalah kata andalanku untuk menghindari perdebatan. "Nanti pulang sekolah langsung ke rumah dia." kata Arsen, aku mengiyakan. Setelahnya kami berpisah dan berlagak tidak saling kenal. Bukan tanpa alasan, aku tidak mau hidupku sana seperti dulu. Dikejar-kejar oleh penggemar Arsen yang tingkahnya bikin aku eneg sendiri. Jam pelajaran terakhir berjalan dengan lancar. Meski ada murid Cowok yang jahil. Hingga bel pulang merebak ke seluruh sudut sekolah tanpa terlewat saking kencangnya. Aku menunggu di tempat parkir. Tidak lama, Arsen datang. Menyerahkan helm padaku. Aku memakainya. "Tasnya sembunyiin, Kak. Tolong." aku memohon. "Segitu takutnya lo." Arsen mengambil alih tasku. Dia masukkan secara paksa ke dalam tasnya. "Jangan gitu, Kak! Kalau tasnya rusak gimana?!" "Udah diem. Rusak tinggal beli lagi yang baru lah." Aku mencebik. Dan akhirnya naik di motor itu. Dan motor ini melaju, melewati setiap murid yang berjalan di gerbang. Tidak sedikit dari Mereka berbisik memerhatikan kami. Untung saja aku memakai helm serta tasku disembunyikan. Jadi tidak ada yang tahu, kecuali orang yang teliti. "Gue dengar Marsel gangguin lo di kantin," Darimana dia tau? "Kata siapa? Enggak kok," aku terpaksa berbohong. Takut Arsen marah. Karena jika aku jujur, aku yakin seratus persen terjadi keributan besok di sekolah. "Kata Rifka." Tuh, kan. Rifka memang tidak bisa diam sedikit. Ada peristiwa, langsung update entah di mana sampai Kakakku tahu. "Dia bilang apa lagi soal Ibu? Enek gue lama-lama." Arsen terdengar marah. Aku menelan berat salivaku sendiri. "Dibilang gue nggak ribut sama dia." aku berusaha meyakinkan. "Jangan bohong, Al. Muka lo nggak cocok buat berbohong." Jika ada kaca, maka akan aku amati wajah sendiri di sana. Memang wajahku seperti apa kalau berbohong sampai-sampai Arsen bilang demikian. "I--iya! Gue ribut sama dia. Tapi bukan soal ibu kok." "Bohong," "Ish. Nggak liat langsung aja sok tau!" ucapku setengah berteriak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD