77

1603 Words
Arsen memegang handle pintu. Di salah satu tangannya ia sudah memegang kunci. Ia bersiap untuk membuka, namun sebelum itu dirinya tergemap saat tidak sengaja mendorong pintu dan terbuka begitu saja. Laki-laki itu terheran. Mengapa pintu rumahnya tidak dikunci? Arsen lanjut berjalan ke dalam rumah. Lampu di rumahnya ternyata tidak dinyalakan sama sekali padahal sudah jam enam sore. Ada yang aneh, namun Arsen berusaha untuk tidak menanggap serius. Tangannya meraba tembok, berusaha untuk menemukan tombol lampu. Tapi sebelum ia menyalakannya, terdengar suara letusan balon. Setelah itu, barulah semua lampu di rumahnya kompak menyala. “SELAMAT ULANG TAHUN!” sorak suara beberapa wanita. Wajah mereka tidak ada asing. Arsen mengenalnya. Mereka berlima adalah Kakak kelasnya, tapi perempuan yang berada di tengah yang membawa kue ulang tahun adalah Sesil. Dekorasi balon terpampang di dinding, membentuk ucapan selamat serta nama Arsen di belakangnya, namun entah kenapa sekarang semuanya terasa hampa dan tidak menarik. “Kak, selamat ulang tahun! Bangun dong! Jangan tidur mulu!” Alista mendadak sudah ada di dalam kamar Arsen. Cowok itu tidak mengerti lagi dengan tingkah Alista padahal ia lain pintunya sudah dikunci. “Pergi. Gue mau tidur,” Arsen berbalik badan, memunggungi Alista. Ia kemudian menarik selimut sampai menutupi seluruh badannya. “Ish! Lo, mah, enggak menghargai gue. Gue udah capek-capek bikin kue ini, loh. Mana sendiri lagi. Bi Hanifah enggak bisa diajak kerja sama, sedangkan Ibu, lo tau sendiri, kan, Ibu lembur dan enggak pulang lagi,” keluh Alista, lantas menyingkap selimut hingga tampaklah setengah tubuh Arsen. Tidak cukup, dia menarik-narik lengan Laki-laki tersebut sambil merengek, “ayolah, Kak. Bangun. Tiup lilinnya. Lo kok enggak menghargai perjuangan gue, sih. Gue bakal ngambek satu minggu nih! Selama itu gue enggak akan bicara apapun sama lo! Gue juga enggak akan beresin kamar lo!” ancamnya. Arsen membalikkan badan, menatap Alista yang kini tengah merengut. “Gimana gue bisa tiup lilinnya kalau apinya belum dinyalain?” Wajah Alista kembali sumringah. “Sebentar, gue ambil korek apinya,” Ia beranjak dari duduknya dan meletakkan kue di nakas. Sementara Arsen bangkit dan turun dari ranjang. Kakinya melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka sekaligus menyikat gigi. Tanpa mereka sadari, seekor kucing tiba-tiba masuk melalui jendela kamar Arsen yang terbuka. Kucing tersebut bersuara lirih. Hidungnya mengendus-endus, berusaha mencari aroma ikan. Keempat kakinya yang sedikit kotor itu tanpa berdosa menaiki ranjang Arsen. Penglihatannya menangkap sesuatu yang menarik di atas nakas. Cakarnya kemudian mengacak cake cokelat itu sampai tidak berbentuk lagi. Tidak hanya itu, kucing tersebut menggulingkan tubuhnya di atas kue sambil bersuara. Di dalam sana, Arsen berhenti menggosok gigi usai mendengar suara kucing walau samar-samar. “Al, jangan bawa kucing ke kamar gue!” teriak Arsen menggema di kamar mandi. Ia lantas melanjutkan kegiatannya, tapi beberapa detik selanjutnya, suara kucing itu terdengar kembali. Arsen berkumur-kumur. Setelahnya dia keluar dari kamar mandi itu. “Wah, Kak, parah lo! Kenapa lo bawa kucing ke kamar?!” lengking Alista, membuat telinga Arsen pengang. “Justru gue dong yang bilang. Kenapa kucing ini ada di kamar gue? Pasti Lo yang bawa, kan?!”  balas Arsen menuduh kembali. Alista mengibaskan tangan. Kucing itu akhirnya turun nakas. Ia menghampiri kue buatannya itu dengan tatapan kecewa. “Tuh, kan... jadi hancur begini?” suaranya gemetar. Tidak lama, air matanya menitik. “padahal gue buat ini dari jam empat pagi,” lanjutnya dengan suara parau, nyaris hilang. “Lo harusnya enggak usah repot-repot bikin. Beli di toko dekat sini, kan, ada.” “Tapi, kan, gue mau berbeda dari tahun-tahun sebelumnya,” Alista menyeka air mata yang terlanjur mengalir. “Jangan nangis lagi. Gue enggak butuh kue itu. Sekarang ayo ikut ke toko.” ajak Arsen, hendak menggandeng lengan Alista, tapi Adiknya itu justru menjauh. “Enggak mau,” Alista tetap diam di tempat. “Terus mau lo apa?” Arsen beranjak mendekati lemari, kemudian meraih kaus serta celana di sana. “Gimana kalau kita bikin kuenya berdua?” usul Alista. “Enggak. Ngapain. Kayak kurang kerjaan aja. Gue enggak butuh itu. Yang gue butuhin Cuma doa dari semuanya termasuk lo,” “Ish. Kakak enggak seru banget, sih. Ayo dong. Cuma sekali doang. Nanti tahun depan enggak lagi deh,”  rengek Alista, tiba-tiba merangkul lengan Arsen. “mau, ya? Awas aja kalau lo nolak. Gue bakal ngambek satu bulan. Dan—“ “Keluar,”  sergah Arsen. Alista terperangah. Dia semakin mengeratkan rangkulannya. “Kak! Cuma sekali ini aja. Kakak, kok, begitu banget, sih.” “Siapa bilang gue nolak?” “Hah?” Arsen heran. Kenapa Alista yang smart berubah menjadi lambat seperti ini. “Lo mau lihat gue ganti baju?” refleks Alista melepaskan rangkulan, dan menjauh darinya. “Ya enggak lah!” Alista berjalan keluar dari kamar dan berhenti di samping pintu. Tubuh rampingnya menyandar di tembok dengan kedua tangan bersidekap di d**a. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Arsen untuk ganti baju. Dalam sepuluh detik saja dia sudah selesai. Laki-laki tersebut keluar dari kamar. Keduanya menarik langkah ke dapur. Bahan-bahan untuk membuat kue sudah Alista sisakan karena tadi kelebihan atau mungkin lantaran firasatnya juga. “Gue harus apa?” “Tuang tepung ke baskom ini,” Alista mendekatkan wadah yang ia sebut tadi ke arah Arsen. “terus masukin empat telur ini juga. Tuangi air terus aduk pakai mixer,” instruksi Alista. Ia mulai mencepol rambut panjangnya. “gue mau ngerjain buat toppingnya dulu. Lo udah paham, kan, yang gue bilang tadi?” Arsen  berdeham sebagai balasan. Ia mulai mengerjakan tugasnya, namun puluhan detik berlalu terasa membosankan. Kedua matanya iseng melirik Alista yang terlihat begitu serius. “Al, ini gimana?” tanyanya iseng. Alista menengokkan kepala. “Apanya?” “Kalian berdua lagi buat apa? Sini biar Bibi aja,” Bi Hanifah datang membawa bahan makanan untuk ia masak nanti. “Aku sama dia mau buat kue,” sahut Alista. “Loh, bukannya Non sudah membuatnya tadi pagi?” “Rusak gara-gara kucing masuk. Em... lebih baik Bibi ke  kamar Kak Arsen aja beresin kue yang tumpah,” Alista menyunggingkan senyum. Bi Hanifah pun akhirnya mengangguk. “Baik, Non.” Usai Bi Hanifah tidak kelihatan lagi, Arsen  kembali melirik Alista. Tangan kanannya mengambil tepung, lantas menggenggamnya. Laki-laki itu berjalan mendekati Alista. “Lis, coba lihat ke sini.” “Ap—“ tanpa menunggu perkataan Alista selesai, Arsen langsung mengusapkan tepung di genggamannya tepat di wajah Alista. Arsen tergelak melihat wajah Alista yang konyol. “Ih! Lo tuangin apa ke wajah gue?!” bentak Alista penuh emosi. Ia mengusap kedua matanya, lalu melihat tangannya yang kini terdapat bubuk putih menempel  yang tak lain adalah tepung. “Rasain!” gertak Arsen di sela-sela tawanya. Ia memegang perutnya yang mulai sakit. Ternyata serendah ini humornya. “Hih!” wajah Alista membersut. Kedua tangannya bergerak meraup tepung. “lo jahat tau enggak!” ia balas mengusapkan tepung tersebut pada wajah Arsen. Spontan Laki-laki itu terbatuk-batuk, namun masih sempatnya sesekali tertawa. “lo jangan ketawa ih!” Alista menutup mulut, berusaha untuk menahan gelaknya yang hampir saja keluar, tapi ia tidak bisa menahan itu lebih lama. Pada akhirnya Alista tertawa juga. “aduh, Kak, perut gue sakit, please! Muka Lo kayak mayat!” Gadis itu menabok keras lengan Arsen. “Jangan ditabok dong!” tanpa aba-aba, ia kembali melemparkan tepung ke arah Adiknya. Arsen bergegas lari melihat Alista akan menaboknya lagi. “Gue enggak akan bisa maafin Lo! Sini lo!” bentak Alista penuh emosi. Ia meraih bantal, lantas melantingkannya sampai sukses mengenai punggung Arsen. Tidak menyerah, Alista lanjut berlari mengejar. Arsen yang tidak mau kalah semakin mempercepat larinya. Mereka menelusuri seisi rumah. Mulai dari lorong, kamar, ruang keluarga, dan segalanya yang ada di dalam. Bi Hanifah bingung sendiri akan menghentikan mereka dengan cara apa sebab kedua anak itu bebal telinganya. “Hih! Nyebelin!” Alista membungkuk, memegang kedua lututnya sendiri. Ia berusaha mengatur nafas yang memburu. Gadis itu berjalan ke dapur kembali. Ia mengambil baskom berisi tepung serta telur yang masih tersisa banyak. “awas aja gue enggak akan biarin dia lepas!” Alista berjongkok. Ia bersembunyi di dekat bangku meja makan. Tatapannya berubah menjadi waspada. Beberapa detik menunggu, akhirnya Arsen datang. Bahkan dia bisa mendengar nafas dari Laki-laki itu. Alista berjalan mengendap-endap. “Enak aja! Lo enggak akan menang sepenuhnya!” Alista menyiramkan tepung itu tepat di kepala Arsen. Karena spontan, Arsen meraih lengan Alista, kemudian menariknya kasar. Alista berusaha menahan diri. Dan akhirnya dia meletakkan wadah itu tepat di kepala Arsen. “apaan, sih, tarik-tarik. Sakit tau!” Arsen melepaskan wadah yang menutupi kedua matanya. Ia lantas menaruhnya ke meja. Alista terperangah dengan tatapan was-was. Siapa tahu Kakaknya itu akan membalaskan dendam. “Kak, gue—“ Sudut bibir Arsen mendadak terangkat, membentuk senyuman yang mampu memusatkan perhatian Alista. Laki-laki itu melangkah maju dan tiba-tiba mendekap tubuhnya dengan erat. Alista mematung. Ada perasaan aneh yang menggelayar di perutnya. “Makasih lo udah membuat hari ulang tahun gue berkesan dari tahun-tahun sebelumnya,” Tanpa sadar, Arsen tersenyum mengingat momen itu. “Ar? Kamu baik-baik aja, kan? Ayo, tiup lilinnya.” tegur Sesil. “Iya, nih. Buruan tiup, Bro. Para Cewek-cewek yang ada di sini enggak sabar buat disuapi lo,” imbuh Altair. Lamunan Arsen terbuyar. Ia berdeham, “Apa?” “Tiup lilinnya,” balas Sesil. Arsen meniup lilin tersebut. Dalam sekejap, api di atasnya langsung padam. Semua orang di sekitarnya pun bertepuk tangan. “Suapan pertama buat siapa, nih? Apa ada orang di sini yang lo sukai?” tanya Aileen dengan nada menggoda. “Siapa, nih?” “Pasti gue, ya, Ar? Kita, kan, pernah chatan sampai dua jam.” “Ih, percaya diri amat lo, Ra.” “Kan, siapa tau...” “Bukan kalian. Pasti orang itu gue. Gue yang—“
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD