78

1644 Words
“Thanks buat kejutannya, tapi sorry hari ini gue lagi capek dan butuh sendirian.” potong Arsen cepat sebelum keributan terjadi. Ia berjalan melewati mereka begitu saja. Senyum di wajah Sesil pudar bersamaan dengan rautnya menjadi datar. “Yah, gimana dong. Kita udah repot menyiapkan ini semua, tapi dia malah begitu.” “Akhir-akhir ini Arsen jadi berubah enggak, sih? Dia kayak Arsen yang bukan kita-kita kenal. Padahal biasanya, kan, dia ramah banget.” “Iya betul kata Riri. Dia berubah sejak Alista hilang. Gue yakin itu,” “Loh, apa hubungannya sama Alista yang hilang?” “Yaelah. Kayak lo enggak tau aja kalau Arsen suka sama Alista. Otomatis kalau Alista hilang, dia sedih lah.” “Sebegitunya dia suka sama Alista,” Sesil mendengarkan ucapan demi ucapan yang dilontarkan oleh teman-teman barunya. Ia meletakkan kue. Saat berbalik, dirinya mendapati Bianca tengah berjalan ke ruangan lain. Sesil yakin wanita itu akan mendatangi Arsen. Langsung saja ia bergegas menghentikannya. “Eh, Tante tunggu.” Bianca menengok, “Ada apa?” “Tante mau ke kamar Arsen, kan? Biar aku aja yang ke sana, Tan.” “Kenapa harus kamu yang ke sana?” “Karena aku... akan berusaha buat dia biar enggak sedih lagi. Boleh, kan, Tan?” tanya Sesil sedikit gugup. Bianca diam sejenak. Beberapa detik berikutnya dia mengangguk. “Terserah kamu, tapi pastikan jangan buat dia marah.” ** “Yakin kita... ke kuburan?” Alista sungguh tidak menyangka Reynal akan membawanya ke tempat anti-mainstream seperti ini. Tadi dia menduga dirinya akan dibawa ke restoran atau kafe dan semacamnya. “Saya mau menunjukkan makam seseorang ke kamu.” “Seseorang?” gumam Alista penasaran. Rasa penasaran akhirnya terjawab ketika Reynal berhenti di samping makam yang batu nisannya tertulis nama ‘Elisiana Pradipta’. Kening Alista mengernyit. Nama itu, kan, tadi yang disebut oleh Randi. “Dia sudah meninggal enam bulan lalu,” perkataan Reynal membuat lamunan Alista terbuyar. Tatapannya beralih memandang Perempuan di sebelahnya ini. “karena kanker otak.” Lanjutnya. Alista semakin bingung. Untuk apa dia diantar ke sini? Apa hubungannya dengan Elisia? Di tengah kebingungannya itu, Alista hanya mengangguk sebagai tanggapan. “Kamu tau? Dia juga seumuran denganmu. Wajah kalian berdua juga hampir mirip,” “Hari ini dia meninggal, ya? Kalau gue, gue punya Kakak. Dia ulang tahun hari ini. Gue enggak tau sekarang dia lagi ngerayain atau enggak,” balas Alista, membayangkan wajah Arsen menyebalkan setiap membuatnya kesal. Reynal kini menoleh, menatap wajah Alista dengan tidak percaya. “Kenapa kamu tidak ke sana untuk merayakan?” Alista menggeleng, “Gue belum siap buat muncul di depan dia,” jawabnya, kemudian mengalihkan pandangan ke bawah, menatap sepatunya yang sudah sedikit berdebu. Reynal mendadak berdiri. Tangannya terulur tepat di depan Alista, “Ayo. Kamu udah bosan, kan, di sini?” Alista mendongak. Ia mengulurkan tangan, memegang lengan Reynal. Bersamaan dengan itu dia bangkit berdiri. “Habis ini kita mau ke mana lagi?” “Rahasia,” “Ish! Nyebelin.” ** Sesil melangkah masuk ke dalam. Tangan yang mengepal itu mengetuk pintu beberapa kali sampai Laki-laki yang tengah berkutat pada laptop dan entah mengerjakan apa, berdiri dan melihat ke arahnya. Saat itulah jantung Sesil berdegup kencang. Ia takut Arsen marah padanya “Boleh aku masuk?” “Buat apa?” “Aku... mau bicara sama kamu sebentar,” “Masuk.” Sesil melangkah maju. Usai sampai di dalam sana, ia menilik keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Arsen meletakkan laptop di sebelahnya. Kini punggungnya berpindah menyandar di kepala ranjang. Kedua matanya terus memandang Sesil seolah berkata ‘Apa?’ “Kamu begini karena Alista belum ditemukan, kan?” “Kalau lo tau, kenapa tanya lagi?” tanya Laki-laki itu dengan nada ketus. Keberanian Sesil diuji sekarang. “Aku cuma mau memastikan aja. Untuk nemuin dia, aku punya usul.” “Apa?” “Kita sebar brosur di sekitar pantai sama daerah-daerah di dekatnya. Kan, di sana banyak yang lewat. Mungkin bisa dengan mudah menemukan Kak Alista. Daripada menunggu polisi enggak datang-datang. Lebih baik kita berdua cari sendiri, kan?” Sesil menilik wajah Arsen yang terdiam. Senyum di bibirnya terbit ketika Laki-laki di depannya ini mengangguk. “Jam berapa?” “Hari sabtu jam tiga sore karena di jam itu Ibu sama Ayah sering pergi,” *** Alista membekap mulutnya sendiri. Ia ternganga, tidak percaya dengan tempat yang katanya sudah Reynal siapkan untuk dirinya. Kedua bangku tertata rapi saling berhadapan dan meja di tengahnya begitu besar. Di atas meja itu juga sudah terdapat banyak makanan. Orang-orang yang ada di sana kompak memainkan alat musik yang mereka pegang hingga terdengarlah musik yang Alista sukai. Semilir angin berhembus membuat rambut Alista melambai indah. Terlebih lagi pemandangan yang langsung mengarah pada langit senja dan laut yang tampak tenang, membuat Alista seakan dibius. Tidak sedetikpun dia bisa mengalihkan perhatiannya di sana. “Lo serius bawa gue ke sini?” “Suka?” “Jelaslah gue suka. Cantik banget,” Alista mengeluarkan ponselnya di saku. Ia memotret pemandangan indah tersebut. Tidak lupa dia juga mengambil foto selfie dirinya dengan wajah Reynal yang tetap berekspresi datar. Alista baru bertemu kembar identik yang tidak sama sifatnya. Ia sedikit terkejut akan hal itu. Saat sedang asyik-asyiknya mengabadikan pemandangan indah itu, ponselnya mendadak direbut. Ia menengokkan kepala, ternyata Reynal yang merampasnya. “Balikin dong,” ujar Alista memendam rasa kesalnya. Kalau Reynal adalah Kakaknya, Arsen, sudah dia rebut dengan mudahnya. “Saya ke sini bukan untuk foto-foto saja. Ayo duduk. Saya akan mengembalikan ponselnya saat kita pulang.” Reynal berjalan lebih dulu, lantas mendarat di salah satu bangku yang sudah ia sewa, sedangkan Alista mengikuti saja. Remaja itu menatap semua makanan yang tertata di meja. Keterkejutannya bertambah mendapati makanan kesukaannya ada di sana semua. “Kamu menyukai semuanya, kan?” tanya Reynal memastikan. Ia takut saja salah memesankan makanan. “Semua ini...” Alista beralih memandang lurus, tatapannya berhenti pada wajah Reynal. “dari mana kamu tau semua makanan yang gue suka?” “Aku menebaknya sendiri,” “Menebak?” Alista sungguh tak percaya. Mengapa tebakan Laki-laki itu bisa pas dan benar padahal Alista tidak memberitahu apa yang ia sukai. “Apa kamu hanya akan memandanginya saja?” Alista refleks menggeleng. “Gue enggak akan biarin makanan ini habis begitu aja,” jawabnya, memegang sendok dan pisau lantas mulai mengiris steak yang sudah lama ia tak makan. Dia memasukkan potongan steak itu ke dalam mulutnya dan mulai mengunyahnya. Kini hanya desiran angin dan dentingan sendok yang mengisi di antara keduanya. Reynal mencuri pandang ke Alista, melihat wajah Gadis di hadapannya ini yang terlihat menggemaskan ketika mengunyah. Alista yang merasa sedang diperhatikan pun langsung mendongak, menangkap basah Reynal yang juga sedang menatapnya. Reynal memalingkan muka, berlagak tidak berbuat apa-apa. Lain di dalam hatinya, ia merutuk diri sendiri karena sudah ceroboh. Perempuan itu berdeham. “Jadi... lo bawa gue ke sini buat apa?” jujur saja, Alista yakin Reynal tidak hanya mentraktirkan makanan atau membuat dia senang, dia merasa ada sesuatu yang lain, tapi Alista tak tahu sesuatu apa itu. “Aku tau ini terlalu cepat. Kita bahkan baru bertemu dua kali, tapi aku tidak mau menundanya lebih lama lagi untuk memberitahumu.” Kening Alista berkerut, semakin tidak mengerti maksud dari perkataan Reynal apalagi saat kedua tangannya tiba-tiba di genggam. “Aku ingin kita menjalankan semunya bersama-sama mulai sekarang. Apa kamu percaya jatuh cinta pada pandangan pertama? Aku tidak mengatakan jatuh cinta, tapi aku menyukaimu sejak melihat wajah kamu untuk pertama kali. Aku merasa aneh waktu itu, tapi aku merasa yakin kalau rasa itu bukan perasaan biasa.” Alista terpaku. Ini tiba-tiba dan mengejutkan. Mengapa semuanya jadi mendadak seperti ini? Alista sebelumnya tak menyangka kalau Reynal akan menyatakan itu. Secepat ini? Ia sampai sekarang masih belum menyangka. “Jadi apa kamu bersedia untuk menjalankan semuanya bersama-sama mulai sekarang?” tanya Reynal memperjelas. Alista menarik lengannya dari genggaman Reynal secara perlahan. “Gue...” ia seakan kehabisan kata-kata. Dirinya harus menjawab apa? Mau menolak, pun, tidak tega. Reynal terlihat tulus, tapi di sisi lain dia tidak belum memiliki rasa spesial pada Laki-laki itu. “Kamu enggak perlu kasih semua jawabannya sekarang. Aku bakal menunggu selama tiga hari.” Reynal mengeluarkan sebuah kotak dengan hiasan pita di atasnya. “kalau kamu bersedia, kamu bisa pakai ini. Kalau tidak, kamu bisa mengembalikannya padaku.” ** Sesil menghempaskan tubuhnya di ranjang berukuran besar itu. Dia meraih ponsel di dekatnya, kemudian berpindah posisi menjadi tengkurap dan mulai menyalakan benda pipih tersebut hingga cahaya biru menerpa wajahnya. Sesil mencari kontak seseorang. Usai menemukannya, dia meneleponnya sampai terdengarlah suara berat seorang pria. “Ada apa, Non? Apa Nona butuh bantuan lagi?” “Semua barang Alista yang waktu itu kalian rampas, kalian masih menyimpannya dengan baik, kan?” “Ada di markas kami, Non.” “Uang yang ada di tas itu, ambillah untuk kalian berenam. Aku yakin dia menaruh uang di sana dan buang tas itu ke laut. Pastikan tidak ada orang yang melihat kalian membuangnya. Sore ini, aku akan mentransfer sisa pembayaran yang kurang. Ingat, jangan membuka rahasia ini pada siapa pun kalau tidak, siap-siap saja lehermu akan aku sayat di tempat saat itu juga.” Sesil mematikan sambungan telepon. Kepalanya menengadah dan menatap langit-langit, melepaskan semua penatnya di sana. Ya, Sesil yang menyuruh para anak buahnya itu untuk merampok Alista. Dia juga yang menyuruh mereka menipu Arsen malam-malam. Ia senang saja membuat mereka terpisah dan menderita. Ada rasa yang mendorongnya untuk berbuat licik seperti itu. Selama ini dia sudah cukup menghilang dan membiarkan hidup mereka hidup tenang, tapi tidak untuk sekarang. Sesil tiba-tiba terduduk. Dia memandang sekitar. Tidak ada seseorang sama sekali. Gadis itu berdiri, menarik langkah ke dekat lemari dan menggeser tempat pakaian tersebut sampai tampaklah foto Alista tengah tersenyum yang terpajang lebar. Banyak paku yang menancap di wajah Gadis itu di beberapa titik. Benci. Ia benci melihat senyum Alista. “Mulai sekarang aku enggak akan biarin kamu kembali ke Jakarta.” "Nak, kamu berbicara dengan siapa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD