30. Penghinaan

2083 Words
Alista sudah sampai duluan di kafe tempat dia dan teman-temannya berkumpul lalu berangkat bersama ke rumah Aileen, Kakak kelas Mereka yang tengah berulang tahun. Alista berjongkok bosan. Lima belas menit berlalu sejak dirinya di sini, tidak ada tanda-tanda Rifka, Meli dan Kiara datang. Apa jangan-jangan mereka lupa? Alista menyalakan ponsel. Cahaya biru menerpa wajahnya. Ponsel yang ia pegang ini, dia baru membelinya kemarin malam, sedangkan ponsel lama yang hilang itu entah ke mana. Sampai sekarang pun tidak ditemukan walau Alista sudah mencarinya. Alista mengecek grup chat. Jari-jarinya menari di atas benda pipih itu. [Kalian udah sampai mana? Gue udah di depan kafe nih.] Centang satu. Dia menatap lama ponselnya. Sepuluh detik dia menunggu balasan, namun tidak kunjung ada pesan yang datang. Alista mendengkus kesal. Ia mengusap pundaknya yang terbuka, memberi sensasi hangat agar tidak terlalu dingin. Model gaun Alista di bagian pundak memang terbuka, tapi tidak untuk bagian bawah. Hanya sampai lutut saja panjangnya. "Nak, maafin Ayah, ya. Enggak bisa beliin boneka buat kamu," Alista mendongak mencari tahu siapa orang yang berbicara demikian. Ternyata… Sepasang murid SMP. Alista menggeleng. Mungkin tadi dia salah dengar. "Ayah janji deh besok bakal beliin buat kamu," "Yah, dedeknya marah nih." Alista mengernyit. Tunggu-tunggu. Dia menengok ke sekitarnya. Tidak ada orang selain dirinya dan juga kedua anak SMP itu. Berarti… Alista menoleh kedua remaja tersebut. Seketika mulutnya ternganga mendapati Cowok itu menyentuh perut Sang cewek di sampingnya. Apa-apaan. Alista tidak percaya. Sungguh. Baru berusia segitu saja Cewek itu sudah hamil. Ia tak bisa membayangkan sehancur apa masa depan Mereka. Dan sekarang Alista tahu alasan Arsen melarangnya dekat dengan seorang laki-laki saat SMP. "Naik," bersamaan dengan itu, terdengar suara motor berhenti. Alista melengak, tampaklah Marsel sudah melepaskan helmnya. "Lo mau di sini terus sampe membeku?" "Tapi gue harus nungguin Mereka," Alista berdiri, menyangga tasnya di pundak setelah tadi ia sempat lepas. "Mereka enggak akan datang. Rifka sama Meli menjenguk nenek Karisa di rumah sakit." "Hah? Kok mendadak gini? Katanya Mereka bakal datang." Alista mengerucutkan bibir. "terus Kiara mana?" "Dia udah berangkat duluan sama Abangnya." Marsel menyodorkan helm. Dengan berat hati, Alista menerima. Habisnya tidak ada pilihan lain. Dia tidak mau menunggu terlalu lama di sini. Bisa-bisa tubuhnya memerah akibat digigit nyamuk. Alista naik ke belakang Marsel. Jarak duduk Mereka berjauhan. Cewek itu memilih untuk memegang tepi jok motor dibandingkan memeluk pinggang Marsel. Deru kendaraan berlalu lalang mengisi perjalanan Mereka. Tidak ada yang berani buka suara sama sekali. Sampai akhirnya Marsel lah yang mengalah. "Lo belum jawab pertanyaan gue," Alista tergemap. Ia mengingat-ingat. Beberapa detik, akhirnya dia tau pertanyaan apa yang dimaksud Marsel. "Lo percaya gue udah berubah? Kalo gue enggak berubah, gue gak bakal bonceng Lo kayak gini dan biarin Lo lolos begitu aja waktu di kamar mandi." kata Marsel cukup keras, takut suaranya meredam oleh kendaraan. Alista diam. "Siap-siap ada polisi tidur di depan," lanjut Marsel. "Hah?" Alista tidak mendengar. Suara Marsel terlalu lirih. Dug! Motor itu terguncang akibat melintasi polisi tidur. Refleks tubuh Alista maju dan kedua tangannya memegang pinggang Marsel. Tidak ada jarak lagi di antara Mereka. Alista menelan salivanya susah payah. Degup jantungnya tiba-tiba menjadi lebih cepat. "Padahal gue udah bilang, Lo enggak dengar?" Marsel tersenyum miring. Alista segera melepaskan pelukannya di pinggang Marsel. Ia mundur dan duduk di posisi seperti semula. "Suara Lo kekecilan!" "Gue bersih, Al. Enggak ada kuman sama sekali. Kenapa Lo menjauh? Apa gue bau badan?" tanya Marsel, kecewa dengan sikap Alista. "Gak. Lo wangi kok. Cuma… eh, itu rumah Kak Aileen!" Alista merasa lega. Untung saja dia sampai di tempat tujuan tepat waktu. Kalau tidak, Alista bingung harus memberikan jawaban apa. Motor Marsel berhenti di bagian parkir samping rumah besar itu. Dia turun, disusul Alista. Baru saja Alista akan melepaskan helm, tangan Marsel menahan. "Biar gue aja," kata Marsel, mulai melaksanakan tugasnya. Alista memandangi setiap inci wajah Marsel. Dari beberapa bagian wajah Marsel, Alista paling suka bagian mata dan rahang. Jika ditanya alasannya kenapa, Alista tidak akan menjawab. Biarlah hanya dia sendiri yang tahu. "Kenapa? Gue ganteng, ya?" Ternyata Marsel dan Arsen punya persamaan. Mereka sama-sama memiliki sifat percaya diri bertingkat tinggi. "Semua cowok ganteng." "Eh…, tunggu. Lo mau pergi begitu aja?" cegah Marsel. Alista mengerutkan dahi, heran. Marsel menekuk lengan kirinya, "Malam ini orang datang berpasangan. Lo mau digodain kakel genit nanti?" Alista mendelik, "Enggak. Modus. Kita masih kelas sepuluh. Jadi wajar aja enggak ada pasangan," lanjutnya dengan nada tidak suka. Alista berjalan pergi menuju ke dalam rumah tersebut. Ternyata sudah ada banyak orang yang datang. Alista mengeratkan high heels yang ia pakai lantaran terasa kendur. Setelah siap, dia masuk dan langsung disambut dengan tatapan mulai dari teman sekelas hingga kakak kelasnya. Kebanyakan sih yang memperhatikan para Laki-laki. "Sebenarnya yang ultah dia atau Aileen sih? Penampilannya jauh bagus daripada Aileen," "Adik kelas cantik, tuh, Van. Gass sana," "Wih, bajunya kelihatan mehong, oy." "Dia anak sultan, yak?" "Yang gue dengar, dia anaknya si Farhan." "Farhan? Woah, dia jadi pemegang saham terbesar di perusahaan Ayah gue," "Berarti Lo enggak boleh macam-macam sama dia. Bahaya. Bisa-bisa Lo jadi gembel dadakan. Hahahaha!" "Diem Lo." "Iya, dia emang anaknya Pak Farhan, tapi katanya diusir pas umur lima tahun, bro." "Serius?" "Eh, banyak yang bilang, Alista itu anak haram di keluarga Pak Farhan," "Kok bisa?!" Pujian yang awalnya terdengar perlahan menjadi gosip simpang siur yang menyakitkan ketika Alista dengar. "Hey, gue dengar. Apa kalian pikir gue tuli?!" Alista maju, mencekam kerah kemeja Rion, Kakak kelasnya yang terkenal suka me-review orang alias berjulid. Walau laki-laki, sikapnya memang seperti itu. Tidak ada bedanya dengan sifat Marsel sebelum berubah. "Weh weh. Ampun," Rion menatap ketakutan. "Ngomong tuh di depan, jangan di belakang! Giliran gue samperin kayak gini, langsung ketakutan!" bentak Alista, menyita perhatian semua yang hadir. "lo tau enggak sepatu yang sering gue pake ukuran berapa? Rion membelalak ketakutan. "Ti--tiga puluh," Mereka yang mendengarnya geleng-geleng. Sepatu berukuran 30 mana muat dengan Alista. "Salah! Ukuran sepatu gue tigapuluh delapan! Kalau Lo berani dumel-dumel tentang gue yang enggak-enggak di belakang, gue pastiin sepatu ini akan masuk ke dalam mulut Lo!" sentak Alista, melepaskan cengkraman yang menyiksa batin Rion. Para murid laki-laki bersorak kompak. Mereka takjub dengan keberanian Alista. Cewek itu duduk di bangku yang sudah disediakan. Tepatnya di samping Kiara. "Ra, Lo udah..." Kiara menoleh dan melayangkan tangan. Tepat saat Alista berbicara, tamparan itu berdarat mulus di pipi Alista. Aliran darah seakan berhenti. Terpusat di bekas tamparan. Alista merasakan panas dan perih secara bersamaan. Ini dia tidak salah lihat, kan? Kenapa Kiara menamparnya tiba-tiba. "Lo jahat! Kenapa Lo permalukan Rion di dekat temen-temennya?!" Alista menatap tidak mengerti. "Hey, kenapa Lo jadi care sama dia? Dia udah bicara sembarangan tentang gue. Kalau gue biarin, nanti dia malah semakin menjadi, Ra." kedua mata Alista sudah berkaca-kaca. Tangannya mulai Tremor. Keringat dingin perlahan keluar dari pori-pori kening. "Kiara!" Marsel datang, ia menggenggam kuat pergelangan tangan Kiara hingga siempunya meringis, menahan rasa sakit. "Marsel, jangan." Alista memegang lengan Marsel. Ia lepaskan genggaman itu secara paksa. "Kok Lo masih belain dia?! Jelas-jelas dia udah nampar Lo!" sungut Marsel penuh emosi. "Ya, tapi jangan begitu juga. Lo enggak berhak nyakitin dia." "Lo juga enggak punya hak buat marahin Rion kayak tadi, Al! Gue kecewa sama Lo." Kiara pergi. Air matanya sudah berderai. Alista bangkit, berniat mengejar. Namun berhenti kala tangannya dicekal. Bukan Marsel pelakunya, melainkan Arsen. "Lo tetap di sini. Biar gue yang bujuk dia dan meluruskan semuanya," Alista mengangguk paham. "Ar, tadi adik lo--" "Lo enggak ngadu juga, Gue udah liat semuanya." potong Arsen. Ia meninggalkan Alista dan Marsel di tempat. Alista terduduk lesu. Kepalanya menunduk. Selama ini dia tidak tahu kalau Kiara menyukai Rion. Lagian Cewek itu juga tidak pernah bercerita. Bunyi mic membuat semua para tamu diam. Aileen, sang pemilik rumah rupanya sudah naik ke panggung dengan gaun berwarna peach mewah. Jangan lupakan mahkota yang terpasang di kepalanya. "Aku ngucapin terimakasih buat kalian karena udah nyempetin waktu buat datang ke sini." Para tamu bertepuk tangan. Ada juga yang bersiul, berusaha mendapat perhatian Aileen. Pesta ulang tahun itu berjalan lancar. Kue berukuran jumbo dengan lilin berbentuk '18' kini sudah terpotong-potong dan dibagikan ke orang yang hadir. Hari sudah akan larut malam. Lampu yang ada di ruangan itu berubah menjadi warna-warni, layaknya lampu yang digunakan di kelab malam. Alista mulai merasa risih. Teman-temannya mulai berjoget-joget tidak jelas bersamaan dengan musik DJ yang terdengar. Di salah satu sudut sana, ada beberapa Cowok diam-diam membawa minuman keras dan menengguknya bersama-sama. Alista meringis ngeri. Ia harus mencari Arsen. Tidak mau lama-lama di sini. "Alista sayang…" Grep! Marsel datang dan tiba-tiba menimpanya. Beruntung Alista bisa menahan. "Ya ampun, berat banget, sih, Lo." "Sayang…, maafin gue, Bebi…," Bau alkohol menguar di indera penciuman Alista. "Astaga! Lo mabuk?!" "Bebi…, kamu marah, iya? Maafin aku, Bebi…," "Ish! Ngomong apa, sih, Lo. Alay." Alista mencicik jijik. Masih menahan Marsel, Alista mengedarkan pandangan ke sekitar. Siapa tahu ada Brian. Tapi kok tidak ketemu juga?! Perasaan Alista jadi tidak enak. "Bebi…, jangan tinggalin aku…" Marsel terisak, menenggelamkan wajahnya di pundak Alista. "Aduh, jangan mewek dong. Gak malu apa diliat orang," Marsel tetap terisak. Bahkan sekarang lebih kencang. Alista yang sudah muak akhirnya membalikkan tubuh Cowok itu, dan melingkarkan lengan Marsel di pundaknya. "Al! Gue nitip motor si Marsel." Dion, murid kelas 12 itu menyerahkan sebuah kunci motor. "Eh! Di, tolong anterin dia pulang ke rumahnya." "Enggak bisa, Al. Ortu tiba-tiba telepon. Kakek gue kena serangan jantung," Dion langsung berlari tanpa mendengar respons Alista. Gadis itu mendengkus kesal. Mimpi apa dia sampai-sampai harus mengantarkan Marsel yang mabuk seperti ini. Selang beberapa detik Dion pergi, Kiara muncul, keluar dari rumah Aileen. "Kiara! Kiara!" panggil Alista. Entah dengar atau tidak, Kiara tetap melanjutkan langkah. Bahkan kepalanya sama sekali tidak menoleh. Alista maju, berniat mengejar. Namun sepertinya mustahil. Badan Marsel terlalu berat untuk dibawa. Arsen. Ya, Nama Kakaknya itu terlintas. Alista berjalan ke arah ayunan yang ada di dekatnya. Setelah sampai, dia meletakkan Marsel. Alista melangkah masuk kembali ke dalam. Gemerlap lampu itu membuat Alista merasa risih. Alista terdorong ke depan dan menabrak punggung seorang Cowok. "Aduh,maaf." ucapnya menggenggam erat ujung gaun. Situasi di rumah ini lebih mirip seperti kelab malam, hanya lima puluh persen saja. Bagaimana tidak? Ada beberapa laki-laki yang sudah mabuk. Lebih parahnya lagi ada yang tengah berciuman serta bermesra-mesraan. Dan pemandangan itu membuat Alista ilfeel. Tahu akan begini, lebih baik dia menemani Karisa saja di rumah sakit. "Hahahaha! Gue tetap enggak percaya dia, Bro..." Langkah Alista terhenti saat mendengar suara seseorang berbincang di halaman samping rumah Aileen. "Gue bilang serius, njing! Kemarin... gue habis nganterin Sesil ke rumah sakit..., ternyata dia cantik. Manis." "Udah setengah mabuk dia. Mungkin dia jujur," Alista berhenti melangkah. Ia merapat di dinding, mendengarkan lebih serius pembicaraan Damian, Altair dan Kakaknya. Saat nama Sesil disebut, Alista jadi mengurungkan niat untuk menghampiri Arsen. "Wah, wajar, sih. Di foto aja udah cantik. Gimana rasanya di dekat dia, Bro? Wangi, kah?" tanya Altair dengan nada menggoda. "Yang jelas gue senang!" "Lo boleh bantuin gue buat pdkt sama dia?" Altair menaikturunkan alis. Sikutnya menyenggol lengan Arsen. "kebetulan gue lagi kurang gebetan, nih." "Enggak!" Arsen menunjuk wajah Altair. "gue gak rela dia jadi korban Lo kesekian kali! Daripada sama Lo mending sama gue." Arsen terkekeh. Alista terperangah. Melihat tingkah Arsen seperti demikian, ia bisa menyimpulkan kalau... Arsen menyukai Sesil, Adik tirinya. Namun mengapa sebelumnya Arsen tidak pernah bercerita kalau dia mengantarkan Sesil? Kekecewaan Alista muncul karena hal itu. Tes. Sial. Air matanya menitik. Alista mengusap kasar. Kenapa ia menjadi gadis cengeng seperti ini. Menyebalkan sekali. Memilih untuk tidak mendengarkan lebih jauh, Alista berpaling arah dan keluar lagi dari rumah Aileen. "Kalau aja Tuhan beri kesempatan, gue bakal menjalin hubungan sama dia," kata Arsen tiba-tiba. Walau dengan mata sayu, perkataannya terdengar serius. "Dia? Dia siapa? Sesil?" Altair berusaha mengorek informasi lebih banyak. Arsen itu tipe teman yang tertutup. Mumpung sedang terbuka seperti ini, ia harus mencatatnya! "Dia...," Arsen tertawa kecil. "...dia Cewek yang enggak bisa gue nikahin..., dia kerabat gue," ***** Alista keluar dari taksi dengan Marsel yang berada di rangkulannya. Ia memandangi rumah berukuran besar dengan desain ala Eropa itu di hadapannya. Ternyata rumah Marsel tidak terlalu buruk. Pak satpam yang melihat perempuan asing di sekitar markasnya pun langsung keluar dan mendekati remaja itu. "Neng, cari siapa?" "Aduh, Pak. Ini--" "Ya ampun Gusti! Kok Tuan muda bisa ada bersama Eneng?" "Dia mabuk, Pak. Bisa tolong bukain gerbangnya? Saya enggak kuat lagi menanggung berat dia!" titah Alista. Pak satpam bergerak menggeser gerbang itu, memberi jalan untuk Alista dan Marsel. Alista segera masuk. Dia pencet bel yang terletak di samping pintu. Selang beberapa detik, seorang wanita membuka pintu. Evelyn menatap lurus, penasaran dengan siapa yang datang. "Loh? Marsel?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD