31.

1050 Words
Alista baru tahu. Ternyata Ibunya Marsel tengah hamil besar. "Kok dia bisa seperti itu? Pantas dari tadi saya menghubunginya, selalu tidak bisa." Evelyn meraih lengan Marsel. Alista yang merasakan itupun langsung menahan. "Enggak perlu, Tante. Biar aku aja. Nanti Tante capek. Kasihan bayinya..." jawab Alista dengan nada ramah. "Ayo, bawa dia masuk." titah Evelyn. Alista berjalan lagi. Tidak memakan banyak langkah, dia sudah sampai di dekat sofa. Alista merebahkan badan Marsel. Bersamaan dengan itu, tubuhnya juga ikut ambruk karena kelelahan. "Ini minumlah," Evelyn memberikan gelas berisi air putih. Alista menegakkan duduknya. Ia menerima air itu dengan senyuman. "Makasih, Tante." Evelyn dengan susah payah duduk di hadapan Alista. "Kamu ketemu Marsel di bar?" "Enggak. Tadi itu aku sama dia menghadiri pesta ulang tahun. Mungkin salah satu teman Marsel bawa minuman itu," sungguh demi apapun. Alista merasa gugup sekarang. "Terima kasih kamu sudah membawa dia ke sini." Evelyn mengangkat sudut bibir. "nama kamu siapa?" "Aku Alista Adriana," "Nginep di sini aja, ya," Alista mengerjap. "Ah, enggak usah, Tante. Aku bisa pulang nanti kok," katanya dengan nada tidak enak. "Sudah jam sebelas malam. Kamu mau pulang menaiki apa? Tante tidak punya mobil. Kalau saja punya, sudah pasti akan mengantarkan kamu pulang untuk menjamin keselamatan," jelas Evelyn. Dari dulu, ia memang tidak bisa mengendarai mobil. Ada, sih, orang di rumah ini yang bisa mengendarai. Orang itu adalah Marsel. Tidak mungkin juga dia menyuruh Sang putra untuk menyetir dalam keadaan mabuk. "Malam-malam berpergian sendiri, tidak baik. Banyak kejahatan yang mengintai di jam segini," Alista bimbang. Ia harus setuju atau tidak. Perkataan Ibu Marsel memang benar, sih. Tapi di sisi lain, dia takut Ibu Bianca tidak memberikan izin. Ting! Sebuah ide muncul di otak Alista. Dia harus menelepon Bianca sekarang! Ya, mungkin itulah cara terbaik. Alista memerhatikan sekitar. Kok tidak ada tasnya. Tidak mungkin juga dia ketinggalan. Alista menganga. Dia baru ingat! Tasnya ia lepaskan ketika di dalam rumah sakit. Itu berarti tasnya... tertinggal di sana! "Kenapa? Ada masalah?" Alista berusaha untuk tersenyum, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tidak mau Ibu Marsel ikut khawatir. "Enggak, Tan. Setelah di pikir-pikir, aku setuju buat menginap," "Baiklah. Akan Tante tunjukkan di mana kamar kamu," dengan berpegangan tepi sofa, Evelyn berdiri. Alista melepaskan high heels yang sedari tadi menyiksa. Ia tenteng benda itu dengan pedenya menggunakan tangan kiri. Foto-foto Marsel dari bayi, kecil hingga sekarang terpajang rapih dan berderet mengisi kekosongan dinding itu. "Di sini," Evelyn membuka pintu sebuah kamar. Alista masuk. Ia mengamati kamar di sekitarnya. Lumayan bagus, namun desainnya mirip anak laki-laki. Sprei berwarna putih, dinding yang memiliki warna senada dengan sprei, serta poster kartun Marvel terpasang di beberapa titik kamar ini. "Tidur yang nyenyak, ya. Jika kamu mau membersihkan diri dan ganti baju, ambil saja pakaian yang ada di lemari. Tante ke depan dulu sebentar. Kamu kalo ada yang bingung, panggil Tante saja," "Terimakasih, Tan." Usai Evelyn sudah keluar, Alista menaruh high heels miliknya. Dia mengamati setiap sudut kamar yang tidak tahu milik siapa. Alista menutup pintu. Ia berdiri di depan lemari, membukanya hingga tampaklah deretan pakaian perempuan. Alista mengambil salah satu baju untuk ia kenakan nanti. Namun, Alista merasa ada sesuatu yang terjatuh. Kepalanya segera menengok ke bawah. Ia mengernyit kala melihat sebuah foto dalam keadaan terbalik. Alista berjongkok, membalikkan foto tersebut. Foto seorang perempuan. Wajahnya nyaris mirip dengan Marsel. Atau jangan-jangan wanita itu adalah Kakak Marsel? **** Mas, sampai kapan kamu terus pergi dari rumah seperti ini? Aku sudah memasakkan makanan kesukaan kamu. Setidaknya makan itu. Hargai kerja keras aku," "Aku tidak bisa. Malam ini aku harus lembur." "Lembur? Sudah berapa kali bilang begitu, aku tetap tidak percaya, Mas! Kamu selalu beri alasan begitu. Apa kamu tidak kasihan dengan bayi yang dikandung aku?" "Diam! Jangan memaksa saya!" Kedua mata Alista terbuka lebar. Pertengkaran itu terdengar. Dirinya bingung. Itu hanya mimpi atau memang benar-benar terjadi? Tiba-tiba dia merasakan tenggorokannya kering. Alista terduduk. Mengedarkan pandangan, tetapi dia sama sekali tidak menemukan air minum di sana. Alista berdiri, akan membuka pintu, namun seketika urung melihat Ibu Marsel dengan suaminya di ruang tamu sana. "Aku tidak memaksa! Setiap malam, aku menginginkan kamu pulang dan kita seperti dulu. Tidur bersama dan kau selalu memperhatikanku. Ini juga keinginan calon anak kamu! Apa kamu masih tidak mau menurutinya sekali saja? Kamu lupa atau bagaimana, sih, Mas? Kita udah menikah delapan belas tahun ini. Kita sudah mempunyai Marsel dan sebentar lagi anak ini akan segera lahir, tapi kamu lebih memilih tinggal bersama Wanita itu! Aku harus bagaimana agar kamu menetap di sini?! Cantik? Kurus? Seksi? Semua itu bakal aku wujudkan setelah aku melahirkan dan dia sudah berusia enam bulan! Kamu--" Plak! Alista tersentak. Ia membekap mulut, berusaha menahan teriakan yang akan keluar. Sementara di sana Evelyn menoleh dan memegangi bekas tamparan. Air mata yang ditahan, sekarang turun dan lolos begitu saja. "Sekeras apapun usahamu untuk lebih baik lagi, kau tidak akan menjadi seperti dia. Walaupun kau berteriak-teriak memohon agar kita seperti dulu lagi, aku tidak akan melakukan itu. Tidak akan pernah. Catat itu baik-baik." "Apa yang dilakukan wanita itu sampai kau tergila-gila padanya, Mas?! Kamu sekarang berubah. Jika tidak bisa setia bersamaku, kenapa kamu harus menikahi ku waktu itu! Kenapa?! Apa kamu tidak merasa bersalah sudah mengucapkan janji palsu di depan Tuhan?!" teriak Evelyn, mulai memukul dadanya yang sudah terasa sesak. "ARGH! Diam!" Lorenzo tidak bisa menahan emosi yang bergejolak sedari tadi. Untuk kedua kali, dia menggampar Evelyn hingga istrinya itu terjatuh. Alista merasa iba. Kedua matanya berkaca-kaca. Tubuhnya berkeringat dingin. Dia tidak pernah menyaksikan pertengkaran seperti ini secara langsung. "Sudah ku bilang, jangan memaksakan aku untuk tetap di sini! Setelah anak itu lahir, aku akan menyerahkan surat cerai. Lalu pergilah dari sini bersama anak sialan itu dan jangan kembali lagi!" "Mas! Tunggu! Hargai aku! Mas!" Evelyn meringis kesakitan kala merasakan sesuatu yang tidak beres pada perutnya. Sementara Lorenzo sudah pergi dari sana dengan langkah memburu. Evelyn merapatkan bibir, berusaha meredamkan tangisannya. Kalau saja waktu bisa diulang, dia tidak akan memutuskan untuk menikah dengan Pria itu. Keharmonisan rumah tangganya, ternyata hanya bertahan beberapa tahun. Tangan satunya memegang sofa, sedangkan lengan yang lainnya merangkam perut, berusaha untuk berdiri. Alista terenyuh dengan keadaan keluarga Marsel. Ia tidak pernah menyangka seperti ini. Dan berada di posisi Marsel ternyata tidaklah mudah. Dia bisa memaklumi mengapa sikap Marsel menyebalkan selama ini. Alista menutup pelan pintu kamar. Setelahnya dia kembali berbaring dan tidur seolah tidak melihat pertengkaran tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD