32.

1232 Words
Pesta sudah setengah jam selesai. Di rumah Aileen hanya ada tiga perempuan yang merupakan sahabat si pemilik rumah ini. Sekarang Mereka tengah berkaraoke tidak jelas, mengisi keheningan malam ini. Sementara Arsen kesadarannya sudah hilang. Dia bahkan melantur tidak jelas. Sebenarnya Arsen tidak berniat untuk meminum, tapi Altair membuat dia setuju dan jadilah seperti ini. "Lemah Lo. Baru tiga gelas aja udah mabuk!" "Dia belum terbiasa. Mending Lo bawa dia ke rumahnya." Damian membuang puntung rokok yang masih menyala. Setelah dia injak, barulah ia berdiri. "anak lain udah pada pulang. Gue gak mau lama-lama di sini." "Aelah. Bantu gue, Lo juga ikut campur dalam hal ini." "Enggak usah kebanyakan ngomong." Damian meraih lengan kanan Arsen. dia mengulurkan tangan itu dam merangkulkan di pundak tegapnya. Altair pun melakukan hal yang sama. Mereka akhirnya menuntun Arsen keluar dari rumah besar milik Aileen itu. Namun belum sampai di ambang pintu, Altair berhenti. "Aileen sayang, aku pulang dulu, ya." ujarnya, kemudian mengedipkan satu mata. "Eh, kalian. Mau gue pesanin taksi online?" tawar Aileen. "Enggak usah. Kita udah bawa motor sendiri." jawab Damian tegas. "Enggak. Dia bohong. Gimana kalau Lo nganterin kita?" "Iya udah, ayo. Sebentar, gue ambil kunci mobil dulu." Aileen berdiri membuat sahabatnya terhenti. "Mau ke mana, Len?" "Nganterin Mereka," "Jangan dengerin Altair. Dia cuma modus aja ke Lo. Udah, kita bisa pulang sendiri." sergah Damian. "Enggak, Len. Si Damian mah iri. Dia gak rela gue diboncengi Cewek cantik kayak Lo," Aileen menatap Altair dan Damian secara bergantian. Bingung harus membela mana karena keduanya terlihat meyakinkan. "Biar aku aja yang nganterin Cowok itu pulang. Aku lihat ada dua motor di depan. Kalian masing-masing pulang sendiri aja. Aku yang akan nganter Arsen ke rumahnya," "Sesil? Ya ampun, gue kira Lo nggak akan datang," Aileen memeluk Sesil yang baru saja datang dengan kado di tangannya. "Masa aku lupa ulang tahun temen sendiri," senyum Sesil mengembang. Dia membalas dekapan Aileen. "Lo gimana keadaannya? Baik-baik aja?" "Baik kok," "Nih, buat kamu." Sesil menyerahkan barang yang dibawanya. Aileen menerima. "Lo emang siapanya dia?" tanya Damian. "Aku temennya. Aku juga udah akrab sama Ibunya." sahut Sesil. Ia menengok ke Aileen, "aku pamit, ya. Maaf enggak bisa lama-lama," "Hati-hati, Sil." "Sini," Sesil mendekati Damian dan Altair. Kedua Cowok itu saling berpandangan sejenak. Damian mengangguk samar, pertanda mengizinkan Sesil. Altair yang melihatnya langsung menMereka "Jangan ngapa-ngapain dia," Altair menyerahkan Arsen. Sesil menerimanya, berusaha menahan tubuh Arsen yang lebih berat dari pada dirinya. "Kebalik kali. Harusnya Lo bilang itu ke Arsen," timpal Aileen. "Lo yakin mau bawa dia?" Damian iba melihat Sesil kesusahan memapah tubuh Arsen. "Yakin kok," Sesil mencetak senyum. Setelah siap, dia menuntun Arsen keluar rumah dan berhenti tepat di dekat mobil miliknya. Pak Hadi, selaku supir pribadi Sesil langsung membuka pintu. Arsen dimasukkan ke dalam mobil itu disusul oleh Sesil. Perempuan itu meraba saku Arsen. Siapa tahu ada benda yang bisa menjadi petunjuk di mana letak alamat rumah Cowok itu. Di celana saku kiri, Sesil berhasil menemukan sebuah ponsel. Cahaya biru menerpa wajahnya ketika ponsel itu dinyalakan. Sesil men-scroll jejeran kontak yang ada di sana. Hingga akhirnya dia menemukan satu nomor. Nomor milik Alista, Kakak tirinya. **** Alista terbangun kala merasakan getaran di sampingnya. Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, dia meraih ponsel itu dengan ogah-ogahan. "Hmm?" "Kak," Alista tertawa kecil. "Lagi cosplay jadi Cewek Lo? Udah deh jangan bercanda. To the point aja. Mau ngomong apa. Keadaan gue sekarang baik-baik aja. Ya... meski ada drama dikit tadi." "Ini aku Sesil, Kak." Kedua mata Alista membulat sempurna. "Apa?" "Sekarang Arsen ada di mobil aku. Kakak boleh share alamat rumahnya dia? Kakak pasti kenal sama Arsen, kan?" Sesil memang belum tahu kalau Arsen adalah anak dari wanita yang sudah mengadopsi Alista. Alista yang mengetahui itu memilih untuk tidak mengatakannya sebab dia tidak ingin kehidupannya yang sekarang diganggu oleh masa lalu. "Kak? Kok diem?" "Eum, iya. Dia teman gue. Ntar gue kirim alamatnya lewat chat." Alista memencet ikon merah. Panggilan itu berakhir. Bayang-bayang masa lalu mulai terputar. Dulu, Sesil dan dirinya memang serumah. Mereka hidup dengan Farhan, ayah kandung Alista dan Nela, Ibu kandung Sesil. Ekspektasi Alista waktu itu terlalu tinggi. Ia kira akan hidup bahagia dengan orang tua yang utuh. Tetapi nyatanya tidak. "Sesil sayang, mobil ayah kamu sudah sampai di depan. Auo ke sana. Sambut ayahmu biar Ayah memberikan kamu oleh-oleh," "Serius? Papa udah pulang?! Yee! Papa pulang! Papa pulang!" Sesil kecil berteriak kegirangan. "Kak Aisha! Ayo kita ke sana bareng!" lanjutnya menarik lengan Alista yang masih terdiam. Dulu nama Alista memang Aisha. Namun sejak Bianca mengadopsinya, nama itu diganti menjadi Alista. "Eh, ngapain kamu aja dia? Kamu tidak perlu mengajak dia, Sayang." Nela melepaskan gandengan tangan Mereka berdua. "Tapi Kak Aisha juga mau ketemu Papanya. Papa Farhan, kan, sama aja Papanya Kak Aisha," "Dia bahkan tidak pernah diakui sebagai anak," lirih Nela, lantas tertawa kecil. Alista bisa mendengar perkataan Nela. Hanya saja dia memilih untuk bungkam dan tidak menggrubis. "Apa Mama bilang?" "Sudah. Jangan membuang waktu lagi. Ayo, ikut Mama keluar." Nela menggandeng tangan Sesil tanpa peduli dengan Alista di belakangnya yang berharap diperlakukan sama. "Kak Ais! Ayo, ikut." Sesil melambaikan tangan. Senyum Alista terbit. Ia akhirnya menyusul Mereka berdua. Baru akan membuka pintu, Farhan sudah terlebih dahulu membukanya. "Papa! Akhirnya Papa pulang! Sesil kangen sama Papa tau," bocah itu berhambur memeluk kedua kaki Farhan. "Bagaimana perjalanan bisnisnya? Semua sudah beres, kan?" Nela maju beberapa langkah dan membantu melepaskan dasi sang suami. "Semuanya berjalan dengan lancar berkat istriku yang cantik ini," Farhan menyentuh pipi Nela. Nela yang merasakannya pun berdesis. "Putri kita berkali-kali bilang, dia merindukanmu. Kamu tau, kan, bagaimana berisiknya dia ketika merengek." tutur Nela. Farhan melepaskan pelukan Sesil. Dia berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan Sang putri. "Papa bawa hadiah buat kamu," "Hadiah? Serius, Pa?!" "Hu' um. Tapi... ada syarat untuk itu," "Syarat?" "Iya. Kamu harus kiss..." Farhan menunjuk rahangnya. Sesil yang paham maksudnya pun langsung mencium. Namun selang beberapa detik, tubuhnya diangkat oleh Farhan. "AAAAA! PAPA TURUNIN!" "Wah, putri ayah udah gede, ya. Tambah berat lagi," "Dia selalu meminta cokelat setiap hari. Padahal aku selalu melarangnya. Dia tetap mengeyel. Mungkin karena pengaruh anak itu." Nela melirik Alista. "Ah, benarkah? Tidak masalah! putriku tambah cantik jika pipinya chuby." Farhan mulai memberikan ciuman berkali-kali pada pipi Sesil. Pria itu gemas dengan satu bagian wajah Putrinya tersebut. Sementara Alista terus memandangi interaksi Mereka berdua. Sampai sekarang dia tidak diperlakukan sehangat itu. "Papa! Gelii!" sentak Sesil merasakan bulu-bulu yang tumbuh di dagu menusuk permukaan kulitnya. "Habisnya kamu gemesin. Sekarang ayo cerita ke Papa." Farhan akhirnya menurunkan Sesil. "bagaimana hari pertamamu sekolah? Tidak ada yang berbuat nakal padamu, kan?" Sesil menggeleng cepat. "Tapi Kak Aisha ada yang nakalin, Pa." Farhan mengalihkan pandangan ke Alista. Bersamaan dengan itu Alista juga mendongak. Anak kecil itu berharap diberi perhatian sama seperti Sesil. Ternyata salah. Farhan kembali melihat Sesil. "Pasti Putri Papa yang cantik ini sudah tidak sabar melihat hadiahnya," Farhan membuka tas besar di sampingnya. Dia mencari sesuatu di antara tumpukan jajan yang begitu banyak. "Tadaaa!" Farhan mengeluarkan boneka Teddy bear berukuran jumbo. Senyum di bibir Sesil semakin sumringah. "Hah?! Serius, Papa?!" dia merebut boneka tersebut, lantas mendekapnya erat. Sudut bibir Farhan ikut terangkat. Senyum sumringah Putrinya berhasil menular. "Terimakasih, Papa!" "Sama-sama, Sayang." "Hadiah buat Kak Aisha mana?" Bibir Farhan perlahan datar. Pengamatannya menajam. "Tidak ada. Papa membelikan hadiah hanya untuk putri Papa, Sayang. Bukan orang asing." Air mata Alista menitik. Kenangan itu mulai mengalir begitu ke dalam ingatannya. "Kalau aku orang asing, kenapa Ayah membuat aku ada?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD