33.

1254 Words
"Ya ampun..., Arsen. Sini berikan dia ke saya," Bianca mengambil alih putranya dari Sesil. "kenapa dia bisa seperti ini?" "Aku enggak tau, Tante." "Ayo masuk. Kita berbicara sebentar," titah Bianca. Sesil menurut. Pandangannya mengedar ke setiap sudut rumah. Di tempat lain, Bianca masuk ke kamar Putranya. Ia meletakkan Arsen di sana. Tidak lupa, dia melepaskan sepatu yang masih Arsen kenakan. setelahnya, dia singkap selimut itu hingga menutupi sebagian tubuh Arsen. Bianca berjalan ke ruang tamu dan mendapati seorang Gadis tengah duduk di sofa ruang tamu sana. Bianca menyambar duduk di depan Sesil. "Nama kamu siapa?" "Sesil Fabiola, Tante." "Sesil? Anaknya Farhan dan Nela?" "Tante kenal keluarga aku?" raut wajah Sesil terkejut. "Tentu saja karena..." Bianca menghentikan kata-katanya. Tidak. Sebelumnya Alista sudah meminta agar tidak membocorkan tentang masa lalunya pada orang lain termasuk Sesil. "...Tante sering mendengar nama Ayahmu di kantor." "Ah..," "Jadi bagaimana keadaan orangtuamu sekarang?" "Mereka baik-baik saja, Tan." "Kamu sudah besar, ya. Tubuh kamu lebih tinggi," Bianca pangling dengan penampilan Sesil sekarang. Lebih cantik dan tidak terlihat cupu seperti dulu. "Huh? Emang Tante liat aku waktu kecil?" "Kamu lupa dulu? Kamu dan Arsen satu sekolah waktu TK." "Oh, aku enggak begitu ingat, Tan." "Kamu berani pulang sendiri? Perlu Tante antar?" "Eh, nggak usah. Aku tadi ke sini sama supir pribadi aku sendiri," "Hati-hati, ya. Sekali lagi terimakasih sudah mengantar Arsen. Titip salam juga untuk orang tuamu." ___***____ Matahari sudah muncul di permukaan setengah jam lalu. Marsel bangun dengan kepala pening. Dia tidak mengingat kejadian malam kemarin seperti apa. Yang dia ingat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah taksi oleh... seorang perempuan. Tetapi tidak ingat betul bagaimana wajah wanita itu. Marsel mengambil ponsel yang tergeletak di sebelahnya. Ia mencari nomor Brian, memencet ikon hijau hingga terdengarlah suara orang mengaduh. "Iya, Yang! Aku bangun sekarang! Berhenti telepon aku lagi, oke?!" "Idih! Sadar Lo. Gue Marsel." "Hah? Lo? Kenapa telepon gue pagi-pagi begini, Bos?" "Semalam lo yang anterin gue pulang?" "Lo lupa, Bro? Semalam gue enggak datang. Gue denger dari si Dion, Lo dianter Alista." Marsel mematikan sambungan. Sebuah kemustahilan besar kalau Alista berani mengantar seorang pria mabuk seperti dirinya malam tadi. Marsel beranjak ke kamar mandi untuk melakukan ritual pagi sebelum dia bertemu dengan Alista dan mengucapkan terimakasih. Dua puluh menit berlalu, Marsel kini sedang mengusap rambutnya yang basah menggunakan handuk. Tetesan air mengalir ke hidungnya yang mancung serta tegas. Mendadak seseorang mengetuk pintu dari luar. Mars menghentikan aktivitas. Ia bergerak menarik handle pintu hingga tampaklah seorang wanita membawa nampan berisi mangkuk. Siapa lagi kalau bukan Sang Ibu. "Ibu buatkan sup penghilang pusing untuk kamu. Makanlah," Evelyn meletakkan mangkuk tersebut di nakas. "Ibu habis nangis?" Marsel bisa tahu itu. Terlihat dari mata Sang Ibu yang sembab dan juga bekas tamparan. "dia semalam pulang dan pukul Ibu lagi?" "Tidak. Ibu hanya terciprat minyak panas jadi seperti ini," "Bohong. Ibu bohong." Evelyn menggeleng. "Sudah, lebih baik kamu makan saja agar rasa peningnya hilang." Marsel mencekal lengan Evelyn. Menghentikan Sang Ibu melangkah. "Mata Ibu enggak akan bisa bohong. Dia ngapain Ibu semalam? Kenapa Ibu nggak bilang ke aku? Harusnya semalam Ibu bangunin aku. Biar aku yang menghadapi Pria kejam itu." "Kamu tidak boleh membenci Ayahmu. Bagaimana pun kamu tak akan ada tanpa dia," "Terus aku harus diam aja disaat Ibu dipukul demi w***********g itu?! Iya?! Marsel nggak terima, Bu! Sudah cukup dia membuat Ibu menderita. Jangan menghentikan aku buat memberikan pelajaran kepada dia dan w***********g itu!" "Marsel! Kamu tidak boleh begitu." "Permisi, Tante. Aku pamit pulang," Alista muncul dari arah belakang dengan raut tidak enak. Marsel tergegau. "Alista?" dia memandang Evelyn, menagih penjelasan. Evelyn menengok. "Secepat itu? Kamu sudah makan?" tanya dia pada Alista. "Udah kok. Terimakasih, Tan. Masakan Tante emang terbaik," puji Alista dengan senyum mengembang. "Lain kali main ke rumah ini lagi. Tante akan mengajarkan resepnya," "Siap!" Alista bergerak menyalimi tangan Evelyn. Evelyn mengusap rambut Alista. "Baju itu cocok untukmu. Jangan kembalikan. Simpan untukmu saja," "Baiklah," "Lo mau pulang? Gue anterin," tawar Marsel. ___***____ "Jadi semalam Lo yang bawa gue ke rumah?" "Bukan, tapi Hantu yang nganterin Lo," Marsel tertawa hambar. "Maaf kalau rumah gue enggak seindah ekspetasi Lo," "Gak indah gimana? Rumah Lo bagus, Mar." Alista tidak habis pikir. Mungkin definisi rumah 'indah' bagi Marsel berbeda dengannya. Andai Lo tau arti kata 'indah' yang sebenarnya, Al, batin Marsel. "Mar, kita bisa berhenti sebentar di warung sana? Gue belum kenyang, nih." Marsel terkejut dengan sikap Alista sekarang. Gadis itu terdengar lebih bersahabat, tidak seperti sebelumnya yang dingin dan terlihat menghindar. "Lo yakin berdua sama gue di sana?" "Yakin," "Kakak Lo enggak marah?" "Lagian apa pengaruhnya kalau dia marah atau enggak. Gue bakal tetap makan dan jalan sama Lo," Alista memegang pinggiran jaket yang dikenakan Marsel kala melihat polisi tidur. Mereka berhenti di sebuah warung yang menjual nasi Padang. Cuping hidung Alista bergerak, mencium aroma makanan yang sudah lama ia tak konsumsi beberapa minggu belakangan. Alasannya satu; dia mager berpergian sejauh ini hanya untuk membeli nasi Padang. "Gue udah lama enggak makan nasi ini coba! Gak kebayang rasanya seenak apa." kaki Alista bergerak tidak sabar. "Kenapa Lo gak bilang ke gue? Gue bisa beliin makanan ini buat Lo," Alista melirik sinis. "Hm, andai Lo enggak jadi musuh gue waktu itu. Mungkin gue udah rajin nitip makanan ini setiap hari," "Sorry, setiap orang berubah, Al. Mulai sekarang gua janji bakal bawa makanan ini setiap hari khusus buat Lo." "Jadi Lo mau jadi reseller dadakan buat gue gitu?" Alista terkekeh. "Tentu dong," "Pengin dibayar berapa nih?" "Bayar pakai perhatian Lo aja." Alista speechless. "Huh?" "Ini, Mbak, Mas." Pelayan datang membawa dua piring. Alista menyambutnya dengan senyum. Perutnya sedari tadi bergemuruh. Saat di rumah Marsel, Alista memang diberi sarapan. Itu pun hanya roti dengan selai dan s**u. Kedua menu itu tidak membuat Alista puas karena nyatanya dia adalah orang yang tak kenyang sebelum memakan nasi. "Gue baru tau Lo punya Kakak perempuan. Dia cantik, ya. Udah kelas berapa sekarang? Pasti kuliah, kan? Uhukk!" Alista tersendak. Ia mendekatkan gelas miliknya, meminum es teh itu hingga tersisa seperempat. "Kalau lagi makan itu jangan ngomong, Sayang." Alista tersendak lagi. Setelah nasinya masuk secara paksa, kini air yang ia minum tertahan di tengah kerongkongan. Alista terbatuk-batuk. Marsel mendekatkan minuman miliknya yang belum diminum sama sekali. "Kenapa Lo enggak hati-hati?" Alista menengadahkan tangan. "Tadi Lo panggil gue apa?" "'Al'?" "Yang tadi. Sebelumnya," "Sa...yang?" Marsel ragu. Apakah sebutan itu salah tadi? "Enggak semua Cewek mau dipanggil kayak gitu," jawab Alista. Asal Lo tau, jantung gue jadi aneh tau, lanjutnya dalam batin. Jelas dia tidak berani mengungkapkan langsung. Bisa-bisa Marsel berpikiran lain. "Ternyata Lo beda dari Cewek lain. Kenalan perempuan gue sebelumnya, langsung klepek-klepek waktu dipanggil begitu sama gue," "Semua Cewek itu sama kali! Cewek mana, sih, yang gak deg-degan dipanggil gitu," Alista berdecak. Apalagi sama orang seganteng Lo, lagi-lagi dia membatin. Tidak berani mengungkapkan langsung. "Berarti Lo deg-degan juga?" Alista merapatkan bibir. Bingung apa yang akan ia jawab selanjutnya. "A--anu itu gue beda kok," "Jangan gugup gitu kali. Lo nggak lagi presentasi," Marsel terkekeh. "...gue akan menunggu dan kasih waktu sampai Lo bisa mengungkapkan ke gue, Al." "Apa?" "Ah, enggak. Lanjut makan aja," "Habis ini kita ke bukit aja, gimana?" "Bukit?" "Iya, yang ada rumah pohon itu. Gue pernah liat dari postingannya Kiara. Kayaknya itu tempat yang cocok buat ngobrol," "Yakin mau ke sana? Butuh waktu dua jam, Al." "Yakin, Marsel!" "Hari ini Lo baik banget sama gue. Semalam terjadi sesuatu?" tanya Marsel curiga. "Oh, jadi Lo mau gue jutek lagi kayak dulu?" sinis Alista. Bersiap mengeluarkan tatapan mengerikan. "Eh, jangan. Gue malah suka Lo yang sekarang. Bahkan gue berharap Lo seperti ini selamanya,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD