39.

1822 Words
[Al, gimana keadaan kamu sekarang?] [Semuanya baik-baik aja, kan?] Alista membaca rentetan pesan yang dikirim oleh Marsel. Seharusnya dia yang bertanya seperti itu. Bukan Marsel. Senyum perlahan terbit di bibirnya. Dia mengetik sesuatu untuk membalas pesan Marsel. [Aku baik-baik aja] [Al, buka jendela sekarang.] [Aku enggak kuat pegangan lagi.] Alista mengerutkan dahi dengan pesan yang dikirim Marsel. Dia berlari ke arah jendela, kemudian menarik tirai tersebut. Seketika tubuhnya refleks mundur melihat rambut Marsel. Ia membekap mulutnya sendiri. Sejak kapan Marsel bergelantungan di luar seperti itu. Sementara Marsel sudah berkali-kali mengetuk pintu jendela agar Alista membukakannya. Semoga saja genteng yang ia pijak tidak rapuh. “Kamu kok ke sini? Nanti kalau Ibu sama Kakak aku liat gimana?” tanya Alista gusar. Tadi saja dia sudah diomeli apalagi saat melihat Marsel ke rumah ini sekarang. Ia tidak yakin Marsel akan pergi dengan wajah mulus. “Bukain, Al.” Alista berdecak. Ia membuka kunci jendela. Marsel langsung menyelinap masuk. Alista beralih menutup pintu kamarnya untuk memastikan tidak ada seorang pun yang akan masuk nanti. Marsel terduduk di bawah jendela dengan nafas tersengal-sengal. Dia menerima minuman yang Alista berikan. Alista ikut berjongkok. Jarinya perlahan menyentuh luka lebam di rahang Marsel. “Masih sakit,” peringat Marsel. Alista mengurungkan niatnya untuk menyentuh luka itu. “Aku ambilin obat sekarang, ya,” Alista akan berdiri. Namun cekalan di tangannya membuat dia berhenti. “Jangan. Kamu duduk di sini. Temenin aku,” titah Marsel. Alista pun menurut. “Hubungan kita masih terjalin, kan?” Marsel memastikan. Dia tahu betul Alista habis dimarahi. Kentara jelas dari mata kedua Cewek tersebut. “Emang aku minta putus sama kamu?” tanya Alista balik. Marsel menggeleng. “Kamu mau janji enggak?” “Janji apa?” Marsel menampakkan jari kelingkingnya. “janji kamu tetap jadi pacar aku meskipun Mereka melarang,” Alista berdiam sejenak. Lima detik kemudian, dia menautkan jarinya. “Janji,” Marsel menarik sudut bibirnya, justru hal itu membuat lukanya semakin terasa perih. Mendengar desisan dari Kekasihnya, Alista merasa gusar. “Aku ambilin obat sekarang, ya? Kamu udah parah gitu lukanya,” “Enggak usah, Al. Mereka curiga nanti. Tadi lukanya juga udah diobati Ibu,” Kegusaran Alista berkurang. Setidaknya Marsel sudah diobati. Hal itu membuatnya lega. “Terus tujuan kamu ke sini apa? Kamu tau, kan, akibat ketahuan nanti?” “Aku ke sini liat kamu buat mengecek keadaan kamu,” “Udah. Sana pulang. Aku—“ “Buka! Bicara sama siapa Lo di dalam?!” suara Arsen yang tengah mengetuk pintu di luar sana. Mampus! Alista menggigit bibir bawahnya. Keringat dingin mulai keluar. Dia mendorong Marsel. “Kamu keluar cepat!” lirihnya penuh tekanan. “Enggak sempat.” Balas Marsel. Ia mengedarkan pandangan, berusaha mencari tempat persembunyian yang aman. “Alista! Buka!” “SEBENTAR LAGI GANTI BAJU!” sahut Alista tak kalah teriak dengan nada ketus. Ia melirik Marsel yang masih kebingungan. “sembunyi di lemari cepat!” “Yakin? Nan—“ “Marsel! Enggak ada waktu lagi.” Gertak Alista, membuka lemari dan mendorong tubuh Marsel. Alhasil Laki-laki itu bersembunyi di antara pakaian Alista yang tergantung. Alista berdiam diri sejenak. Ia berusaha mengatur nafasnya dan mengusap keringat dingin yang tadi keluar. Setelah semuanya sudah normal, Alista langsung membuka pintu. Arsen menerobos masuk dan mengamati setiap sudut kamar Alista satu persatu. “Mana dia?!” “Dia siapa? Gue Cuma sendirian di kamar ini,” “Bohong Lo.” “Dibilang enggak!” Alista mengambil alih nampan yang dipegang Arsen. “nih, makanannya udah gue terima. Sekarang pergi sana,” “Gak.” Arsen mendudukkan diri di ranjang Alista. “gue akan tidur di kamar ini,” “Buat apa?! Gue udah gede—“ “Siapa bilang Lo masih kecil?” Arsen mulai merebahkan diri. Ia menarik selimut hingga sebatas leher. Alista yang melihatnya pun menggerutu sebal. Padahal ini kamar miliknya, tetapi Arsen bersikap seolah di kamarnya sendiri. “Kak! Bangun!” “Ogah. Tadi gue capek nyari Lo. Gue kira Lo diculik atau jadi korban kejahatan, eh taunya Lo pacaran sama si buaya darat.” Alista menatap tidak terima. “Marsel bukan Cowok kayak gitu!” “Berisik. Gue mau tidur,” Arsen mulai memejamkan matanya. Alista menengok ke belakang, tepatnya ke lemari untuk memastikan. Matanya membelalak ketakutan melihat lemarinya sedikit terbuka. “Liatin apa Lo?” Alista buru-buru mengalihkan pandangan. Ternyata Arsen belum tidur. Sial. “Enggak! Gue Cuma mau ambil piyama aja,” “Makan dulu,” “Gak lapar,” Alista berjalan ke arah lemari. Saat itu juga Marsel menoleh dan berkata tidak jelas. Mungkin ingin keluar secepatnya. “enggak bisa. Kakak aku keras kepala, Mar.” bisik Alista lirih, takut terdengar Arsen. Marsel hanya bisa pasrah. Niatnya dia untuk mengajak Alista ke rumah seketika urung. ___***___ “Kenapa kemarin Lo enggak berangkat?” tanya Rifka, mulai mengimbangi langkahnya. “Enggak enak badan aja,” “Arsen kemarin nyariin Lo, lhoo! Dia kayaknya suka sama Lo deh,” tutur Rifka. Alista tertawa dalam hati. Andai Rifka tahu yang sebenarnya. “Masa?” “Kok Cuma ‘Masa’ doang? Lo enggak senang atau apa gitu?” Rifka kecewa dengan respons Alista. Yang dia harapkan bukan itu. “Senang gimana? Orang biasa aja kok,” jawab Alista cuek. “Al,” Mereka berdua sama-sama berhenti dan mengalihkan pandangan ke belakang. “Bagas datang tuh. Gue pergi dulu, dadah!” Rifka berlari terlebih dahulu ke kelas. Sementara Alista mulai memutar badan dan menghadap ke Bagas. “Iya?” “Uang Lo jatuh,” Bagas menyerahkan satu lembar uang berwarna merah. “Oh, iya, makasih.” Alista menerimanya. Untung saja ada yang melihat, kalau tidak bagaimana dirinya saat istirahat nanti. “Lo kemarin ke mana?” “Di rumah aja. Kepala gue kemarin pusing,” ujar Alista “Bukannya Lo pergi sama Marsel?” Deg. Mata Alista terbeliak. “Lo kok...” “Kemarin gue juga enggak masuk. Nemenin Nenek ke Bazar. Gak sengaja gue liat Lo sama Marsel,” Bagas mulai bercerita. Ia melirik Alista yang terlihat panik. “Jadi Lo yang kasih tau ke Kak—maksud gue, Arsen?” “Dia telepon gue dan terdengar frustasi. Jadi enggak ada pilihan lain selain kasih tau dia,” ujar Bagas dengan jujur. “lo sebelumnya enggak kasih tau ke dia emang?” “Enggak. Gue mau kasih tau, tapi lupa. Hp gue kemarin enggak dibawa,” Alista berbohong. Ia lebih memilih seperti itu, daripada image-nya hancur nanti. Mereka tidak menyadari kalau di belakang sana ada orang yang memperhatikan. ___***___ “Setelah jam istirahat nanti, akan ada ulangan matematika. Pastikan semuanya sudah belajar! Saya permisi,” Bu Astri, selaku guru matematika menutup buku tebal yang selalu dia bawa. Para murid mengesah panjang. Mereka tidak terima ujian mendadak seperti ini. Apalagi bagi para murid-murid yang tidak begitu rajin dalam belajar. “Wah, Bu. Jangan ulangan gini dong!” teriak salah satu murid tidak terima. “Iya, bener! Pulpen saya habis, Bu. Jadi maaf saya enggak bisa ikut ulangan,” “Buku matematika saya hilang, Bu!” “Kepala saya lagi pusing, Bu. Jangan dibuat pusing lagi.” Bu Astri menggebrakan penggaris panjang ke meja. Beliau menatap murid-muridnya dengan tatapan amarah. “Jangan alasan kalian! Bilang saja kalian malas belajar. Ibu sudah bilang sebelumnya, bukunya dibuka! Jangan Cuma hp doang yang dibuka.” “Hp enggak salah apa-apa, Bu.” “Enggak Emak, enggak guru, kalau ada masalah pasti selalu menyalahkan HP.” “Ibu enggak asyik ah! Penilaian tengah semester, kan, masih satu bulan lagi, Bu!” “Terserah kalian mau koar-koar apapun. Keputusan saya tidak berubah. Ulangan akan tetap diadakan nanti istirahat agar bisa menambah nilai harian kalian,” Bu Astri melenggang pergi. Sebagian Murid menyorak tidak terima. Namun, mau berbuat apalagi. Bu Astri tidak pernah mengubah keputusannya kalau bukan kepala sekolah yang angkat bicara. Selang sepuluh detik, bel istirahat berbunyi. Biasanya semua murid berhamburan keluar, tapi tidak untuk kali ini. Mereka lebih memilih untuk membuka buku. Arsen dengan santainya berjalan keluar. Alista yang memperhatikan sedari tadi hanya bisa geleng-geleng. Bisa-bisanya Arsen tetap istirahat’ padahal akan ujian. Sementara di luar sana Arsen berpindah ke kelas di sampingnya. Tepatnya kelas Altair dan Damian. Dia muncul ke dalam kelas yang masih ramai itu. “Bro, anterin gue pulang sekarang.” Arsen menepuk pundak Altair. Cowok itu langsung memalingkan pandangan dari buku. “Mau bolos?” bukan Altair yang menjawab, melainkan Damian. “Buku gue ketinggalan di rumah. Lo nanti habis istirahat ulangan juga?” tanya Arsen. “Enggak tuh. Di kelas Lo ulangan, ya?” Altair tertawa terbahak-bahak. Entah puas atau merasa kesenangan. “mampus! Untung di kelas ini Bu Asti baik.” “Kata siapa kelas kita enggak dikasih ulangan? Bisa aja Bu Astri tetap kasih, tapi enggak bilang-bilang ke kita.” Heni, sang ketua kelas angkat bicara. Altair melirik Heni, “Itu mah mau Lo,” Heni menaikkan kacamata yang sudah turun. “Biasanya feeling Cewek selalu benar.” “Halah.” Altair tidak mempercayai. Saat dia menengok ke belakang, kedua matanya terbelalak lebar mendapati Damian sudah tak ada di sampingnya. “Weh! Parah kalian berdua! Pergi enggak ngajak-ngajak gue.” Altair berdiri dan menyusul Keduanya yang entah sudah sampai mana. “Gue yang anterin dia.” kata Damian, berhasil menghentikan langkah Altair. “Gue juga mau ikut weh.” “Kalau Lo ikut, ujung-ujungnya bolos.” Ujar Arsen, sudah tahu betul sifat Altair. “Ya udah sana!” usir Altair. Arsen dan Damian berjalan ke area parkir sekolah. Arsen membonceng di motor Damian. Tidak sedikit yang memperhatikan Mereka berdua. Tapi sebagian dari Mereka memilih cuek. lima belas menit, Arsen dan Damian kini sampai di depan sebuah rumah. Arsen turun terlebih dahulu. Kakinya bergerak melangkah ke depan rumah. Saat memegang handle pintu, Arsen baru tahu rumah tidak dikunci. “Kita akan menikah bulan depan,” “Apa? Kamu tidak waras? Dia masih mengandung,” Suara laki-laki dan perempuan itu membuat Arsen tidak jadi membuka pintu. Itu suara Ibunya, tetapi dengan siapa? Arsen bergerak ke samping guna tidak kelihatan. Kedua matanya mengintip dari celah pintu yang terbuka. Netra hitam itu terbuka lebar kala melihat Ayah Marsel lah yang ada di sana. Mereka berdua ada apa? Mengapa jarak duduknya begitu dekat? Aneh. “Hey, dia akan segera melahirkan. Mengapa terlalu memikirkan dia? Tidak usah iba.” “Dasar lelaki egois! Aku tidak mau bahagia, sedangkan sahabatku sendiri menderita.” Tolak Bianca mentah-mentah. Dia bergeser menjauh dari Lorenzo. “Sahabatmu?” Lorenzo tertawa hambar. “dia bahkan sudah membuat Kalista meninggal. Dan kamu masih menyebutnya sahabat?” “Dia meninggal karena kecelakaan. Tidak ada sangkut pautnya dengan Evelyn!” “Sampai kapan kamu akan membela dia? Ini tidak masuk akal. Kamu tahu? Lebih baik kau setuju untuk menikah denganku. Hidup putramu dan Alista akan terjamin,” kata Lorenzo. Dia kembali mendekatkan diri pada Bianca. “kamu akan jadi ratu di rumahku. Jika kamu menolak permintaanku ini, apa kamu sudah siap untuk bekerja menjadi pelayan? Dan apa kamu siap melihat Mereka kecewa setelah tahu kamu itu wanita simpanan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD