40.

1448 Words
“Marsel dan Alista berpacaran sekarang. Putramu tentu tidak setuju jika kita menikah.” “Jangan memikirkan Mereka. Aku bisa dengan mudah membuat Mereka berpisah.” “Kamu tidak peduli dengan kebahagiaan Putramu,” Bianca sungguh tidak tahu harus apalagi untuk membuat Lorenzo tidak dekat-dekat dengannya. Dia merasa jijik pada dirinya sendiri, namun ia juga menikmati semua yang Lorenzo berikan. Arsen mengepalkan tangannya kuat-kuat di balik pintu sana. Jadi selama ini yang dibilang Marsel adalah benar. Ibunya merupakan selingkuhan Lorenzo. Pantas Marsel semarah itu. Dia tentu bisa memaklumi. Tanpa berniat masuk ke dalam, Arsen melenggang pergi, menjauh dari Mereka. Damian mencari-cari buku yang diambil Arsen. Ia terkejut mendapati Arsen tidak membawa apa-apa. “Loh, mana bukunya?” “Lo mending balik ke sekolah aja,” “Apa?” Damian memandang tidak mengerti. Tadi disuruh mengantarkan, sekarang malah disuruh pergi. “Gue butuh waktu sendiri.” Hanya itu yang Arsen katakan sebelum akhirnya pergi dan melewati Damian. Damian bertanya-tanya. Banyak pertanyaan yang bersarang di otaknya. “Aneh Lo, Ar.” Arsen berjalan ke tempat yang bisa ia lampiaskan semuanya. Rasa kecewa itu muncul. Selama ini Ibunya menjalin hubungan dengan Pria beristri. Parahnya dia tidak mengetahui hal itu selama beberapa tahun belakangan. Dia berhenti di tepi laut. Arsen mengambil batu, melemparnya dengan penuh emosi ke kumpulan air asin berjumlah banyak serta luas itu. Tubuh Arsen ambruk ke bawah. Bulir air matanya turun, melesat ke pipi. Ia menangis dengan suara tertahan. Bruk! Seseorang menabrak tak sengaja menendang tubuh Arsen dari belakang. Arsen menengok, akan memarahi orang itu tetapi melihat siapa pelakunya, ia mempertimbangkan. “Ma—maaf,” ujar Perempuan itu. Dia menunduk beberapa kali. “aku enggak sengaja,” “Kalau jalan lihat-lihat!” bentak Arsen pada Perempuan berkacamata tebal itu. Terdapat beberapa jerawat juga di wajahnya. Hal itu membuat Arsen enggan melihat. “Hahahaha! Didorong segitu aja langsung nabrak orang lain!” murid Perempuan lain terdengar dari arah sana. Tatapan mengerikan Arsen berlari pada dua Gadis yang sedang tertawa. Tubuhnya berdiri dengan tangan terkepal kuat. Perempuan yang tadi tidak sengaja menendang langsung bergemetar ketakutan. Ia memejamkan mata kuat-kuat, sudah pasrah dengan apa yang akan dilakukan Laki-laki yang belum ia tahu namanya. Arsen melirik sedikit Perempuan yang menunduk itu. Ia mendengkus remeh dan melewati Cewek tersebut begitu saja. Gadis ber-nametag Gita itu menyenggol sikut temannya, Bia—yang masih saja cekikikan. “Apaan, sih?” Bia melirik risi. “Lihat ke depan deh!” bisik Gita panik. Bia mengikuti arah pandang Gita. Dan benar saja. Ada laki-laki dari sekolah lain sedang meninjau Mereka dengan tatapan membunuh. “Wah, gantengnya...” Gita memutarkan bila mata melihat respons Bisa yang malah terpesona. Dasar payah! Kalau seperti ini jatuhlah harga diri Mereka. “Boleh minta nomor telepon enggak?” pinta Bia mengadahkan tangan. Arsen mendecih. “Punggung gue sakit gara-gara ulah kalian, b**o!” Bia terkesiap. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Diliriknya Gita. Dia malah mendapati Gita sedang terkekeh. “Kok malah salahin kita? Dia yang harus Lo salahin dong! Orang gue Cuma diam di sini aja!” Bia mencoba membela dirinya sendiri. “Diem? Jelas-jelas kalian yang dorong perempuan cupu itu!” “Ya..., Maaf.” Kepala Bia menunduk. Rasa terpesonanya kini lenyap. Apalagi Gita. Sedari tadi Cewek itu tidak berani buka suara saking takutnya. “Maaf enggak cukup!” “Te—terus apa yang harus gue lakuin?” duh, kenapa Bianca menjadi gugup seperti ini. “Duduk.” “Duduk?” Bia mengerjap bingung. “Lo budeg?” Bia menggeleng cepat sebelum akhirnya duduk menuruti perintah Arsen. Cowok itu berpindah melihat Gita. “Lo kira gue Cuma bilang ke dia doang?” Gita yang mengerti maksudnya pun langsung mengikuti perintah Arsen. Giliran Arsen yang memandang Perempuan berkacamata. Dia mengibaskan tangan, membuat Cewek itu kebingungan, namun akhirnya menghampiri Arsen. “Ke—kenapa, Kak?” Gadis itu memilin ujung seragamnya. “Tendang Mereka.” “APA?! YA ENGGAK BISA DONG!” teriak Bia tidak terima. “gue boleh ditendang sama orang tua, tapi enggak sama dia!” “Kenapa? Gue aja ditendang sama dia, enggak masalah. Lo aja marah, kan, ditendang dia? Apa kabar gue yang laki-laki?” lawan Arsen tidak mau kalah. Bia kehabisan kata-kata. Arsen melihat perempuan yang masih berdiam diri dengan tatapan takutnya itu. “tunggu apa lagi? Balas perbuatan Mereka,” “Em, itu aku—“ Arsen mendorong pelan punggung Pria itu. Namun respons yang diberikan berlebihan. Cewek itu mengerjap seperti didorong kasar saja. “Nandin,” Arsen membaca nametag yang terjahit di seragam Perempuan tersebut. Nandin mulai mendekati Bia dan Gita. Dia berhenti tepat di belakang kedua orang yang telah membullynya itu. Bersamaan dengan itu, Bia menengok dan memberi tatapan permusuhan. Nandin jelas semakin tidak berani. Kaki jenjangnya tetap menendang—ah, bukan. Tapi lebih tepatnya menyenggol punggung Bia. “Lo enggak punya tenaga?!” tegur Arsen. Ia geram dengan sikap Nandin yang lemah. “Kak, aku—“ Arsen sudah lebih dulu berjongkok dan memegang kaki Nandin. Ia menggerakkan secara paksa kaki itu hingga menendang punggung Bia. Nandin spontan menabok kepala Arsen. Tidak sopan sekali. Baru kenal sudah memegang kakinya dan membuat dia menendang Bia. Dirinya tidak membayangkan apa yang akan terjadi nantinya. “Aduh! Parah Lo!” Bia langsung berdiri dan mengusap-usap punggung. Gita yang tidak mau terkena tendangan, berlari menjauh dari Mereka. “Gita! Woy! Tungguin gue!” Bia berteriak memanggil. Entah dengar atau tidak, Gita tetap berlari menjauh dari Mereka. Nandin termenung. Dia kira Bia akan memarahi, tapi ngibrit seperti seorang pengecut. “Segitunya Lo takut sama Mereka?” Arsen berkacak pinggang. “Ini bukan urusan kamu,” Nandin pergi begitu saja. “Lo enggak bilang terima kasih ke gue, hah?!” teriak Arsen. Nandin mempercepat langkah hingga dirinya benar-benar jauh dari Arsen. Arsen mengesah panjang. Perempuan bernama Nandin itu membuat harinya semakin buruk! “Argh!” __***___ Kelas X MIPA 3 tengah sepi karena semuanya sedang beristirahat ke kantin. Tak ada secuil murid pun di dalam. Karena jika ada, dapat dipastikan murid tersebut adalah anak cupu. Rachel menengok ke sekitarnya. Semua terlihat aman. Dia jadi tidak ragu lagi untuk masuk ke dalam. Rachel berhenti tepat di dekat bangku Alista. Ia buka tas itu dan meraih wadah pulpen, Tipe-X, dan sebagainya. Rachel mengambil ketiga pulpen milik Alista itu. “Lo enggak akan bisa ikut ujian, Al!” Rachel tersenyum licik. Ia meletakkan wadah itu ke tempat semula. Setelah semuanya selesai, Cewek itu keluar dan berlagak biasa saja. ___***___ “Ujian akan dimulai lima menit lagi. Semuanya tolong siapkan alat tulis. Semua buku diletakkan di dalam tas, lalu kumpulkan tas kalian di depan.” Bu Astri mulai mempersiapkan soal-soal di kertas yang Beliau tulis sendiri dan sudah difotocopy. “Perasaan gue taruhnya di sini kok enggak ada,” Alista merogoh-rogoh tasnya. Ia sudah membuka setiap sleting, namun usahanya nihil. “Kenapa?” Karisa penasaran dengan tingkah teman sebangkunya itu. “Lo liat pulpen gue enggak?” “Pulpen Lo hilang?” tanya Karisa memastikan. Alista berdecak, “Kalau enggak hilang, gak mungkin gue tanya ke Lo, Ri!” “Aduh, gimana, ya. Gue Cuma bawa pulpen satu doang, nih.” Karisa ikut panik. Bu Asti, kan, kalau menghukum tidak main-main. Karisa tidak sanggup melihat Alista dihukum nanti. “Alista! Karisa! Taruh tasnya di depan!” “Be—bentar, Bu.” Alista semakin gusar. Ia mengeluarkan semua isi tasnya. Kok tidak ketemu juga?! “Bu! Alista enggak bawa pulpen. Kayaknya dia enggak bisa ikut ujian deh!” ucap Rachel. Bu Astri menghampiri Alista. “Kok tidak bawa pulpen? Padahal sebelumnya saya sudah mengingatkan.” “Aku udah bawa pulpen kok, Bu. Cuma sekarang enggak tau di mana,” “Itu pasti Cuma alasan kamu biar tidak mengikuti ujian. Lebih baik kamu keluar sampai bel pulang sekolah kalau tidak mau mengikuti ujian ini!” gertak Bi Astri dengan wajah galak. Alista tersentak. Dia menggeleng pelan dengan wajah memohon. “Bu, jangan—“ “Saya tidak terima alasan lagi!” Bu Astri memegang lengan Alista. Ia menuntun murid perempuannya itu keluar, namun... “Berhenti, Bu!” suara Bagas mengalihkan atensi satu kelas. “sebenarnya saya yang pinjam pulpen dia. Ibu bisa hukum saya,” Bagas meletakkan pulpen hitam di meja Alista. Alista terheran-heran. Mengapa Bagas malah berbohong seperti itu? “Kenapa kamu tidak bicara dari tadi?” Bu Astri menatap heran Alista. “Ya sudah. Bagas, kamu keluar dan jangan masuk sampai bel pulang. Alista, kembali ke bangku kamu! Ujian akan segera dimulai. Saya tidak mau menunda-nunda lagi!” Mereka berdua bergerak sesuai yang diperintahkan Bu Astri. Alista memandangi Bagas yang berdiri di depan kelas. Cowok itu berkorban agar dirinya tetap bisa ikut ujian. Alista ingin sekali mencaci maki Bagas. Harusnya Bagas tidak berbohong seperti itu. Dia, kan, jadi merasa bersalah gini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD