05. Ulah Sang Murid Baru

2039 Words
Alista menyeret Arsen menjauhi kerumunan itu. Melihat itu, Karisa yang penasaran langsung mengikuti. "Ta! Jangan durhaka dong!" rengek Arsen, membuat siapapun yang mendengarnya geli. Alista menjauhkan jarinya yang menarik telinga Arsen, lantas bersidekap di d**a dengan kening mengerut dan bibir mengerucut sebal . "Jangan bikin ulah bisa enggak sih?!" "Ulah apa?" Arsen mengusap-usap telinganya yang sudah memerah sekaligus panas. "Lo tadi berantem, kan?!" "Bukan. Habis arisan." jawab Arsen ngawur. Emosi Alista semakin naik ke ubun-ubun. "Arsen!" "Heh. Yang sopan dong." "Orang kayak lo enggak pantas disopanin." "Astaga." Arsen mengelus-elus d**a bidangnya. "nggak boleh kayak gitu, Lis." "Habisnya lo berantem sih!" "Orang gue enggak berantem." "Jelas-jelas gue liat lo berantem. Lo masih aja ngelak, ya?! Gue mau aduin ke Ibu sekarang juga nih!" ancam Alista, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya. Tanpa ba-bi-bu Arsen merebut benda pipih nan tipis itu. "Jangan!" "Bilang. Kenapa tadi lo berantem?" tanya Alista mulai serius. Kembali ke beberapa puluh menit lalu.... SKSD adalah jalan ninja Arsen agar mendapatkan teman. Seperti yang ia lakukan di sini. Dia menyapa setiap orang yang lewat dan bertingkah layaknya teman Mereka. Meski terlihat aneh, tetapi banyak yang menyambutnya dengan baik terutama para perempuan. Hingga Arsen melihat wajah dua Cowok yang sangat familiar. Seketika kedua tangan Arsen mengepal kuat. Buku-buku kukunya memutih. Rahangnya mengeras. Marsel dan Brian. Sudah tiga tahun dia tidak bertemu dua curut itu. Mendapati kenyataan kalau Mereka sekolah di sini, Arsen kesal mendengarnya. Bukan tanpa alasan, sudah berulang kali mereka berbuat ulah padanya. Laki-laki bermata elang itu tetap melanjutkan jalan, berlagak tidak melihat Mereka. "Wah, ada anak kotor, Le." "Anak kotor?" "Ya elah. Masa lo lupa." "Siapa?" Brian masih tidak paham. Dari sekian banyaknya murid di sini, tak ada wajah musuhnya. "Arsen, anaknya si Bianca. w***********g di hiburan malam. Yang adiknya anak haram di keluarga atasan Bokap gue." ujar Marsel terus terang. Arsen maju, mencengkram kerah seragam Marsel dan mendorong tubuh Laki-laki itu hingga membentur keras tembok. Murid-murid yang tadi kebetulan lewat langsung berhenti, menyaksikan mereka berdua. Amarah Arsen meningkat apalagi melihat raut Marsel yang terlihat meledek. Tangan yang tadinya terkepal itu kini menghantam keras rahang Marsel sampai tertoleh paksa ke kiri. "Lo boleh menghina gue, tapi jangan menghina Ibu sama Adik gue." tekan Arsen. Mereka yang mendengarnya bergidik ngeri. Namun itu tidak berlaku pada Marsel. Cowok tersebut malah menoleh, memandang wajah Arsen kembali. "Menghina? Bukannya gue ngomong kenyataan?" Marsel menyeka darah di sudut bibirnya. "Ibu lo menggoda Ayah gue. Apa itu enggak termasuk Cewek jalang? Dan... Adik lo anak haram sekaligus pembawa sial di keluarga Farhan. Iya, kan? Kalau aja gue yang mungut Alista, gue akan jadiin dia mainan." lanjutnya, menyeringai. "Ibu gue enggak pernah menggoda siapapun. Ayah lo aja yang deketin ibu gue." Satu tinju untuk kedua kalinya melayang. "Adik gue bukan anak haram di keluarga itu. Dia juga bukan pembawa sial." Bogem mentah dari Arsen menghantam kuat rahang Marsel. Bukan takut, Marsel tetap tersenyum miring. Ini yang dia harapkan dari awal. Memancing emosi Arsen hingga membuat image musuhnya menjadi tidak baik di mata Mereka. Tidak lama, para murid berkerumun di sekitar Mereka. Tidak ada yang berani melerai. Malah kebanyakan dari Mereka menyoraki nama 'Arsen'. Ada juga yang meneriaki nama 'Brian' dan 'Marsel'. Bahkan tidak sedikit juga yang memvideo mereka. Jangan harap ada belas kasih di sekolah ini sebab pertengkaran seperti ini jarang terjadi. Sekali terjadi, akan heboh seperti sekarang. Marsel mencuri pandang ke Brian, ia mengedipkan mata sekali, memberi isyarat pada temannya itu. Brian mengangguk samar. Dia bangkit berdiri, "Woy!" gertaknya. Ia menendang tulang kering Arsen. "lo jangan main kasar. Teman gue enggak salah apa-apa." ujarnya, berusaha menjauhkan mereka berdua. "Bri! Sikat dia." titah Marsel. Brian hendak melayangkan tinju, namun terhenti saat Arsen mencekal kepalannya. Sudut bibir Brian terangkat. Kaki jenjang di bawahnya itu menendang tulang kering Arsen hingga tangannya yang menahan seketika terlepas. Brian memanfaatkan waktu itu untuk membalas serangan Arsen pada temannya tadi. Dulu, beberapa tahun silam, mereka bertiga tidak bisa terpisahkan bahkan pernah dijuluki tiga perangko. Tapi sejak malam itu, malam di mana Marsel melihat Sang ayah selingkuh dengan Ibu Arsen. Marsel yang masih berumur 10 tahun harus menahan tangisnya di malam hari ketika Sang ayah bertengkar hebat dengan ibunya. Mau berbuat sesuatu atau membela pun yang ia dapat hanya pukulan. Alhasil Marsel melimpahkan semuanya itu pada Arsen dan Alista. Persahabatan mereka tercerai-berai. Namun, satu hal yang belum Arsen ketahui, membuat Laki-laki itu salah paham akan arti perilaku Marsel padanya selama ini. Flashback off "Harusnya lo jangan peduliin perkataan Mereka, Kak. Tapi kalau lo mau bikin Mereka babak belur sama patah tulang, gue dukung kok." Alista memegang pundak Arsen, berusaha meredakan emosi. Karisa yang mendengarnya langsung melongo. "Al, kok Lo dukung?" Alista terkekeh sambil memegang lehernya, "Cuma bercanda," Alista kembali memandang Arsen. "Kak, lain kali jangan gegabah. Gue enggak mau lo dipanggil guru BK. Kalau ibu sampai tau, Ibu bakal khawatir sama kecewa. Biarin aja Mereka ngomong sesukanya." "Tapi--" "Api jangan dibalas api." Alista tersenyum, tetapi kedua matanya mulai memanas. "nggak pa-pa Mereka ngatain aku anak pembawa sial atau apalah. Omongan Mereka emang benar kok," lanjutnya sedih. Luka lamanya terkorek kembali. Sudah berkali-kali ia mencoba menambal luka itu, tapi selalu saja ada yang membukanya kembali terutama Marsel. "Lo enggak pembawa sial," Alista mengurungkan niat untuk menjawab kala bel terdengar berbunyi cukup keras selang satu detik setelah Arsen berkata. Ruangan itu kini hening. Seisi kelas diam dan melipat kedua tangannya di meja. Pandangan mereka lurus ke papan tulis, berlagak seolah ada guru di sana. Ada juga yang tengah mengobrol. Meski lirih, Alista dan Karisa bisa mendengarnya. Mereka berdua duduk satu bangku. Tidak ada yang mereka kenal di kelas ini. Semua wajah terasa asing. Alista menguap, rasa kantuknya datang. Suasana sunyi membuat kedua matanya terasa berat untuk dibuka. Ia menopang kepalanya di atas meja. Samar-samar pandangannya kabur, lama kelamaan menjadi gelap gulita. Kelas semakin senyap ketika sosok pria tinggi dan tegap masuk ke dalam kelas. Ternyata Pak Ikram, salah satu guru di sekolah ini. Beliau meletakkan buku tersebut di meja, setelahnya menatap ke arah pintu sambil mengibaskan tangan. Atensi kelas kompak mengalihkan perhatian ke ambang pintu, penasaran dengan siapa yang akan datang. "Sini, kamu boleh masuk." Kedua mata murid perempuan terbeliak lebar. Mereka berbisik-bisik kagum, meski lirih Pak Ikram yang ada di depan sana masih bisa mendengar apalagi sang murid baru. Karisa menyenggol lengan Alista. "Al, liat ke depan papan tulis deh. Wajib asli. Lumayan buat cuci mata," "Al," "Al," Karisa menengok ke samping. Seketika dirinya menghela nafas dalam mendapati Alista ternyata tidur. "Astaga. Al, bangun dong. Lo mau--" BRAKKK! "Astaga? Kenapa? Ada maling?" Tanya Alista bertubi-tubi. Bukan jawaban yang ia dapatkan, dirinya malah mendapatkan tatapan seisi kelas yang ada di sini, termasuk tatapan garang Pak Ikram. "Aduh, Al. Mampus Lo," lirih Karisa. Alista bergerutu di dalam batin. Ternyata kelas sudah masuk sedari tadi. Ah, mengapa tidak menyadarinya sama sekali. Alista tersenyum lebar ke arah Pak Ikram untuk mencairkan suasana. "Apa kabar, Pak?" "Kamu dari tadi tidur?!" todong Pak Ikram. Alista langsung menggeleng cepat. "Eng--enggak kok. Tadi refleks kaget aja, Pak. Kalau Bapak enggak percaya, bisa tanya ke teman sebangku aku," "Benar kata dia, Karisa?" Di bawah sana tangan Alista menyenggol paha Karisa, memberi sebuah isyarat pada temannya itu. "Bener..., Pak." "Awas kalau kamu berbohong." Pak Ikram meletakkan penggaris kayu yang ia pegang. Pandangannya teralih pada sang murid baru. "Silakan perkenalkan diri kamu." "Baik, Pak." dia menatap ke depan, lalu membungkuk sekilas. "nama saya Bagaskara Pranaja. Kalian bisa memanggil saya Bagas. Sekian." "Baik. Silahkan duduk di bangku baris ke dua." Pak Ikram menunjuk bangku tersebut dengan lengan panjangnya, tepatnya di sebelah Arsen. -•••- Alista duduk di pinggir lapangan Basket. Melihat Cowok-cowok berolahraga dan mengeluarkan keringat, entah kenapa membuat semangatnya kembali. Tidak sedikit juga murid perempuan yang datang dengan tujuan sama. "Enggak istirahat?" Alista menengok, tampak Rafael menoleh juga dan tersenyum pada Gadis itu. Mata Mereka bertemu dalam pandang yang lurus. Alista bergegas memalingkan muka. "Enggak." tolak Alista mentah-mentah, tak suka dengan basa-basi yang membuang waktu. "Gue bawain minuman buat lo," "Sorry. Gue nggak haus." "Beneran?” "Ya.” Alista mengambil makanan di bangku sampingnya, ia menggigit sedikit. Tiba-tiba sebuah bola basket menghantam kepala Alista. Spontan dia memegang kepalanya sambil menggerutu sebal. Tidak terima, Perempuan itu berdiri dengan nafas memburu penuh emosi. Kedua tangannya mengambil bola yang tergeletak tidak jauh darinya. Ia mengedarkan melihat ke arah lapangan. "WOY! KALAU MAIN BOLA YANG BENER DONG!" teriaknya berhasil meredam sorakan kagum dari perempuan di sekitarnya. Bagas yang merasa teriakan itu ditujukan kepadanya pun langsung menghampiri. "Sorry, gue enggak--" BUGHH! Lemparan bola yang dilakukan Alista sukses mengenai kepala Bagas. Rafael yang melihatnya menelan berat saliva. Kedua kaki jenjang Laki-laki itu perlahan mundur. Sementara Alista berkacak pinggang, menatap garang Bagas yang tengah meringis. "Lain kali kalau enggak bisa main bola, jangan main di lapangan!" "Main di lapangan gimana? Wajar dong. Harusnya Lo yang enggak usah duduk di sini." Marsel muncul dari arah belakang dengan kedua tangan masuk ke saku. Sampai di samping Bagas, ia menepuk pundak Cowok itu. "lo enggak perlu merasa bersalah, Bro. Kalau dia marah-marah kayak tadi, lawan aja. Paling diem," "Apaan, sih. Orang enggak tau apa-apa harusnya diam." kata Alista menggebu-gebu. "Sekali lagi gue minta maaf," Bagas membungkuk, tangannya meraih bola yang tergeletak. "kalau ada apa-apa..." Bagas menjeda, ia mengambil sesuatu di sakunya. "Lo boleh telepon ke gue," diserahkannya sebuah benda tipis ke hadapan Alista. Belum juga Alista menerima, Marsel sudah merebutnya terlebih dulu. "Wow. Salut Lo udah punya kartu nama," Marsel mengamati benda itu, lantas membolak-balikkannya sampai Alista sendiri merebut kasar benda itu dari genggaman Marsel. "Ini buat..." ucapannya terhenti bersamaan dengan pandangannya yang kabur. Semua orang di sini tampak samar-samar. Ia tidak bisa melihatnya dengan jelas terlebih lagi sinar matahari yang menyengat, menambah rasa pening. Keseimbangannya mulai terganggu. Alista tidak bisa menopangnya lagi. Bagas membelalakkan mata ketika tubuh Gadis di depannya tiba-tiba ambruk ke bawah. Dia hendak berjongkok, tapi Marsel menahan pundaknya. "Biarin. Dia cuma cari sensasi," kata Marsel, langsung mendapat tatapan tajam dari Bagas. "Dia beneran pingsan!" Bagas berjongkok, tangan kirinya memegang lipatan paha Alista, sedangkan lengan kanannya terulur menyangga leher. Bagas berdiri dan mengangkat tubuh Alista, membawa Gadis itu ke unit kesehatan sekolah. Para murid diam, bahkan ada yang mengikuti langkah Bagas. Arsen yang kebetulan lewat setelah keluar dari kamar mandi, penasaran dengan murid-murid yang terlihat berbisik. Dia mendekati seseorang dari salah satu mereka. "Ada apa?" "Ya ampun, Cogan! boleh minta nomor Lo sebentar?" pekik murid perempuan yang baru saja dihampiri oleh Arsen. Tatapan Arsen berubah malas. "Mana HP Lo?" Alice dengan wajah sumringahnya menyerahkan ponsel yang digenggamnya sedari tadi. Kedua mata berbinar-binar itu terus memperhatikan jari-jari Arsen yang bergerak mengetik di atas benda pipihnya. "Udah." Arsen menyerahkan Ponsel itu. Alice memekik histeris, saking senangnya membuat Arsen geleng-geleng pelan. "Sekarang kasih tau gue ada ap--" "Gue boleh minta foto? Habis ini gue kasih. Janji deh," Arsen bergerak mendekati tubuh Alice. Wajahnya bersiap untuk berpose, namun mendadak ada yang menarik lengannya dari samping. "Adik Lo lagi pingsan, Lo malah foto-foto enggak jelas!" Karisa menyambar duduk di samping brankar Alista. Tautan jari-jarinya itu tidak lepas dari sela-sela tangan Alista. “Al, bangun dong. Kalau Lo enggak ada, yang nemenin gue di sekolah ini siapa? Lo belum makan di warung baru yang ada di sebrang jalan itu, loh. Lo enggak penasaran sama rasanya? Seenggaknya Lo bangun kek buat nulis surat wasiat biar persis mirip di film-film gitu," "Mau gue bikin bonyok wajah Lo, Kar?" tanya Arsen dengan tatapan horor. Mendengar kata 'wasiat', membuat dirinya panas hati. "Sensi amat Lo. Ini tuh pancingan biar dia bangun," Tapi enggak gitu caranya," Arsen berdiri bangkit, ia mengguncang kasar kedua bahu Alista. "bangun. Jangan manja." Karisa berdesis. "Lo kasar banget, sih, jadi Cowok." sinisnya dengan lirikan tak kalah tajam. "Dia enggak butuh di lembutin." Arsen mengambil botol, menuangkan sedikit air di telapak tangannya, dengan enteng dia kemudian mencipratkan air itu ke wajah Alista. "bangun. bangun." "Dia belum sadar juga?" Bagas masuk ke dalam ruangan itu dengan sekantung plastik berisi makanan juga minuman. Karisa menyambutnya dengan tatapan berbinar. "Mata Lo buta?" tanya Arsen balik dengan nada sarkas. "Jangan dengerin dia. Btw, sini makanannya dipegang gue aja," sergah Karisa. Bagas yang percaya pun menyerahkan plastik itu pada Karisa. "Gue permisi dulu. Kalau butuh apa-apa, tinggal bilang aja," Bagas mengeluarkan kartu nama miliknya. Setelah meletakkan di meja, Cowok itu melenggang pergi. Arsen tidak mencegah. Tidak ada gunanya juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD