Bagian 8

2638 Words
Paris Pov  Aku sudah tidak sabar untuk membenamkan milikku di liang istriku. Sungguh! Sebut saja aku ini pria m***m. Karena kenyataannya memang seperti itu. Aku m***m pun di karenakan lekukan tubuh istriku yang tak pernah berhenti menggoda. Dan aku sudah sangat lama mendambakannya, bahkan di dalam mimpi pun aku sangat sering menemukan lekukan tubuh Sidney yang sialnya tidak pernah bisa kusentuh sama sekali. Tapi sekarang, apa yang kuinginkan sudah berada di bawahku. Tubuhnya mendadak tegang saat aku melontarkan kalimat yang menyatakan soal kewajibannya sebagai seorang istri. Aku tidak mengada-ada. Apa yang aku ucapkan itu memang benar adanya bukan? Jadi, biarkan saja mulut ini mengoceh dengan sendirinya. "Kau! Dengar, aku--aku belum ingin melakukan itu ... dan aku sama sekali tidak siap jika harus menjadi seorang ibu di usiaku yang masih terbilang muda ini. Jadi kumohon, simpan dulu hasratmu sampai aku siap untuk melakukannya." cetusnya tiba-tiba, ada nada getar dari suaranya. Aku tertegun mendengarnya. Tatapan yang dipancarkannya pun begitu menyiratkan sebuah permohonan yang begitu mendalam. Apa dia bilang? Istriku ini belum siap untuk melakukan seks bersamaku? Dan dia belum mau memproduksi Paris kecil dari rahimnya? Oh tidak! Lalu aku harus menurutinya? Begitu? Hei! Enam tahun aku menahannya dan ketika kesempatan sudah di depan mata, apa aku harus menyia-nyiakannya? "Kau mungkin tidak pernah merasa apa yang aku rasakan. Tapi kuharap, kau bisa mengerti sedikit saja ... bukankah hubungan badan yang dilakukan oleh sepasang suami istri itu baru bisa dilakukan jika diiringi dengan cinta? Lalu, jika cinta itu hanya ada di satu pihak, rasanya sangat tidak adil bukan?" tuturnya lagi membuatku termenung mencerna setiap kalimatnya. Hubungan badan hanya bisa dilakukan jika diiringi dengan yang namanya cinta? Hah, peraturan dari mana itu? Bukankah selama ini juga aku melakukannya dengan para jalang yang haus akan belaian? Bahkan, tanpa adanya cinta mereka masih bisa mencapai k*****s setelah kupompa berulang kali. Hei! Rupanya istriku ingin mengulur-ulur waktu saja, huh? Oh baiklah, mungkin sedikit foreplay tidak masalah. "Sudahlah, jika kau belum siap untuk kumasuki ... maka biarkanlah suamimu ini melakukan pemanasannya dulu, ya!" pintaku akhirnya, namun membuat dahi istriku mengerut tidak paham. "Ma--maksudmu apa?" tatapnya bingung. Benarkan? Istriku ini masih polos rupanya. Apa itu artinya si k*****t Bayu tidak pernah menyentuhnya selama berpacaran dulu? Oh jika itu benar, maka aku sangat berbahagia sekali mendapatkan Sidneyku yang belum terjamah tangan kotor pria k*****t itu. Aku tersenyum miring. Tidak ingin membuat Sidney kebingungan terus, aku pun mencoba melontarkan sedikit penjelasan akan ketidakmengertiannya ini "Sayang, kupikir kau akan mengerti. Mungkin aku bisa saja tidak mengambil mahkota berhargamu sekarang, tapi setidaknya ... kau mengizinkan aku untuk sekadar menyentuh tubuh indahmu ini, kan?" tatapku memohon. Istriku masih mengernyit, dia belum paham juga rupanya. Oh ya Tuhan, aku pikir Sidney ini adalah tipikal gadis yang tahu tentang hal berbau seks meski tak pernah mencoba. Tapi ternyata dia ini polos sekali, membuatku begitu gemas ingin segera mengajarinya. "Baiklah, Sayang ... mungkin kau akan mengerti jika aku langsung mempraktikannya!" tandasku memutuskan. "Mak---hmpppp," belum sempat dia kembali menanyakan apa maksudku, kubungkam saja bibirnya dengan ciumanku. Matanya melebar kaget dan tangannya berusaha untuk mendorong tubuhku agar menjauh. Tidak semudah itu, Sayang! Aku terus menciumnya. Melumat bibir tipisnya dan menggigit kecil sudut-sudutnya, dia masih gencar memukuli dadaku yang berjarak dekat dengan dadanya yang menggumpal kenyal kurasa. Tapi itu tidak kuhiraukan. Justru aku tidak henti menggigiti bibirnya agar terbuka. Dan usahaku berhasil, bibirnya memberi celah. Tak ingin membuang kesempatan, lidahku pun melesak mencecapi seisi mulutnya yang lembut. Memberikan ciuman panas untuknya dan pukulan pun sedikit demi sedikit mulai terhenti. Baguslah! Kurasa, tenaganya sudah mulai terserap oleh permainan kecilku ini. Di tengah bibirku yang tak mau menyudahi ciuman ini. Tangan kananku mulai beraksi, kugerakkan tangan ini mengusap lengannya yang mulus. Lalu beralih ke ujung kausnya dan menyelinap masuk ke dalamnya. Tangan kananku sedang sibuk mencari gumpalan kenyal yang masih dibungkus bra. Sementara itu, tangan kiriku bergerak menyusup ke belakang leher istriku, menekannya agar lebih mudah memperdalam ciuman. "Ngh," satu erangan lolos dari bibirnya, membuatku semakin lincah mencumbu lidahnya yang kuajak menari oleh lidahku sendiri. Tangan kananku pun sudah berhasil menaikkan branya ke atas. Sehingga aku bisa bebas meraba seonggok daging kenyal yang sudah menegang di bagian putingnya. Bereaksi, huh? Bibirku terlepas dari bibirnya. Namun tidak berniat untuk mengakhiri, justru ciumanku merambat turun ke dagu dan mulai bermain di leher jenjangnya. Kepala istriku bergerak gelisah ketika lidahku menjilati kulit lehernya yang harum vanilla. Di bagian lekukannya aku pun menggigit kecil memberikan tanda cintaku di sana. "Akh!" dia memekik, mungkin efek pembuatan kissmark-ku barusan. Di sela ciuman yang semakin meradang di bagian leher. Kedua jariku mulai memainkan p****g istriku yang sudah mengeras. Oh ini enak sekali, kujepit diantara jari telunjuk dan ibu jariku. Memilinnya dengan penuh perasaan. "Ahh," istriku mendesah, kuhentikan permainan di lehernya. Penasaran, aku pun mengangkat wajah ingin melihat ekspresi istriku saat kumainkan putingnya sekarang. Matanya terpejam rapat, mukanya memerah menahan gairah, bibir bawahnya ia gigiti sendiri dan sesekali kepalanya ia tengadahkan sehingga lehernya melengkung mengikuti gerakan. Aku tersenyum puas. Istriku berhasil terangsang oleh permainanku. Padahal, baru dicium dan dimainkan putingnya saja, apalagi kalau aku menjilati k*********a. Mungkin dia sudah meracau ingin dimasuki. "Kau seksi sekali, Sayang ... aku jadi tidak bisa menahan gairahku lebih lama lagi," ucapku serak dan kembali melumat bibirnya rakus.                                                                                     ---- "Jadi, kau akan membawaku ke apartemenmu?" Aku menoleh dari tempatku sekarang. Mendapati istriku yang baru saja keluar dari kamar mandinya. Di tengah sedang asyik melakukan foreplay tadi, tiba-tiba dia menghentikan kesibukanku yang hampir melepas t-shirtnya. Kupikir ada apa, nyatanya dia minta berhenti karena perutnya terasa lapar. Padahal tinggal selangkah lagi t-shirt itu kulepas. Awalnya, aku tidak ingin menghentikan aktifitasku karena aku tidak tahan ingin mencoba mengulum putingnya yang menantang, tapi dia bilang katanya dia punya penyakit magh. Dan tentu saja aku tidak egois, dengan berat hati aku pun menghentikannya walau enggan. Istriku berjalan ke tepi ranjang, dia seperti sedang berpikir. "Kenapa?" tegurku, lantas beranjak dari sofa dan melangkah mendekatinya. Dia mendongak, melihatku mendekat dia terlihat was-was sekarang. Ya Tuhan! Apa harus seperti itu reaksi yang diberikannya ketika suami sendiri mendekat, hem? "Jangan takut, Sayang ... aku tidak akan melanjutkan yang tadi. Aku hanya ingin duduk di dekatmu saja," ujarku menenangkan, kulihat istriku tampak bernapas lega. Apa yang kupikirkan memang tidak salah. Dia mempunyai rasa was-was jika kudekati. Memangnya aku semenyeramkan itu, ya? "Tenang saja, demi kamu aku rela menahan gairahku ini, Sid...." gumamku tersenyum tulus. Dia tidak menjawab, hanya terdiam dan sedikit menggeser duduknya ketika aku mendaratkan pantatku di tepi ranjang yang sama. Astaga! Kenapa aku jadi merasa seperti penjahat kelamin yang ditakuti gadis belia, ya? "Emm, kau kenapa? Apa aku semenakutkan itu di matamu?" tanyaku penasaran dan kuharap jawabannya tidak akan membuat hatiku teriris. "Tidak! Hanya saja, aku sedikit risi kalau berdekatan denganmu," jawabnya tanpa mau menatapku. Ya Tuhan! Apa aku se-merisikan itu, ya?                                                                                    --- "Jaga diri kamu ya, Sayang. Jangan telat makan, nanti magh-nya kambuh lagi. Mommy akan sangat merindukanmu, Sayang, kalau ada waktu luang ... sempatkanlah untuk main ke sini, ya...." tutur ibu mertua berpesan pada anak gadisnya yang akan kubawa pergi. Aku baru saja selesai memasukkan koper dan barang-barang milik Sidney ke dalam bagasi. Selepas menutup pintu bagasi aku lantas berjalan menghampiri istriku yang tengah berpamitan pada mommy. Sidney mengangguk. Kulihat dia meneteskan air mata, lalu sebelum menderas dia pun beringsut memeluk tubuh mommy. "Sidney sayang sama Mommy. Sidney akan selalu merindukan Mommy, jangan khawatir, Mom ... sebisa mungkin Sidney akan meluangkan waktu untuk mengunjungi Mommy dan Daddy," ucap istriku diiringi isakan kecilnya. Dia sungguh menangis? "Iya, Sayang. Mommy juga sayang sama kamu," angguk ibu mertuaku. "Paris!" tegur daddy menepuk bahuku. Aku pun mendongak menatapnya, "Ya, Dad?" "Daddy titip Sidney, ya. Jangan sampai daya tahan tubuhnya melemah hingga membuat dia jatuh sakit. Dia kadang suka manja kalau lagi sakit, bisa merepotkan orang yang mengurusnya kalau jatuh sakit. Kamu juga harus mengerti apa yang diinginkannya. Istrimu cukup keras kepala jika sedang bersikeras menginginkan sesuatu. Daddy harap, kamu bisa memakluminya, ya...." jelas daddy memberitahukan. Aku hanya mengangguk patuh. Kurasa aku memang tidak boleh egois, aku pun mulai mengerti bagaimana pola pikir istriku. Seharusnya, aku bisa lebih dewasa dalam menyikapinya. Dan sepertinya, aku juga harus pandai menahan gairah untuk tidak menyentuhnya dulu sebelum dia bisa membuka hatinya. Kurasa, dengan pernikahan yang terjadi secepat ini Sidney juga harus menyesuaikan dirinya dulu. Apalagi Sidney sempat berucap secara terang-terangan kalau dia tidak mencintaiku sama sekali. Jadi meskipun kami sudah resmi menjadi suami istri, ada baiknya aku tidak memaksakan kehendakku kepadanya. Bukankah cinta itu tidak bisa dipaksakan? Sebaiknya, otak mesumku ini harus kusingkirkan dulu jauh-jauh. Aku akan membuat istriku membuka pintu hatinya terlebih dahulu, agar aku bisa dengan mudah merayap ke dalam hatinya. Jika dia sudah berhasil kubuat jatuh cinta, bukankah akan lebih mudah untuk mewujudkan semua impian yang kuharapkan sejak dulu? Ya, kurasa aku harus ekstra berusaha.... Sidney sudah selesai memeluk mommy. Kini dia beralih memeluk dadd. Ah, aku sedikit terenyuh melihat mata berair istriku. Dia tidak rela meninggalkan kedua orangtunya, tapi apa boleh buat? Untuk membuatnya mandiri aku harus tetap pada keputusanku, yaitu mengajaknya tinggal di apartemen hanya berdua. Setelah sesi peluk memeluk itu selesai, lantas aku pun berpamitan pada kedua mertuaku. Kuciumi punggung tangannya bergantian, lalu merangkul istriku dari samping guna menuntunnya ke arah mobil. "Hati-hati, Sayang. Sering-sering berkunjung kemari ya, Nak!" seru mommy melambaikan tangan. Sidney menoleh sejenak, rautnya begitu sedih kulihat. Sempat dia ingin berbalik lagi, tapi kutahan segera. Dia menatapku bertanya, tapi kujawab dengan gelengan pelan dan sedikit senyuman menguatkan. Kepalanya ia tundukkan lesu dan aku kembali menuntunnya ke arah pintu penumpang di sisi kursi kemudi. Selepas membuka pintu, Sidney pun masuk dan mendudukkan dirinya di kursi mobil. Lantas, aku pun menutup pintunya dan segera berjalan ke arah pintu satunya lagi. Aku mengangguk singkat saat mataku tertuju ke arah mertuaku yang saling merangkul di tempatnya. Daddy tersenyum hangat sebelum akhirnya aku memasukkan diri ke belakang kemudi. "Jaga Sidney baik-baik, Menantu!" seru daddy lantang. Dan setelah menghidupkan mesin mobil, aku melongok menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, aku pun melajukan kemudi meninggalkan halaman rumah mertuaku yang dialasi rerumputan hijau menyegarkan pandangan.                                                                                    --- Range Roverku akhirnya tiba di basemen gedung apartemen. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu setengah jam, aku pun berhasil membawa istriku ke apartemen pribadiku. Meskipun selama perjalanan tidak ada obrolan yang terjadi, tapi aku bersyukur karena Sidney tidak terus menangis meratapi perpisahan dengan orangtuanya. Aku melirik ke sebelah, istriku terlelap dalam tidurnya. Di tengah-tengah perjalanan tadi, dia memang sempat menguap dan cuaca sore ini cukup mendukung untuk menidurkan diri meskipun di dalam mobil sekali pun. Aku melepas salt belt yang terpasang di tubuh, kemudian sedikit beringsut mendekatkan diri ke arah istriku yang tak terusik sama sekali. Aku tersenyum geli melihat caranya tertidur, mulutnya sedikit menganga dan itu membuatku gemas ingin menciumnya. Karena tidak tahan, aku pun merunduk mencium bibir tipis itu. Sedikit menjilat permukaan bibirnya yang lembut dan mengakhirinya sebelum ia terbangun karena ulahku ini. Istriku, dia sangat menggemaskan. Kukecup keningnya beberapa saat dan memutuskan untuk menggendongnya tanpa repot-repot membangunkan tidurnya. Aku tidak ingin mengganggu istirahatnya! Akhirnya, setelah susah payah menggendong tubuh ramping istriku dari parkiran sampai di depan pintu apartemen sekarang. Aku pun menekan 6 digit password yang sudah kupakai sejak awal memiliki apartemen ini. Setelah pintu berhasil terbuka, kudorong dengan sebelah kaki untuk melebarkannya. Aku pun langsung melangkah masuk melewati ruang tengah dan menerobos masuk ke dalam kamar. Sesampainya di kamar, aku lekas merebahkan tubuh istriku ke atas ranjang kingsize-ku secara pelan-pelan. Kemudian melepas flatshoes yang membungkus kedua kaki indahnya, selepas itu kuselimuti tubuhnya dengan bedcover hitam milikku hingga mencapai d**a. Aku membungkukkan badan dan mengecup kening Sidney cukup lama, "Sleep tight, Sayang...." bisikku menyudahi, kemudian aku memutuskan untuk menghubungi pihak petugas apartemen agar menghadapku ke sini.                                                                                          --- Beberapa menit yang lalu, koper dan boneka beruang besar milik Sidney sudah diantar kemari oleh petugas apartemen yang kusuruh tadi. Sesudah memberi sedikit uang tip untuknya, petugas lelaki itu pun undur diri meninggalkan unitku. Dan sekarang, aku sedang duduk bersantai di atas sofa. Menaruh kedua kakiku yang terasa pegal di atas meja beralas kaca tebal di hadapanku. Ting tong. Baru saja aku melepas dua kancing teratas kemejaku, bel di luar sana sudah berdenting saja mengganggu waktu santaiku. Ting tong, ting tong. Dentingan bel itu dibunyikan berulang kali seolah tak sabar. Aku berdecak kesal dan memaksakan diri untuk menyeret kaki ke arah pintu. Saat aku sudah berada di depan pintu, tanganku langsung terulur menyentuh tarikan pintu. Kutarik hingga terbuka dan sosok wanita ber-mini dres ketat merah menyala pun menerobos masuk tanpa sempat bisa kuhalangi. "Kau? Untuk apa lagi kau ke sini, hah?" bentakku marah. Tidak kah dia ingat? Tempo hari, bukannya aku sudah mengusirnya secara terang-terangan? Lalu, mau apa lagi dia ke sini sekarang? Wanita sialan itu berbalik menghadapku, tatapannya berkobar seakan siap meledakkan amunisi yang sudah disediakannya. "Kudengar, kau menikahi seorang wanita...." lontarnya menyalang berkacak pinggang. Aku mendengus muak, "Lalu apa urusanmu?" delikku sambil melangkah melaluinya. "Jadi itu benar?" jeritnya memekakkan, lantas menarik lengan kemejaku hingga aku dipaksa berbalik menghadap w***********g ini. Aku tersenyum sinis seraya menepis tangan busuknya di lengan kemejaku dengan kasar. Aku tidak sudi bersentuhan dengan kulitnya walaupun hanya mengenai kemejaku saja. "Wanita mana yang kau nikahi itu, Paris? Jalang mana yang sudah kau pilih dibandingkan aku, hah?" Teriaknya berapi-api dan membuat emosiku semakin mencuat saat dia mengira bahwa aku menikahi seorang jalang seperti dirinya. "Jaga ucapanmu, Jalang laknat!" sungutku sengit sambil menunjuk muka palsunya yang ditebali riasan make up. Dia sempat terkejut dengan tunjukkan telunjukku, tapi tidak berlangsung lama karena aku kembali melanjutkan kalimatku sekaligus menegaskan. "Kau pikir aku sudi menikahi jalang sejenismu, hah? Bahkan untuk meliriknya saja aku ingin muntah. Jadi buang pikiran busukmu itu jauh-jauh jika kau berpikir kalau wanita yang aku nikahi adalah seorang jalang seperti dirimu!" desisku menahan diri untuk tidak bermain fisik. Jalang di depanku pun mengatupkan rahang. Tangannya mengepal kuat dan wajahnya memerah karena emosi. "Lebih baik kau pergi dari apartemenku! Karena aku tidak mau kaki kotormu itu membawa virus busuk yang bisa saja menempeli lantai apartemenku," usirku dingin. Dada si jalang kini turun naik. Sepertinya, amarah kian melanda dalam dirinya. Aku hanya bersedekap menatapnya datar tanpa minat. Beberapa saat dia membisu, entah apa yang sedang ia pikirkan, yang jelas aku tidak perduli sedikit pun. Kuharap, jalang ini segera pergi sebelum istriku yang cantik terbangun dari tidur nyenyaknya. Di tengah kebisuan w***********g itu, tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka dan-- "Heh, Tuan Ceo! Ada apa ini? Berisik sekali," istriku muncul melontarkan gerutuan dengan suara seraknya. Aku terbelalak panik saat si jalang itu beralih menatap Sidney yang sedang mengucek mata di dekat pintu kamar. Dan kepanikanku bertambah besar saat Angel--nama w***********g itu--melangkahkan kakinya lebar menghampiri Sidney yang tidak tahu apa-apa. "Angel berhenti melangkah atau aku seret kau keluar!" teriakku lantang mengancam. Sidney sempat terkejut dengan teriakanku, tapi hal itu sedikit kuabaikan karena sekarang langkah kaki Angel sudah semakin mendekat. Sidney menatap wanita yang menghampirinya dengan pandangan bingung. Belum sempat aku meneriaki lagi, Angel malah sudah berhasil mendekati istriku. "ANGEL! JAUHI ISTRIKU ATAU--" "Atau apa?" selanya menatapku sinis, "Kenapa? Kau takut aku menyakitinya? Kau takut aku berbuat seperti ini?" "Akh!" aku melotot lebar saat istriku meringis kesakitan akibat rambutnya dijambak Angel cukup kasar. "Jadi kau yang sudah merebut Paris dariku, hah?" bentak Angel tepat di telinga Sidney. "Siapa kau ? Aku tidak merebut Pa--akh," "Diam kau jalang, Sialan! Gara-gara menikahimu, Paris meninggalkan aku. Dan dia--" "CUKUP, ANGEL!" teriakku menyela, kulangkahkan kakiku menghampirinya. Diiringi dengan amarah yang memuncak, tanpa memikirkan dia seorang wanita yang pantang untuk kusakiti, aku pun mencengkeram lengannya sekuat tenaga. "Aw! Sakit, Paris" rintihnya. "Jauhkan tangan kotormu itu dari rambut istriku! Atau kupatahkan tulang lenganmu ini," ancamku tak main-main. "Oke! Aku akan melepaskannya, tapi--" "CEPAT!" Bentakku tak sabar, Angel lantas menuruti apa perintahku. Selepas jambakannya terlepas dari rambut istriku, aku pun menarik lengannya yang tak kulepas sama sekali. Kuseret dia dengan kasar. "Paris ... sakit!" rontanya meringis. Aku tidak perduli dengan rontaannya, yang jelas aku harus membawanya menjauh dari istriku. Sekaligus aku akan memberikan pelajaran untuk jalang satu ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD