Bagian 6

2208 Words
Bukankah pernikahan itu adalah sebuah keputusan dari komitmen kedua insan yang saling jatuh cinta. Dan, bukankah menikah itu juga hanya akan terjadi kepada dua manusia yang sudah siap lahir batin menjalaninya? Lalu jika aku tidak termasuk ke dalam dua kriteria itu, akan seperti apa nasib pernikahanku nanti?                                                                     -Sidney Fanella Prakasa-                                                                                           ---- Sidney Pov  Mungkin, jika pernikahan itu terjadi karena didasari oleh cinta, aku adalah perempuan paling bahagia yang menantikan hari ini. Menikah dengan seorang pria yang menjabat sebagai CEO sukses di sebuah anak cabang perusahaan besar bernama Pranata corp. Dan mungkin, jika posisiku sebagai salah satu perempuan yang menggilai pria tampan dan mapan seperti Paris, akan sangat masuk akal jika aku berteriak bahagia karena bisa dinikahinya. Tapi kenyataannya, aku ini hanya perempuan malang yang dipaksa menerima perjodohan itu oleh kedua orangtuaku. Bahkan, aku hanya bisa pasrah saja sampai hari sakral itu tiba. Pagi ini,wajahku sudah dirias make-up oleh perias ahli yang disewa mahal mommy dan daddy. Rambut indahku telah digelung dan ditata sedemikian rupa anggunnya. Lipstik merah pun sudah terpoles di bibir tipisku. Kebaya modern putih yang tempo hari aku coba di butik tante Garnis kini sudah benar-benar terpasang di tubuh. Dari pantulan cermin, aku bisa melihat dengan jelas bahwa sekarang penampilanku sudah hampir dibuat sempurna dari atas hingga bawah. Apalagi manik mutiara mahal yang menghiasi rajutan kebaya yang kukenakan sekarang sangatlah mendukung untuk mencapai kata sempurna. Tapi satu hal yang tidak kumiliki, senyuman bahagia. Bibirku sama sekali tidak menerbitkan senyuman itu. Hanya garis datar saja yang terukir di sana. Lalu, apakah tanpa adanya senyuman penampilanku ini masih bisa dikatakan sempurna? "Sidney, apa kau sudah siap?" aku terenyak saat melihat dari bayangan cermin kalau mommy baru saja masuk melewati pintu kamar. Mommy sangat cantik dengan kebaya biru langitnya. Rambut mommy juga disanggul rendah, dan aku langsung berbalik ketika langkah mommy menghampiri posisiku. "Ah ya ampun, kau cantik sekali, Sayang. Mommy sampai pangling melihatnya." puji mommy tulus. Aku hanya tersenyum samar menanggapi pujian yang terlontar. Kedua tangan mommy kini merengkuh bahuku lembut, tubuhku dihadapkannya ke arah tubuh mommy yang berdiri tegak di depanku. "Sayang, akhirnya hari pernikahanmu tiba juga. Meskipun resepsinya menyusul nanti, tapi mommy tetap bahagia, Sayang. Karena pada akhirnya, anak mommy satu-satunya pun akan menempuh hidup baru bersama pria terbaik yang mommy dan daddy pilihkan untukmu. Mommy harap ... kamu bisa bahagia, ya sama Paris. Dia adalah pria bertanggung jawab, dan mommy rasa dia akan membuatmu selalu bahagia." papar Mommy panjang, matanya sampai berkaca-kaca kulihat. Mommy tampak bahagia sekali, ya. Lalu apa mommy tahu kalau anaknya ini sama sekali tidak bahagia akan pernikahan yang bahkan tidak tercatat di dalam list keinginannya sekali pun? Apa mommy tahu kalau sejujurnya aku tidak mau menikah dengan Paris? Tapi demi menuruti kemauan mommy dan daddy, aku pun rela mengorbankan kebahagiaanku. Aku rela harus berpisah dengan Bayu. Aku rela harus menghapuskan semua impianku yang hanya ingin hidup berdampingan dengan lelaki yang kucintai. Bayu Renaldi, bahkan nama itu masih tersimpan rapat di dalam sini. Di relung hati yang terdalam. Dan semua itu, aku lakukan semata hanya untuk membuat mommy dan daddy bahagia. Anggap saja ini adalah salah satu pembalasan jasaku untuk mereka. Walaupun jasa mereka tidak mungkin bisa aku balas dengan pengorbanan apapun, tapi setidaknya, aku sudah membuat mereka tersenyum bahagia, kan? "Sayang, Mommy tahu ... Kamu tidak mencintai pria yang akan menjadi suamimu tak lama lagi itu, kan?" Cetus mommy menatap mataku. Aku tersenyum lemah mendengar kalimat mommy barusan. Jika mommy tahu, lalu apa yang akan dilakukannya sekarang? "Tapi percayalah, Sayang ... cinta akan datang karena terbiasa. Meskipun sekarang kamu tidak memiliki rasa cinta pada Paris, tapi Mommy yakin, seiring berjalannya waktu yang akan kalian lalui bersama. Lambat laun, hati kamu pasti akan terketuk juga. Cinta itu akan hinggap dengan sendirinya, Sayang...." lanjut mommy penuh keyakinan. Bersamaan dengan itu, sosok tampan nan gagah di usianya yang sudah lanjut pun muncul memasuki kamarku juga. "Sepertinya, waktu mempelai wanita untuk turun ke bawah sudah tiba. Apa kalian sudah siap, Ladies?" seru daddy menatapku dan mommy silih berganti. Tatapannya sangat lama ia arahkan kepadaku. Entah hanya perasaanku saja atau memang raut wajah daddy terlihat sedih sekarang? Meskipun tidak ada sorot berkaca dari mata coklat gelapnya, tapi aku bisa tahu kalau daddy pasti ikut merasa sedih, karena setelah ijab kabul nanti aku akan resmi terlepas dari tanggung jawabnya. Dan itu artinya--- "Daddy...." bisikku lirih. Sedetik kemudian, aku pun melangkah menghampiri pria berkarisma di dekat pintu sana. Meskipun langkahku tidak bisa lebar dan cepat, tapi akhirnya aku bisa juga meraih tubuh tegap daddy untuk kupeluk. Di antara jutaan pria yang ada di muka bumi ini, hanya daddylah yang aku sayangi sepenuh hati. Walaupun daddy sudah memaksaku untuk tetap melangsungkan pernikahan yang tidak kuinginkan ini, tapi satu hal! Aku akan tetap menyayangi pria beraut lelah ini sampai kapan pun.  "Aku menyayangimu, Dad!" bisikku lagi memeluk tubuh daddy erat. Kudengar daddy menghela nafasnya berat. Tangannya bergerak mengusap punggungku lembut. Kecupan hangat penuh kasih sayang pun daddy daratkan di pucuk kepalaku. Ah, haruskah aku menangis sekarang? Aku benar-benar belum siap jika harus meninggalkan daddy dan mommy setelah akad nikah berlangsung nanti. "Daddy juga menyayangimu, Nak." balas daddy sama lirihnya, dan tak berselang lama aku merasakan elusan tangan mommy di lenganku. "Sudah, Sid, jangan menangis. Nanti make-up kamu luntur lagi," ucap mommy memperingatkan. Make-up? Luntur? Persetan dengan semua itu! Yang jelas, aku hanya tidak ingin membuang momen berharga ini. Mungkin saja kan setelah aku menikah nanti, aku akan sangat jarang bertemu daddy. Selain daddy yang supersibuk mengurus perusahaannya, aku pun pasti akan sedikit disulitkan untuk mengunjunginya. Ah, andai saja aku diperbolehkan untuk tinggal di rumah daddy dan mommy setelah resmi menjadi istri Paris nanti, mungkin akan sangat senang karena aku tidak harus berpisah dengan mereka. Tapi sepertinya, itu mustahil ya....                                                                                       --- "Selamat ya, Bro ... akhirnya, kau mengakhiri status lajangmu juga setelah penantian sekian lamanya." "Ah sudah lah, Daf, jangan coba-coba kau bahas masalah itu di sini! Yang terpenting sekarang, aku sudah sah menjadi seorang suami dari gadis cantik seperti istriku ini." ujar pria di sebelahku dan dengan seenak jidatnya dia menarik pinggangku merapat ke tubuhnya. Dia mencuri kesempatan, huh? "Oh ya, aku belum sempat berkenalan dengan istrimu secara langsung. Apa boleh aku bersalaman dengan istrimu sekarang, Dude?" lelaki tampan berambut hitam di gaya spike itu lantas meminta izin pada pria m***m di sebelahku ini. "Tentu saja. Setelah menjadi istriku, dia juga harus mengenal sahabatku dengan baik bukan?" liriknya ke arahku dan aku hanya mendengus sambil pura-pura tak mendengar. "Ah, emm ... hai, Kakak ipar? Kenalkan, namaku Daffa. Aku sahabat baik suamimu ini. Salam kenal ya, semoga kita bisa berteman baik untuk ke depannya." tukas lelaki bernama Daffa itu mengulurkan tangan ke hadapanku. Aku menatap wajahnya sesaat, lalu menurunkan pandanganku ke tangannya. Menaikkan lagi ke wajahnya dan dia memasang senyuman akrab sebelum akhirnya kuterima juga uluran tangannya. "Emm ya, namaku Sidney. Senang berkenalan denganmu...." balasku basa-basi diiringi dengan senyuman singkat seadanya. "Gak usah kelamaan juga kali salamannya. Keasikan sendiri kau!" sambar Paris yang segera menarik tanganku dari genggaman tangan sahabatnya itu. "Ck. Ketakutan banget, sih. Kau pikir aku akan merebut istrimu? Memangnya, sahabat macam apa aku, huh...." delik Daffa tersinggung. "Bukan begitu, tapi--" "Ah sudahlah! Aku lapar, lebih baik aku cari makanan saja daripada berdebat denganmu," selanya kesal lantas bergegas melangkah pergi. Kulirik dari samping Paris tampak menghela nafas gusar. Sepertinya, dia tidak bermaksud untuk membuat sahabatnya itu tersinggung. Tapi sebelum sempat menjelaskan, Daffa malah sudah keburu pergi. Kasihan.... "Ehem!" aku tergeragap tak jelas saat ketahuan Paris sedang mengamati, buru-buru aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Jangan sampai dia kegeeran, deh. Maksudku, mengamati mukanya kan hanya untuk melihat mimik mukanya ketika ditinggal pergi sahabatnya saja seperti apa, bukan karena aku terpesona dan tiba-tiba terpikat oleh ketampanannya, ya! "Aku tau aku tampan. Dan kalau kau mau memandangiku, lakukan saja sepuasmu! Karena, sejak ijab kabul tadi aku sudah resmi menjadi milikmu, Sayang...." bisiknya tepat di telingaku, dan itu cukup membuat bulu kudukku berdiri karena embusan nafasnya yang menerpa kulit telingaku. Kau tahu? Telinga dan leher itu adalah dua bagian sensitif yang bisa menimbulkan reaksi yang aneh di tubuhku. Aku masih mempertahankan posisiku untuk tidak menoleh dan menatapnya garang, tapi tiba-tiba suara beratnya kembali terdengar di tempat yang sama. "Bahkan, jika kau sudah tidak kuat untuk menyerangku ... aku akan pasrah menyerahkan tubuhku ini untuk kau jelajahi, Sayang...." desahnya menggoda, membuat mataku melebar lantas menoleh menatapnya berang. Pria itu malah memasang senyuman mesumnya. Dia bahkan tidak mempunyai rasa malu sama sekali sepertinya! "Kau! Berhenti berbicara seperti itu atau--" "Atau apa, Sayang?" potongnya memiringkan kepala ke kiri, "Atau kau akan menyeretku langsung ke dalam kamar? Begitukah maksudmu, Sayang? Hem?" lanjutnya lagi sembari mengedipkan sebelah matanya nakal. Dan apa kau tahu? Mukaku terasa terbakar seketika. Aura panas langsung menjalar ke kulit wajahku. Aku menggeram dan mengempaskan tangannya yang menempel di pinggangku sejak tadi. "Dasar pria m***m! Aku benci padamu CEO sialan," makiku dengan nada rendah kemudian berbalik dan mengentak kesal meninggalkannya. Aku butuh minuman dingin. Berlama-lama menanggapi ocehan pria m***m seperti dia, rasanya hanya akan membuat darahku semakin mendidih saja. Jadi lebih baik aku-- "AKU JUGA MENCINTAIMU, SAYANG! TUNGGU AKU DI KAMARMU, YA!!" Langkahku spontan terhenti ketika seruan kurang ajarnya menggelegar di ruangan tengah ini. Hawa panas kembali menguar di sekujur tubuhku. Apalagi, sekarang semua pasang mata yang awalnya sedang sibuk dengan urusannya masing-masing tampak mengarah ke tempat di mana aku berdiri. Dan di tengah aku yang sedang menahan diri untuk tidak mengamuk di tempat, tiba-tiba saja sebuah celetukan terlontar dari mulut papa mertuaku yang berdiri di dekat tangga sana. "Wah, besanku, sepertinya pengantin baru kita sudah tidak tahan untuk membelah duren. Sampai-sampai, menantumu berteriak tanpa tahu malu di tengah keramain seperti ini!" Detik berikutnya, semburan tawa semua kerabatku dan pria sialan itu pun membahana memenuhi ruangan tengah rumah ini. Pria m***m sialan! Gara-gara omongan ngelanturnya, aku jadi malu ... dan entah di lubang mana aku harus menyembunyikan mukaku sekarang. Arghttt!!!!                                                                                        ---- Aku masuk ke dalam kamar. Setelah dipermalukan oleh CEO sialan di depan semua pihak keluarga, tanpa mau mengangkat wajah aku langsung berlari menaiki tangga. Tidak perduli dengan celotehan daddy dan papa mertua yang gencar menggodaku akibat omongan kurang didikan Paris tadi, yang jelas, aku sudah tidak punya muka untuk sekadar menatap mereka. Ya Tuhan! Cobaan apa lagi ini? Setelah dipaksa menikah oleh orangtua, sekarang aku malah dipermalukan sebegitunya oleh pria sialan itu. Mengenaskannya, pria itu bahkan sudah resmi menjadi suamiku. Arghhtt! Aku melepas konde emas yang menempel di tatanan rambutku. Masa bodo! Meskipun masih banyak kerabat yang belum menyalamiku secara langsung di bawah sana, aku memutuskan untuk tidak keluar kamar lagi. Bodoh saja jika aku berani menampakkan diri setelah peristiwa memalukan tadi. Bisa diolok-olok aku sama mereka. Dan itu akan menjadi mimpi buruk pertama yang hadir di kehidupanku pascamenikah. Kalau saja aku menikah dengan Bayu, mungkin ceritanya tidak akan semengenaskan ini bukan? Aahh ... kenapa harus Paris yang menjadi suamiku? Kenapa harus pria m***m itu yang-- Cklek. Aku terlonjak kaget saat pintu kamarku terbuka dari luar. Seseorang telah mendorongnya dan mataku hampir melompat dari tempatnya ketika mendapati sosok pria m***m itu berdiri di ambang pintu setelah melebarkan pintu. Astaga! Dari mana dia tahu letak kamarku? "Aku diberi tahu mommy, Sayang ... ibu mertuaku memang pengertian. Tanpa kutanya, beliau dengan senang hati menyuruhku untuk menyusulmu ke sini," ujarnya menjawab pertanyaan yang bahkan belum kulontarkan dari mulutku langsung. Apa dia seorang dukun? Kenapa dia memberikan jawaban yang belum aku tanyakan lewat suara mulut? "Hem, kamarmu sangat rapi. Dan harumnya membuat aku tak sabar ingin..." dia menggantungkan kalimatnya, tatapannya melayang ke arahku tiba-tiba. Aku yang masih duduk di ujung ranjang pun mempunyai firasat yang kurang baik tentang kehadirannya di sini. Tanpa bisa kucegah, jantungku pun berdetak liar tak biasanya. Paris, dia sudah melangkah masuk menjejaki lantai kamarku. Bahkan pintunya kembali ia tutup hingga merapat. Perasaanku mulai gak enak, apalagi saat gestur tubuh pria itu menunjukkan sesuatu yang-- "Kau mau apa?" jeritku tertahan saat langkahnya semakin mendekat ke arahku. Dia tidak menjawab. Membuatku segera berinisiatif untuk beranjak dari tempat dudukku saat ini. Aku sudah berdiri dan langkah kaki Paris semakin mendekat hingga mengharuskanku berjalan mundur sesuai irama langkahnya. "Kau! Jangan coba-coba untuk--" "Apa? Memangnya kenapa? Aku sudah sah menjadi suamimu ingat? Beberapa jam yang lalu, aku sudah lancar meloloskan kalimat sakral yang disahkan oleh semua saksi. Lalu kenapa kau sekarang malah mundur, hem?" celotehnya memotong ucapanku, dan oh tidak! Langkahku harus terhenti karena tembok sialan ini. Kenapa aku tidak langsung kabur keluar saja tadi? Kalau begini ceritanya, bisa-bisa dia merenggut kegadisanku detik ini juga. Kumohon, aku belum siap untuk kehilangan mahkota berhargaku di tangan pria ini. Tapi-- Demi Tuhan! Aku sudah terjebak sekarang. Tembok laknat di belakangku ini seolah mendukung akan apa saja yang bisa dilakukan pria di hadapanku sekarang. "Kau berharap bisa kabur, huh?" seringainya mengerikan. Sebelah tangannya ia tumpukan di sisi kepalaku, sedangkan sebelahnya lagi ia gunakan untuk mengangkat daguku dan menengadahkan wajahku sedikit sampai bertemu pandang dengan iris abunya. "Kita sudah resmi, Sid, dan aku sudah diperbolehkan untuk menyentuh setiap inci tubuhmu yang selalu masuk ke dalam mimpi-mimpiku. Jadi, tidak ada yang harus kutahan lagi bukan? Dengan status baru kita, sekarang aku bahkan sudah tidak sabar untuk membuatmu menjerit nikmat!" tuturnya serak dan sorot matanya pun seketika berkabut. Aku--tenggorokanku mendadak kesat. Susah payah aku menelan saliva dan mataku hanya bisa terpejam cemas saat wajah Paris mulai mendekat sampai napas hangatnya menerpa seluruh kulit wajahku terasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD