XI. Harapan Semu

1582 Words
Jakarta, 2021. Jangan mengira Aarave menangkap tubuh Grizella lalu saling pandang. Jelas hal itu kesalahan besar. Aarave hanya menatap Grizella yang jatuh mengenaskan di dekat kakinya. Bahkan tidak ada pergerakan sat set seperti di film-film. Grizella yang sibuk merintih dan memegang punggungnya dengan Aarave yang hanya menatapnya ragu adalah sebuah perpaduan yang menyebalkan. “Astaga, Arave kenapa nggak ditangkap?!” marah Bunda dan berjongkok mendekati Grizella. Menolong gadis itu karena Aarave masih belum bergerak. Laki-laki itu semakin kesal dengan dirinya. Tangannya mengepal erat menahan geram karena dia tidak menangkap Grizella seperti apa yang bundanya katakan. Aarave memang bodoh, dia sebenarnya ingin menangkap Grizella, hanya saja refleksnya kurang sat set. “Kamu bawa Grizella ke sofa sana, deh! Obatin sekalian, ini gara-gara kamu ngagetin dia dan naruh apa-apa selalu di atas!” marah Bunda lagi. Aarave pasrah, dia mengangguk pelan dan memapah sang gadis yang meringis kesakitan. Grizella sendiri tidak fokus mendengarkan omelan Bunda. Dia lebih fokus mengusap punggung dan menangis. Dia cukup tahu saja Bunda memarahi Aarave yang menyebalkan. “Cengeng, gitu aja nangis.” Ejekan Aarave benar-benar menyebalkan. Grizella yang ingin menjauhkan tangan Aarave pun tidak bisa. Punggungnya sakit, jadi dibiarkannya Aarave berganti menjadi menggendongnya. Meletakkan pelan tubuhnya di atas sofa. “Sorry, gue nggak sempet nangkep lo,” ucap Aarave terdengar tulus. Grizella pun mengangguk pelan. Toh mau marah pun sia-sia, sudah terjadi juga, ‘kan? Kini mantannya itu memandang wajahnya cukup lama. Entah dengan alasan apa, namun yang jelas Grizella tidak bisa memikirkannya lebih jauh. Punggungnya benar-benar ngilu sekali. “Lo deket sama Marva kenapa?” Grizella yang masih meringis menatap Aarave sebelum menjawab, “Kenapa yang kenapa? Gue cuma temenan sama dia. Wajar juga kalau kita deket, ya kaya lo sama Grizelle.” Jawaban Grizella mengusik Aarave. Terlebih kalimat seperti dirinya dan Grizelle. Seolah itu merujuk pada hubungan mereka yang disembunyikan. Atau memang Grizella dan Marva juga berpacaran? Tapi tidak mungkin, bukankah Grizella dan Marva tidak mungkin mengetahui hubungan antara dirinya dan Grizelle yang sesungguhnya? “Gue nggak suka,” ucap Aarave menciptakan lipatan di dahi Grizella. “Terus?” Sialan. Aarave dibuat mati kutu. Terus? Aarave sendiri juga tidak tahu. Dia hanya mengungkapkan apa yang dirasakan sekarang. Bodohnya dia tidak memikirkan akibat terlalu blak-blakan tanpa pikir panjang. “Rave?” Aarave tersadar. Laki-laki itu segera beranjak mengabaikan Grizella yang kebingungan. Selang beberapa menit, laki-laki itu kembali dengan semangkuk sup buatan Soraya dan juga minyak urut. “Rave, ngapain bawa minta urut?” Meletakan mangkuknya dan juga minyak urut diatas meja, kemudian Aarave pun menatap Grizella. “Supnya lo makan, nanti biar bunda urut lo bentar. Pasti nyeri, ‘kan?” Grizella pun mengangguk saja, manut dengan apa yang Aarave katakan. Daripada yang mengurutnya Aarave, jadi diam saja. °^°^°^°^°^°^° “Minggu depan kata Arave ada pelajaran renang,” ucap Soraya sambil memijat pundak Grizella. Sebenarnya gadis itu sudah menolak berkali-kali karena merasa tidak enak. Tapi, Bunda yang memaksanya. “Iya, Zella mah nggak papa dapat C, daripada tenggelam.” Bunda tertawa kecil. “Kamu sih nggak mau belajar, padahal juga di rumah ada kolam renang.” Grizella mendengus. “Males, Bun. Apalagi kalau mama di rumah, behhh mama langsung jerit-jerit nyuruh keluar.” Lagi-lagi Bunda tertawa. Memang benar adanya, Mama Grizella dan Grizelle itu sangat protektif kepada Grizella jika sudah berhadapan dengan kolam renang. Sebenarnya, Grizella sudah bertahun-tahun latihan bersama Aarave, meski dalam kata tahun itu hanya hitungan jari dia benar-benar diajari karena tahu sendiri, Aarave sedari dulu hanya memandang Grizelle. Bahkan agar mendapatkan perhatian laki-laki itu, Grizella kadang perlu diam saja ketika Aarave mengiranya Grizelle. “Mamamu sayang banget sama kamu, La.” Grizella mengangguk. Iya, Mama-nya sayang sekali dengan dirinya dan Grizelle. Meski nyatanya Grizella akan lebih banyak mengalah karena didikan sang mama yang lebih menjaga perasaan Grizelle. Apalagi jika Grizelle sudah cemberut atau hampir menangis, siapa yang akan tega? “La, kamu tuh putus sama Arave belum, sih?” tanya Bunda. Grizella terdiam lama. Ditatapnya Aarave yang sibuk bermain ponsel, berharap laki-laki itu membantunya menjawab. Raut wajah Bunda berubah muram. “Putus, ya? Kenapa, sih? Padahal kalian tuh cocok banget.” “Berarti Grizelle dan Aarave juga cocok, Bunda. Grizella dan Grizelle ‘kan sama.” “Bunda malah bahas apa, sih? Oiya, si Grizelle mau ke sini nih. Katanya bawa pie s**u loh dia habis dari mall.” Soraya kembali tersenyum. “Wah seru nih, Bunda nggak sabar lihat kalian makan masakan Bunda!” Meski merasa tidak nyaman, Grizella tetap tersenyum dan menanggapi ucapan Soraya. “Aku udah ambil, Bunda, makan sup tadi.” “Makan lagi, lo kurusan.” “Gue nggak kurusan tauk!” sahutnya tidak terima. Grizella mendengus. Kemudian menatap Bunda yang masih memijitnya. “Bunda makasih, tapi Grizella udah mendingan kok.” “Cih, sok-sokan manis depan bunda.” Grizella melirik sinis. “Daripada sok manis depan mantan, nggak level!” Bunda tertawa keras mendengarnya. Grizella kini sudah beranjak menuju meja makan dengan sedikit nyeri di punggung. Dia sedari tadi mengincar salad buah bikinan Bunda. Tangannya mengambil satu cup salad buah itu dan segera memakannya. “Saladnya Bunda enak,” ucap gadis itu dengan mulut penuh. Soraya yang mendapatkan pujian tentu langsung semangat empat lima mendekati Grizella. “Serius?” Grizella mengangguk dan kembali menyuapkan saladnya. “Beneran, ini the best banget!” “Bohong paling, Bun,” kata Aarave. Grizella ingin sekali mengatai laki-laki itu, tapi tidak jadi. Grizelle sudah melangkah mendekat dengan menenteng berbagai totebag yang Grizella yakini ada pie s**u yang Aarave ceritakan. “Bunda!!! Grizelle tadi abis lihat baju dan inget Bunda, jadi Grizelle beli dua buat mama sama Bunda.” Soraya langsung berbalik mendekati Grizelle. Grizella sendiri memilih duduk dan menghabiskan saladnya. Whatever tentang dirinya yang diacuhkan. “Wah bagus, Bunda suka!” “Iya dong, Grizelle juga beli kembaran sama Aarave.” “Loh, Zella enggak?” Cukup lama jeda antara pertanyaan Soraya dengan jawaban Grizelle. “Em... Kak Zella, Grizelle beliin baju lain, Bun. Dia nggak suka kembaran.” Bohong. Grizella berdecak dalam hati. Gadis itu kini beralih memilih makanan yang ada di depannya. A, sepertinya udang berbalut tepung itu enak apalagi Bunda membuat saus keju, emmm. “Zella!” Grizella mendongak. Mulutnya masih asik mengunyah udang yang baru saja dimakannya. “Kenapa, Bun?” “Ini, kamu nggak ikut makan pie s**u? Keburu kenyang makan itu kamu.” Grizella langsung menggelengkan kepalanya. “Enggak, Bun, ini baru makan udang. Enak poll. Saus kejunya juga ihhh enak!” “Ya udah, jangan nyesel ya kalau abis pie nya! “Bunda juga jangan nyesel kalau abis udangnya!” balas gadis itu dengan tawanya. °^°^°^°^°^°^° Grizella mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Dia sengaja ke sini karena tidak ada yang menyadari jika dirinya telah beranjak dari ruang makan. Malam menjelang, perutnya pun sudah kenyang. Kini dia tinggal duduk sejenak menunggu lambungnya mencerna makanan sembari menikmati dinginnya air kolam renang malam ini. Senyumnya terlukis begitu menatap pantulan bulan di dalam kolam. Dia mendongak menatap bulan itu secara langsung guna memastikan keindahan yang sebenarnya, bukan hanya dari pantulan di air kolam renang. “Gue cuma salah satu makhluk hidup yang ngagumin lo dari sekian milyaran makhluk lainnya. Wajar kalau lo nggak pernah natap gue.” Kini dia beralih menatap ruang makan yang hanya berbatas kaca bening itu. Aarave, Bunda, Ayah, Mama, Papa, dan Grizelle tampak bercanda tawa. Mereka jelas tidak melupakan Grizella, hanya saja memang dirinya yang ingin menjauh. Tidak ingin pura-pura bahagia di depan mereka lebih tepatnya. Sedang asyik memperhatikan, tiba-tiba alisnya menyatu karena kedatangan Marva dan Juna. Kalau Juna, Grizella masih mengerti karena dia teman Aarave dan memang sering berkunjung, tapi kalau Marva? Aarave dan anak itu saja terlihat tidak akur, jadi tidak mungkin kalau berteman. Tapi kenapa bisa Marva ke rumah Aarave? °^°^°^°^°^°^° Jakarta, 2015. Dua anak berusia sebelas tahun itu tampak duduk di atas ayunan taman di dekat kompleks mereka. Dua anak kembar dengan salah satu diantara mereka menggunakan celana pendek dan yang lainnya menggunakan dress simple selutut. Di belakang sang gadis yang menggunakan celana, ada anak laki-laki cilik yang setia mendorong dengan semangat ayunan. “Keras lagi Aarave!” ucap Grizelle dengan tawa. Grizella yang sibuk mendorong ayunannya sendiri pun tersenyum tipis menatap dua anak di sebelahnya. Kejadian ini sudah ke sekian kalinya, saat mereka berkumpul bertiga, Grizella pasti akan tak terlihat oleh Aarave. Namun, saat hanya berdua, Aarave akan menganggapnya seorang Grizelle. “Aku mau dong!” Grizella mencoba ikut dalam percakapan mereka. Tampak Aarave tersenyum, Grizelle kecil pun juga menatapnya. “Ah, Kakak! Gue baru asyik sama Aarave juga!” “Tapi kalian udah dari tadi.” “Ya udah, gue dorong tiga kali, deh!” ucap Aarave dengan senyum tipis. Meski Aarave akhirnya mendorong ayunannya, tapi Grizella harus menahan rasa sakit dalam dadanya. Aarave hanya sekadar menjaga perasaannya, bukan benar-benar menginginkan untuk bermain bersamanya. “Udah aja.” Grizella mengerem ayunannya. Gadis itu pun beranjak dari ayunan dan berdiri menghadap Aarave juga Grizelle. “Gue pulang dulu deh, kalian jangan sore-sore pulangnya!” “Okey!” sahut keduanya kompak. Grizella akhirnya pergi, berbalik meninggalkan taman itu dengan langkah pelan. Dres selututnya berkibar tertera angin lembut dan matanya berkabut karena tangis yang tidak bisa dia tahan lagi. Grizella menyukai Aarave, ingin bermain juga dengan laki-laki itu, tapi Aarave selalu memandang Grizelle. °^°^°^°^°^°^°  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD