03. The Prince Charming (1)

2578 Words
Arkasa Sean Hadinata, mahasiswa kedokteran yang lumayan dikenal, meskipun tidak semua orang di kampus tahu dia karena yang namanya 'semua' itu hanya ada dalam soal logika matematika. Jangankan Arka yang hanya mahasiswa biasa, beberapa orang di kampus saja kadang tidak tahu siapa Rektor mereka. Tapi, kalau sudah masuk ke Fakultas Kedokteran, nama cowok ini sering muncul di mading fakultas, baik tercetak dalam brosur seminar, mahasiswa berprestasi ataupun lomba-lomba yang diadakan FK karena dia menjadi ketua panitia. Sesekali namanya juga sering disebut seangkatan, junior ataupun senior karena kelakuan positifnya dan tampangnya yang enak dipandang. Cowok itu bahkan kerap-kali dijuluki Pangeran oleh mereka karena aura dan pembawaannya seperti berasal dari negeri dongeng. Arka bukan dikenal hanya karena dia aktif organisasi, cowok ini juga termasuk mahasiswa berprestasi. Dulu, sebelum pacaran, Natella bahkan kaget banget waktu dengar kalau index prestasi Arka waktu semester satu mencapai angka empat. "Gila lo, kok bisa sih dapet IP segitu? Gimana caranya? Matkul kedokteran kan susah banget, teman seangkatan gue yang Fisip aja kagak ada yang IP 4." Natella berbicara kayak hal itu nyaris mustahil dicapai oleh seseorang, apalagi oleh cowok yang santai tidak terlihat ambisius seperti Arka. Natella pikir, Arka kayak cowok baik-baik kebanyakkan dengan IP seadanya. Atau berita yang dia dengar dari teman SMA-nya yang sejurusan dengan Arka itu hanya omong kosong belaka. "Belajar." Jawabnya tidak menyangkal. "Nggak ada yang instan di dunia ini." Iya juga, sih. Memangnya siapa yang bisa dapat nilai sempurna tapi kerjaannya cuma tidur-tiduran di kelas dan sering bolos? Secerdas-cerdasnya otak manusia juga harus kenalan dulu sama materi baru bisa memahami. Sewaktu pacaran sama Arka, barulah Natella sadar kalau Arka belajarnya bisa segila cuma tidur dua jam ketika masa ujian blok. Hari libur kadang juga dipakai buat belajar. Boro-boro jalan berdua sama Natella, chatting-an atau teleponan saja nyaris tidak sempat. "Setahu aku, manusia tuh belajar ada limitnya. Tapi, kok kamu sanggup sih belajar unlimited begini?" Keluh Natella antara kesal dan kasihan. Kesal karena Arka tidak punya waktu buat dia dan kasihan, pacarnya belajar sampai tidak tidur semalaman. "Atau seenggaknya, berhenti kek ikut organisasi-organisasi-an. Kamu tuh udah kebanyakkan kerjaan, tahu nggak?" Enam bulan pertama pacaran, hal-hal seperti ini menjadi alasan paling sering mereka marahan, Natella marah ke Arka lebih tepatnya. Malahan setelah dimarah-marahi, Arka tetap tidak peduli, juga tidak menyisakan waktu untuk Natella. Dalam kamus kehidupan Arka, Natella tidak pernah menjadi prioritas nomor satu. Makanya ada titik dimana Natella merasa capek sendiri. "Kenapa sih lo harus belajar segila ini? Tiap diajak jalan, alesannya mau belajar mulu! Angka index prestasi juga gabakal menjamin masa depan lo bagus!" Natella selalu merasa Arka sengaja mengabaikannya, sengaja mencampakkannya, sengaja tidak memedulikannya. Butuh enam bulan untuk Arka mau buka mulut, cowok itu memberinya alasan yang akhirnya bisa membuat Natella mengerti. Mengerti kalau beberapa orang seumuran mereka memiliki beban dan tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar berlovey-dovey ria sama pacar. "Kalau IP gue dibawah 3.5, bokap gamau ngasih duit buat kuliah gue lagi. Itu perjanjiannya, Nat." "Tinggal cari beasiswa." Balas cewek itu mengentengkan. "Lo kan pinter." "Ga segampang itu." Arka membalas pakai nada suaranya yang tenang, kontras dengan Natella yang meledakkan emosinya. "Bokap gapernah setuju gue masuk kedokteran." "Terus, kenapa lo masuk kedokteran? Durhaka banget sih jadi anak!" "Karena gue mau." Ucapnya kalem. "Dan kalau gue mau, gue harus perjuangin gimanapun caranya dan apapun konsekuensinya." Arka itu tertutup. Dia jarang menceritakan tentang dirinya, tentang bagaimana hidupnya, tentang perasaannya, tentang apa yang dia pikirkan. Makanya kadang Natella, atau mungkin orang-orang lain, selalu berbuat seenaknya terhadap Arka, selalu memikirkan apapun yang memuaskan ego mereka tentang cowok itu. Arka tidak pernah menjawab pertanyaan muluk-muluk, selalu simpel, sesimpel yang orang-orang pikir tentang hidupnya padahal dia selalu lebih rumit dari ribuan benang kusut. Karena gue mau. Cuma alasan bodoh yang bisa saja Natella sangkal dengan mudah. Anehnya, perkataan itu malah membuatnya merasa tertohok dan tertusuk. Otaknya tidak dapat berhenti berpikir. Kenapa dia pacaran sama Arka? Karena dia mau. Kenapa dia berteman dekat dengan Jeana, Dennisa dan Meira? Karena dia mau. Kenapa dia masuk jurusan ilmu politik? Karena dia menyerah dengan apa yang dia mau. Di dunia ini, tidak ada satupun manusia yang bisa mendapatkan apapun yang mereka mau. Pasti ada hal-hal tertentu yang tidak tergapai oleh mereka. Bisa jadi karena hal itu bukan untuk mereka, atau bisa juga karena mereka malas memperjuangkan. Natella dulu pengen sekali masuk jurusan perfilman, dia ingin menjadi sutradara, membuat film yang bisa membekas di hati penontonnya. Lantas, kenapa malah di Ilmu Politik? Sesederhana karena dia malas memperjuangkan. Atau mungkin untuk masalah jurusan, dia belum mengerti dengan apa yang dia mau. Sedangkan Arka sebaliknya, dia tahu apa yang dia mau dan dia sedang memperjuangkan kemauannya, meskipun kemauan itu bertentangan dengan kemauan orang lain terhadap dirinya. "Tetep aja, Nat. Kita memang bisa memperjuangkan apa yang kita mau, tapi kita ga seharusnya memaksa orang lain untuk mengikuti kemauan kita." Cowok itu bersuara lagi, disaat paling tepat, Arka memang bisa menjadi seseorang yang banyak bicara. Sedangkan Natella seperti tidak memiliki perkataan apapun untuk menjawab, apalagi menentang. Natella kemudian memeluk kekasihnya, petanda bahwa dia batal mengakhiri hubungan enam bulan mereka yang awalnya dia pikir akan berakhir disini meskipun dari lubuk hati terdalamnya, Natella tidak bisa merelakan Arka. "Sekarang gue tahu jawabannya." "Hah?" "Pertanyaan diri gue sendiri tentang kenapa mau bertahan punya status sama lo padahal dianggurin melulu," balasnya ceplas-ceplos. "Jawabannya karena gue mau elo dan gue mau memperjuangkan lo." Lanjutnya. "And I don't care about what you feel." Itu enam bulan pertama mereka pacaran, masalah prioritas merupakan masalah utama di hubungan itu. Arka yang cuek, Arka yang tidak pedulian, Arka yang tidak punya waktu untuk Natella. Namun, Natella juga tidak boleh lupa kalau Arka tetaplah lelaki baik hati yang dia kagumi. Arka baik, meskipun baiknya ke semua orang. Arka baik, meskipun Natella tidak diperlakukan spesial. Arka baik, karena cowok itu ada dikala Natella paling membutuhkan. Arka baik, karena dia membiarkan Natella menjadi yang cewek itu mau, bukan malah memaksakan kemauannya seperti yang dilakukan Natella. *** "Sayang, ini aku bawain cheesecake. Aku buat sendiri loh dari tutorial di Instagram." Natella langsung menghampiri Arka yang berada di living room, bisa masuk karena pintunya tidak terlalu tertutup. Lelaki itu menggunakan kaos putih dan celana pendek, duduk di karpet lantai dan stik playstasion 4 tergenggam erat pada tangannya sedangkan layar TV tertulis tulisan pause karena kedatangan Natella. Cewek itu menjatuhkan tubuhnya ke sofa dekat Arka duduk, membuka tupperware yang berisi potongan cheesecake yang dia buat. "Tadi pagi jadi joggingnya?" tanyanya pada Arka mengingat cowok ini sempat menelponnya tadi pagi. "Aku nggak kebangun." Arka mengangguk, kalaupun ada waktu menganggur sedikit saja, pasti dia manfaatkan untuk berolahraga. Salah satu alasan kenapa dia memiliki badan yang ideal. Cewek itu kemudian membuka bomber jaket berwarna hitam yang ia pakai, menyisakan dirinya hanya dengan croptee berlengan pendek dan juga ketat, yang dilihat Arka sebentar lalu langsung buang muka. Arka mengambil sebagian kecil cheesecake itu dan memakannya, tidak lupa melanjutkan game yang tengah ia mainkan sambil mengunyah. "Gimana?" tanya Natella meminta pendapat. "Masih bisa ditelan." Natella memberikan tawanya mendengar respon jujur dari Arka, "Polos banget sih pacarnya aku." Ucapnya gemas sembari mencubit pipi putih cowoknya yang sedang bermain game itu. "Tadi Ferre malah langsung buang ke kotak sampah. Kenapa aku kalau bikin sesuatu gapernah beres ya?" "Nggak niat sih." "Niat banget, tahu." Balas Natella tidak mau kalah. "Aku tuh niat banget buat bahagiain kamu." Arka hanya memberikan tampang dararnya mendengar godaan Natella yang terkutuk dan menggelikan itu. "Kamu tuh kalau digodain, blushing dikit kek, dijawab kek. Datar bener sih jadi manusia." Protes Natella lagi. Arka kembali diam, memilih fokus pada layar yang menampilkan gambar tembak-tembakan. Setelahnya mereka menghabiskan waktu dengan kesibukkan masing-masing. Arka dengan gamenya dan Natella dengan handphonenya sambil tidur-tiduran di sofa. Mereka memang lebih sering menghabiskan waktu di dalam ruangan pribadi seperti ini. Tidak café-café lucu ataupun mall. "Arka, aku bosen. Kamu kapan tamatnya, sih?" Curah Natella tiba-tiba, setelah satu jam lebih berlalu. Tapi, Arka tidak meladeni, game yang dia mainkan sedang menjadi prioritas. Sembari mendudukan badannya, cewek itu mengatakan, "mending kita duel aja. Kalau aku menang, kamu cium aku. Kalau kamu yang menang, aku cium kamu. Gimana?" Arka masih tidak memberikan respon apapun selain pencetan-pencetan yang menurut Natella random pada stik PS. Biasanya, penawaran seperti itu diberikan oleh lelaki genit untuk kaum perempuan, yang langsung diberikan respon jijik oleh perempuan-perempuan. Dan Natella berbaik hati memberikan Arka penawaran yang seharusnya tidak ditolak lelaki normal. "Ih kamu tuh emang nggak normal ya." Gerutu Natella lagi. Dia kembali tidur-tiduran di sofa. Melanjutkan aktifitas yang tadi sempat tertunda. "Arka, kemaren pas kita berantem, kamu blokir line aku, ya?" tanya Natella, mengingat topik yang sempat dia lupakan. Cewek itu kembali duduk, menatap ke arah punggung lebar Arka yang membelakanginya. "Nggak kok." "Masa? Chat aku semalem sama kemaren ga ada yang kamu bales." Natella memicingkan matanya memandang ke arah cowok yang menyender di sofa yang dia duduki curiga. Natella kemudian mengambil handphone yang tergeletak di atas meja, tanpa persetujuan dari yang punya langsung membuka isinya. Handphone Arka memang pakai password, tapi sidik jari Natella sudah ditambahkan sehingga bisa langsung membukanya dengan hanya ditempelkan ke tombol home. Cewek yang duduk dengan kaki terangkat diatas sofa itu membuka aplikasi yang berlogo hijau itu. Benar saja, namanya memang masih ada di daftar teman Arka, cowok itu tidak memblokirnya. Tapi, ketika Natella membuka chat namanya, cewek itu sontak mengatakan, "wah jahat banget chat gue di silent dasar anj..." Natella memutar lidahnya sendiri, dia menahan napas sembari melirik ke arah Arka yang untungnya tidak bergeming. "Aku gajadi ngomong kotor ya." Ingatnya. "Lagian sih kamu parah banget sampe ngesilent chat aku." "Lupa."Balas Arka kalem. "Soalnya yang kemaren ganggu." Jawaban Arka yang terkesan tidak peduli malah membuat Natella naik darah. Gaya bicaranya tadi yang begitu manis berubah seketika. "Ih, kalau terjadi apa-apa sama gue gimana? Pantesan chat beratus kali ga ada satupun yang dibales." Natella mulai mengomel, tiba-tiba merasa begitu kesal. Untung setidaknya kemarin mereka sempat telponan. Dia melihat-lihat chat yang lain, memang rata-rata chat dalam Line Arka dalam keadaan silent, apalagi grup-grup yang ada Arka dan berjumlah puluhan. "Nah, ini chat-nya si Mentari lo bales!" Natella mengeluarkan nada sinisnya terang-terangan setelah menemukan sesuatu yang membuat darahnya berdesir. "Itu chat 3 hari yang lalu." Jelas cowok itu, dia masih terlihat tenang dan baik-baik saja. Matanya bahkan tidak melirik ke Natella yang duduk dibelakangnya sama sekali. "Lo bahkan ingat kapan Mentari ngechat tapi lupa kalo chat gue malah di silent!" Kalau sudah kayak begini, Arka pasti akan diam saja dan membiarkan Natella mengomel sampai puas. Kadang Arka tidak habis pikir dengan perubahan mood Natella yang bisa sedrastis ini. Padahal dia datang dengan tingkah yang begitu manis, seperti melupakan dengan iklas kalau empat hari hari yang lalu mereka sempat bertengkar hebat. Lalu tiba-tiba cewek ini meledak hanya karena masalah yang menurut Arka sangat sepele. "Tau ga pas lo gabales chat gue sama sekali, gue sampe gabisa tidur." Ucapnya bercerita. "terus karena gabisa tidur gue jadi mikir yang aneh-aneh." Natella memelankan suaranya, ngomong keras-keras membuat dirinya lelah sendiri. "Gue tahu lo memang terpaksa sama gue. Tapi lo kan cowok gue, punya gue." lanjutnya posesif. "..." "Ka, lo suka ya sama Mentari?" "..." "Arka jawab dong jangan diem aja!" Suara Natella semakin lama semakin memelan, seperti tidak sanggup untuk melanjutkan perkataan demi perkataan yang dikeluarkan bibirnya. Arka menatap kesal ke arah TV yang mengatakan kalau dia kalah. Dia benci kalah, apalagi dalam bermain game kayak begini. Cowok itu berbalik ke belakang, menjeda permainannya, menatap ke arah cewek yang menatapnya marah. "Lagi mengarang cerita fiksi?" balasnya enteng, beda sekali dengan Natella yang sudah naik darah dan menahan serapahan daritadi. Anjay "Arka, gue serius!" Memang Arka pernah nggak serius, gitu? "Lo naksir Mentari ya? Bener kan lo pernah nembak dia tapi ditolak? Makanya lo mau-mau aja sama gue buat pelarian!" "Nggak." Jawabnya, santai bener. "Tapi orang-orang bilang..." "Orang-orang yang mana?" "Banyak pokoknya! Semua orang ngomong gitu." tekan Natella lagi, jujur saja pertanyaan-pertanyaan insecure yang dia berikan sebelumnya tentu berdasar. "Ya itu sih terserah mau dengerin mereka atau gue." "..." Giliran Natella yang terdiam. Dia sedang memikirkan perkataan untuk menyerang Arka. Tapi menyerah pada akhirnya. Bukannya Natella selalu mengalah dan kalah kalau sudah tentang Arka? "Kalian lagi pacaran atau ribut sih? Atau pacaran sambil ribut? Di kamar aja." Satu suara berat menginterupsi. Seorang cowok tinggi baru keluar dari kamar dengan stelan yang tidak jauh berbeda dari Arka, kaos hitam baru saja dia pakai sembari berjalan ke arah Natella yang sontak merapikan duduknya. "Lo kok disini, sih?" tanya Natella sewot. "Lah, ini kan apart gue juga." balas cowok itu balik sambil menguap. Kelihatan kalau baru bangun tidur, padahal udah jam setengah 2. "Ya, tumben-tumbenan aja ga cabut." Cowok itu duduk manis di sofa sebelah Natella, dia menatap ke arah Tupperware besar yang tadi di bawa Natella dan membuka isinya, "apa nih?" tanyanya, tanpa meminta persetujuan siapapun, dia langsung menyantap isinya. "Kok kagak enak? Pasti lo yang bikin ya, Nat?" Natella memutar bola matanya. Dengan nada judes, dia mencetus, "Iya." "Kejunya pait gini. Pake keju murah ya lo?" "Enak aja. Itu keju gue lebih mahal dari harga diri lo tau." Cowok yang tingginya cukup diatas rata-rata lelaki Indonesia yang bernama Reno ini hanya menghabiskan satu gigitan. Membuat Natella teringat Arka yang rela menghabiskan satu potong. Benar, kan? Arka itu sebaik dan semenghargai itu jadi manusia. Reno gentian melihat ke arah Natella dan Arka, "Ribut karena apa lagi kali ini?" tanya Reno mengintograsi. Natella menggerekkan badannya yang terasa kaku sehingga bajunya yang pendek sedikit terangkat, membuat Reno yang kebetulan melihat ke arahnya sontak mengatakan, "Astagfirullah, udel lo tuh keliatan!" beritahunya. "Lo ke apart cowok pake baju yang bener kek sekali-sekali." Pria itu setengah protes. "Otak lo tuh yang dibenerin, bukan baju gue!" Reno memberikan senyuman selebar mungkin ke arah Natella yang menatapnya kesal, "ya gapapasih, gue seneng-seneng aja ngeliatnya. Tapi Arka nih yang biasanya risih. Ye, ga, Ka?" Sedangkan Arka cuma memberikan Reno tatapan 'apaansih' nya. "Btw, ga ada yang mau cerita sama gue, nih? Gini-gini gue calon mediator loh." Lanjut Reno bangga. Reno memang selalu kepedean dan bangga atas apapun yang dia lakukan dan peroleh dihidupnya. "Bentar lagi gue Sarjana Hukum." "Bodo." "Gile, makin judes aja ini anak. Dulu perasaan pas baru kenal lo kalem bener kayak putri solo" Komentar Reno sambil geleng-geleng kepala mendapati Natella malah membuang muka. "tapi makin cakep sih." Pujinya sambil mengerling nakal. "Dih." "Bener-bener tipe abang." Reno berkata genit, menggoda Natella yang terus memberikan tampang masam. Sedangkan Arka hanya memperhatikan mereka, gamenya masih dalam status tidak dilanjutkan. "Jangan najis deh, Ren!" "Tuh kan, makin suka deh." Natella memutar bola matanya malas. Reno memang suka bermain-main seperti ini, cowok tinggi yang begitu terkenal di kampus karena ketampanan dan kekerenannya ini sudah dia anggap kakak laki-laki sendiri, kakak tiri lebih tepatnya karena Reno suka jahat. Makanya mereka berdua sering bertindak sesukanya satu sama lain. Natella kemudian melirik Arka,"Ka, lo tuh gapunya perasaan banget, ya? Cewek lo digodain sebegininya sama lelaki hidung belang malah cuek aja. Jangan-jangan kalau ada cowok yang ngajakin gue jadian di depan mata lo, lo tetep aja gabakal peduli, malah ngasih gue dengan sukarela ke cowok itu." Ucapnya panjang pada cowoknya yang menolak menatap ke arahnya itu. "Buset deh, drama bener." Reno tidak ketinggalan memberikan komentar sembari ketawa-ketawa mentertawakan. Kok bisa sih ini orang pacaran terus pacarannya bisa lama lagi? Yang satu drama queen, yang satu lagi don't have time for drama. "Ya, soalnya gue bukan Mentari sih. Makanya lo ga peduli." Lanjut Natella untuk Arka. Tatapannya tajam sepenuhnya ke arah cowok itu. "Nat!" Ia langsung ditegur. Bukan Arka, tapi Reno. Cowok yang beberapa detik lalu masih sempat ketawa-ketiwi itu sekarang memberikan tampang seriusnya untuk Natella. "Kenapa? Mau belain Mentari sama Arka? Mau nyalahin gue juga? Iya, apapun yang terjadi memang selalu salah gue." Ucap Natella makin kesal, heran kenapa tidak ada satupun orang di dunia ini yang berpihak padanya. Cewek ini memiliki banyak toleransi untuk masalah prioritas. Tapi nol besar kalau sudah bawa-bawa tentang si Mentari yang selalu membuatnya menjadi jauh lebih sensitif. Cewek itu mengganti pandangannya kembali pada Arka yang sedang memejamkan matanya rapat-rapat, "gue bahkan harus minta maaf karena ngomongin Mentari p***k. Kalau gue dikatain p***k di depan muka lo, lo bakal marah, ga? Atau gamau peduli?" Natella sudah kepalang emosi. "Natella, you've crossed the line."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD