Rion hanya bisa garuk-garuk kepala."Iya, Mbak. Makasih banyak." Ia menatap Risty sampai wanita itu masuk ke dalam rumah.
"Apaan...adek...adek, aku hamilin baru tahu Lo, Mbak, belum tahu apa kalau aku ini Duda tujuh tahun,"omel Rion di dalam rumah. Ia kembali ke meja kerja dan meletakkan piring itu di sebelah keyboard. Aroma Boku kukus yang memang baru matang itu menggoda penciumannya."Kayaknya enak nih." Perut Rion keroncongan. Ia memakan tiga buah bolu kukus, lalu memutuskan untuk mandi.
Rion mematut dirinya di depan cermin, setelah yakin bahwa dirinya sudah cukup tampan, ia segera mengambil motornya di garasi. Ia ingin makan sore.
"Eh, Dek...mau kemana?"teriak Risty yang sedang menyapu teras.
Rion menoleh ke sebelah rumah."Eh, Mbak...mau keluar sebentar, Mbak."
"Enggak pakai helm gitu? Ih bahaya...bahaya,"katanya cerewet.
Rion memegang kepalanya, sebenarnya ia tidak perlu pakai helm karena ia berencana hanya membeli makanan di depan komplek."Tapi, dekat kok, Mbak."
"Mau dekat...mau jauh, harus tetap taat peraturan. Atau...kamu enggak punya helm? Beli sepeda motor mahal bisa, beli helm aja kok enggak bisa."
"Ada kok, Mbak." Rion turun dari motornya lalu mengambil helm."Nih, Mbak. Udah saya pake."
"Sip! Anak baik!" Risty mengacungkan jempolnya.
"Mari, Mbak." Rion tersenyum ramah kemudian ia pergi.
Risty menggeleng-gelengkan kepalanya."Anak jaman sekarang, kecil-kecil udah dikasih motor bagus. Naik motor enggak pakai helm. Mau jadi apa generasi muda ini."
Sepanjang jalan Rion hanya menggeleng-gelengkan kepala."Ini nih...kalau menilai orang hanya dari luarnya aja. Belum juga kenal, udah panggil Adek. Dikira anak kecil lagi. Memang ya orang jaman sekarang, cepat banget menilai sesuatu tanpa konfirmasi terlebih dahulu." Rion sedikit kesal dengan tetangga barunya itu. Jika wanita itu bisa mengambil kesimpulan secepat itu tentang dirinya, itu tandanya Risty memang bukan wanita yang memiliki pikiran positif. Semoga saja, sebagai tetangga dia tidak terkena dampak buruknya.
Rion menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung yang menjual makanan laut. Ia segera memesan lalu duduk manis di sana. Ia segera memeriksa ponsel yang sedari tadi bergetar.
**
Risty menguap lebar tanda ia mulai bosan di rumah. Tapi, sayangnya ia tidak tahu harus kemana karena ia masih baru di sini. Ia berdiri di depan rumah, dekat pagar. Tampak tetangganya itu baru pulang. Rion tersenyum ramah padanya.
"Mbak!"
Risty membalas senyuman Rion seperlunya saja, lalu memerhatikan laki itu dengan heran. Tak berapa lama kemudian, Rion keluar membawa piring milik Risty."Mbak, mau balikin piring. Makasih, ya..."
Melihat piring kosong tersebut, Risty jadi bertanya-tanya."Kemana Mama kamu?"
"Ada di luar kota, Mbak," jawab Rion.
Risty mengerutkan keningnya."Terus...kamu tinggal sama siapa di rumah?"
"Sendirian."
"Ya ampun, berani? Bahaya loh." Risty menggeleng-geleng heran.
Rion mengusap kepala belakangnya. Tidak tahu bagaimana harus menjelaskan bahwa ia adalah pria dewasa yang memang seharusnya tinggal sendirian."Ya udah gede ini, Mbak. Maaf ya, Mbak. Piringnya kosong. Maklum saya tinggal sendiri, enggak bisa isi piringnya sama makanan bikinan sendiri."
"Oh ya, Nama kamu siapa?"
"Rion, Mbak. Tadi...nama Mbak...siapa? Maaf saya lupa."
"Risty."
"Oh iya, Mbak Risty. Pindah karena kerja atau ikut orangtua? Atau ikut suami mungkin?"
Risty terdiam beberapa saat."Karena...apa ya, kerjaan mungkin."
"Kok mungkin?" Rion terkekeh."Tapi, ya...apa pun itu salam kenal,Mbak Risty. Semoga nyaman di rumah barunya. Kalau butuh bantuan bisa panggil saya di sebelah."
"Oke...terima kasih."
"Sama-sama, Mbak. Saya ke dalam dulu,"pamit Rion.
"Iya." Rion memasukkan sepeda motornya ke dalam garasi. Risty sedikit memanjangkan lehernya ke arah sana, lalu ia melihat sebuah mobil yang terlalu mewah jika dimiliki oleh lelaki muda seperti itu.
"Ya ampun,kecil-kecil mobilnya begitu. Minta sama orangtua kali ya. Motor bagus, mobil bagus, rumah sendiri...orangtuanya kemana ini anak. Punya tetangga kok begini, kalau dia berbuat aneh-aneh gimana?" Risty memukul kepalanya sendiri. Ia berjalan ke dalam rumah, lalu tiba-tiba ia ingat bahwa telah melupakan sesuatu. Ia belum melapor ke RT setempat sekaligus memberikan surat pindahnya ke kota ini.
Risty bergegas mandi, setelah itu ia menuju rumah Pak RT. Setelah berkenalan dan menyerahkan surat pindah, Pak RT pamit pergi karena harus menghadiri sebuah acara di salah satu kelurahan di sana.
"Mbak Risty, kalau ada acara di kelurahan ikut ya...sama Ibu-Ibu PKK,sekalian nanti perkenalan sama warga-warga sini," kata Bu RT.
"Saya usahakan, Bu RT. Kalau enggak sibuk pasti saya datang,"jawab Risty.
"Iya deh."
"Bu, anak kecil yang tinggal di sebelah rumah saya siapa, ya? Kok bisa sih orangtuanya biarkan dia sendiri di rumah." Risty tidak bisa menahan rasa penasarannya pada Rion. Agar lebih akurat dan terpercaya ia tanyakan langsung saja pada Ibu RT.
Bu RT mengerutkan keningnya. Ia mulai memikirkan nama-nama warga yang tinggal di sekitar rumah Risty."Sebelah rumah mana?"
"Sebelah rumah saya, Bu RT. Yang...namanya...Rion gitulah."
Bu RT terkekeh."Ya ampun, Mbak Risty bisa aja deh. Mentang-mentang Rion imut-imut, terus dibilang masih anak-anak. Dia itu sudah dewasa,Mbak."
"Apa!" Teriak Risty.
" Usianya sudah tiga puluh,"sambung Bu RT.
"Masa, Bu?" Risty terkejut setengah mati."Dia memang tinggal sendiri?"
"Iya dia itu Duda."
"Apa?" Mata Risty membulat.
Bu RT geli sendiri melihat ekspresi Risty yang kaget setengah mati."Kenapa kaget banget gitu, Mbak? Memangnya belum kenalan ya? Kenalan atuh, orangnya baik...ramah gitu kok."
"U...udah kok, Bu. Cuma enggak nanya-nanya lah statusnya apa." Risty tersipu malu.
"Kalau Rion, amanlah...dia enggak macem-macem orangnya. Jangan takut tetanggaan sama dia. Aman kok walau dia duda."
"Iya, Bu...saya pulang dulu,ya, Bu RT. Besok harus kerja." Risty mengambil tas yang ia letakkan di sebelahnya.
"Iya, Mbak Risty. Hati-hati di jalan,"kata Bu RT.
Risty tersenyum, lalu ia memasuki mobilnya. Ia mengembuskan napas panjang saat menyadari kesalahannya pada Rion. Ia pikir, Rion masih anak-anak, mungkin masih berusia sembilan belas tahunan. Tapi, ternyata usianya tidak terpaut jauh dengannya. Lalu, Risty mulai memikirkan kemana wajahnya harus diletakkan saat bertemu dengan Rion.
Begitu sampai di rumah, Risty melirik ke arah rumah Rion. Rumah itu tampak sepi. Tentu saja, Rion tinggal seorang diri,sama seperti dirinya. Lalu terdengar suara musik klasik mengalun dari sebuah ruangan yang jendelanya terbuka. Risty mematung di tempat, pikirannya melayang-layang pada Rion. Masih muda seperti itu, ia sudah menjadi duda. Sementara dirinya, sudah setua ini belum menikah juga. Risty meremas hatinya sendiri,lalu tersentak saat mendengar Rion tertawa sendiri.
"Gila ini anak,"omel Risty yang kemudian masuk ke dalam rumah. Perutnya terasa lapar, ia memutuskan untuk memasak.
Aroma masakan yang begitu menggoda membuat konsentrasi Rion terhadap video di hadapannya Buyar. Ia mendengar suara benda besi yang saling beradu serta bunyi sesuatu sedang digoreng.
Rion menopang dagunya sambil melirik ke sebelah. "Jadi, begini...rasanya punya tetangga. Kalau mereka lagi masak, aromanya sampai ke sini. Bikin lapar lagi aja deh."