bc

Jerat Pernikahan Suami Pengganti

book_age16+
6
FOLLOW
1K
READ
revenge
family
HE
escape while being pregnant
opposites attract
boss
single mother
heir/heiress
drama
tragedy
sweet
bxg
lighthearted
serious
kicking
city
cheating
childhood crush
disappearance
lies
substitute
like
intro-logo
Blurb

Di hari pernikahannya, Bilqis ditinggalkan calon suami dan terpaksa menikah dengan Arash—mantan kekasih yang tiba-tiba muncul sebagai penyelamat. Ia berharap cinta lama bisa tumbuh kembali, namun setelah menikah Arash justru berubah dingin dan memperlakukannya semena-mena, bahkan sering membawa pulang banyak wanita. Saat Bilqis ingin bercerai, Arash pun menolak. Berikeras tidak akan menceraikan Bilqis sampai kapanpun.Bilqis terus bertanya-tanya, apa yang telah terjadi pada Arash hingga berubah. Bilqis pikir Arash masih marah karena dulu tiba-tiba memutuskannya, karena ingin kuliah ke luar negeri. Hingga suatu hari Bilqis mengetahui, bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari rencana balas dendam yang telah Arash susun selama ini. Mampukah Bilqis lepas dari jeratan Arash? Atau justru Arash yang berhasil membalaskan dendam lamanya?

chap-preview
Free preview
Bab 1 Batal
Bilqis tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Ia baru saja selesai dirias—mengenakan kebaya pengantin berwarna putih, dengan bawahan kain batik. Kepalanya tertutup jilbab putih yang dihiasi siger sunda dan rangkaian bunga melati yang menjuntai ke bawah. Senyum tidak pernah hilang dari wajahnya sejak pagi tadi. Perasaan gugup dan bahagia bercampur jadi satu di dalam dadanya. Hari ini adalah hari paling bahagia untuknya, ia dan Reno akhirnya akan menikah setelah tiga tahun berpacaran. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah tergesa namun tetap berusaha tersenyum lembut. “Bagaimana, Bilqis? Kamu sudah coba menghubungi Reno? Sudah hampir jam 08.00. tapi akad belum bisa dimulai, padahal para tamu dan penghulu sudah datang dari tadi,” tanya Halimah, ibunya, dengan suara penuh cemas. “Dari tadi pesan aku belum dibalas, Ma. Mungkin mereka masih di perjalanan, barangkali aja macet,” jawab Bilqis. Meski suaranya terdengar tenang, hatinya mulai diliputi rasa khawatir. “Coba kamu telepon lagi. Nggak enak kalau penghulu nunggunya lama. Nanti keburu beliau pindah ke tempat lain,” perintah Halimah. Bilqis mengangguk. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di meja rias lalu mencoba menelepon calon suaminya. “Bagaimana?” tanya Halimah, tak sabaran. “Belum diangkat, Ma… Coba kita tunggu sebentar lagi. Mungkin mereka udah hampir sampai,” jawab Bilqis sambil menelan ludah. Ada rasa tidak nyaman yang mulai tumbuh di dalam dadanya. Halimah menarik napas panjang. “Ya sudah kalau begitu. Mama keluar dulu untuk menyapa para tamu.” Ia sempat menatap putrinya lama sebelum menambahkan, “Jangan lupa terus hubungi Reno. Masa dari pagi nggak kasih kabar…” “Iya, Ma. Aku ini coba nelpon Reno lagi kok. Mama tenang aja, dia pasti sebentar lagi sampai,” kata Bilqis mencoba menenangkan, padahal ia sendiri mulai gelisah. Halimah akhirnya keluar. Dari luar, suara tamu-tamu yang semakin ramai terdengar. Sementara itu, Bilqis kembali memencet tombol panggilan, meskipun hasilnya tetap sama. Tersambung—tapi tidak diangkat. Pesan dari pagi pun belum dibalas. Tok… Tok…. Pintu diketuk, lalu terbuka perlahan. Seorang wanita cantik melangkah masuk dengan wajah ceria. “Ya ampun, Qis! Nggak nyangka bentar lagi kamu jadi istri orang,” kata Ghania sambil memeluk sahabatnya dengan erat. Bilqis tersenyum kecil. Kehadiran Ghania sedikit membuat dadanya terasa lebih ringan. “Kamu sendirian, Gha? Manda sama Syifa ke mana? Mereka nggak ikut datang? Terus anak dan suamimu gak ikut?” “Manda hari ini ada jadwal operasi, sedangkan Syifa harus piket. Mereka minta maaf karena nggak bisa nemenin kamu pas akad, tapi mereka janji nanti sore mereka pasti ke sini kok,” jelas Ghania dengan nada menyesal. Ketiga sahabat itu adalah rekan kerja sekaligus teman dekat Bilqis di rumah sakit. Mereka sama-sama dokter, meski spesialisasinya berbeda: Bilqis dan Syifa spesialis kandungan, Ghania spesialis anak, dan Manda spesialis bedah. Diantara mereka hanya Ghania sendiri yang sudah menikah dan memiliki satu anak. Bilqis mengangguk mengerti. “Makasih ya kamu udah nyempetin waktu untuk datang ke sini. Oh ya, kamu udah makan belum? Kalau belum aku panggilin orang buat anterin makanan ke sini.” “Ya ampun, Qis. Kamu nggak usah mikirin aku. Aku udah makan kok di rumah. Harusnya kamu pikirin diri kamu sendiri. Kamu belum makan, kan? Jangan sampai gara-gara gugup, kamu malah melewatkan makan. Nanti kalau kamu sakit gimana? Kasihan Reno kalau pengantinnya pingsan,” kata Ghania sambil bercanda. “Aku udah makan, Gha. Tadi Mama yang maksa aku makan sebelum dirias,” jawab Bilqis cepat. “Iya, Tante Halimah itu tahu banget sifat kamu. Kamu pasti nggak akan mau makan kalau lagi gugup, iya kan?” Ghania ikut tertawa kecil. Ia lalu melirik sekeliling ruangan. “By the way, yang rias kamu ke mana? Kok kamu sendirian?” “Mereka baru aja keluar, disuruh makan dulu. Soalnya mereka datang dari pagi banget, jadi kasihan kalau sampai kelaparan. Aku nggak mau nanti viral gara-gara nggak kasih makan MUA dan timnya,” jawab Bilqis setengah bercanda. Belum sempat Ghania ikut menanggapi, pintu kembali terbuka. Halimah masuk lagi dengan wajah lebih cemas daripada sebelumnya. “Bagaimana, Bilqis? Reno udah sampai mana? Ini udah jam 08.00 lewat, kok dia belum sampai? Penghulu juga bilang setengah sembilan nanti harus pindah ke tempat lain karena hari ini banyak yang menikah,” kata Halimah terburu-buru. Jantung Bilqis langsung berdegup keras. Ia buru-buru mengambil ponsel. Tadi ia terlalu asyik mengobrol dengan Ghania sampai lupa mencoba menelepon calon suaminya lagi. Panggilan tersambung… lagi-lagi tidak diangkat. “Masih nggak diangkat, Ma. Coba penghulunya suruh tunggu sebentar lagi. Mungkin mereka lagi di perjalanan,” ucap Bilqis, mulai gelisah. “Coba kamu telepon orang tuanya Reno. Masa mereka nggak ada yang bawa HP? Kalau Reno lupa bawa HP wajar karena dia lagi gugup. Kalau orang tuanya kan nggak mungkin sampai nggak bawa HP,” timpal Ghania memberikan saran. Bilqis mencoba menghubungi nomor calon mama mertuanya, tapi tidak aktif. Begitu pun dengan nomor calon papa mertuanya. “Nomor mereka nggak aktif, Ma…” ujar Bilqis pelan. Perasaannya seketika menjadi tak enak. “Kapan terakhir kali kamu komunikasi sama Reno? Kok saat genting gini malah nggak bisa dihubungin sih?” tanya Ghania, ikut khawatir. “Semalam kita masih chat-an kok, sebelum tidur. Katanya dia mau berangkat pagi-pagi biar nggak kejebak macet…” jawab Bilqis. Membaca ulang pesan yang Reno kirimkan tadi malam. “Kalau dia berangkat pagi, kenapa jam segini masih belum sampai, Bilqis?” tanya Halimah panik. “Coba kita tunggu sebentar lagi, Tante,” kata Ghania mencoba menenangkan. Halimah keluar lagi untuk menemui suaminya. Dari suara di luar, para tamu mulai gelisah, bahkan penghulu terdengar mendesak agar akad segera dilaksanakan. Sedangkan Bilqis… Ia duduk pelan di kursi rias, jemarinya bergetar sambil menggenggam ponsel. Ia terus mencoba menelepon calon suaminya. Tangannya gemetar setiap kali menekan tombol telepon, takut terjadi sesuatu di tengah jalan. Namun panggilan itu hanya berdering, tak pernah diangkat. Waktu terus berlalu. Tak terasa sudah pukul 08.45, tetapi Reno dan rombongannya belum juga tiba. Tidak ada satu pun dari mereka bisa dihubungi. Para tamu mulai gelisah, saling berbisik, beberapa terlihat bolak-balik menengok ke arah pintu masuk gedung. Penghulu pun berkali-kali menatap jam tangannya, jelas mulai tidak sabar. Bukan hanya mereka—Bilqis sendiri mulai dilanda panik yang menusuk d**a. Bagaimana mungkin calon suaminya tiba-tiba menghilang di hari pernikahan? “Ini Reno ke mana sih? Kenapa nggak bisa dihubungi? Chat-ku nggak dibaca, teleponku juga nggak diangkat. Apa HP-nya ketinggalan di rumah? Tapi kalau iya, kenapa dia nggak coba hubungin aku pakai nomor lain?” gumam Bilqis, napasnya sudah mulai tidak beraturan. “Gimana kalau aku coba nyusulin ke rumahnya aja? Sekalian cari rombongan mereka di jalan. Kalau memang kejebak macet, masa sampai satu jam? Dan harusnya Reno itu pinjam HP keluarganya buat kasih kabar kamu,” kata Ghania, kini ikut cemas. “Tapi kamu jangan sendirian ya, Gha. Kamu ajak sepupu aku aja, biar dia yang nyetir. Aku takut kamu kenapa-napa,” ujar Bilqis, suaranya terdengar sedikit bergetar. Ghania mengangguk. “Iya. Nanti aku ajak Danu. Pakai motor dia aja biar nggak kejebak macet juga.” “Maaf ya, aku ngerepotin kamu. Aku juga nggak tahu kenapa si Reno bisa telat sampai selama ini. Harusnya kalau dia berangkat pagi, dia nggak mungkin kejebak macet. Apalagi jarak rumahnya ke sini cuma tiga puluh menitan,” ucap Bilqis, kini terdengar makin bingung dan takut. Padahal ia sengaja memilih gedung resepsi yang berada di titik tengah antara rumahnya dan rumah Reno agar perjalanan lebih mudah. Semuanya sudah direncanakan dengan matang. “Nanti kalau Reno sama rombongannya udah sampai, kamu langsung kabarin aku ya. Biar aku putar balik,” kata Ghania sambil berdiri. “Iya… hati-hati ya. Kalau ada apa-apa langsung kabarin,” balas Bilqis pelan. Ting! Suara notifikasi membuat Bilqis spontan menunduk ke ponselnya. Ada pesan masuk dari Reno. Sebuah senyum lega sempat muncul di wajahnya. “Gha kamu nggak usah nyusulin. Reno udah bales chat aku kok,” ucap Bilqis kembali bersemangat. Ghania yang sudah hendak keluar langsung menoleh dan kembali mendekat. “Udah sampai mana mereka, Qis?” Bilqis segera membuka pesan itu. Tapi senyum di bibirnya langsung hilang. Wajahnya mendadak pucat. Bukan kabar keberadaan. Bukan permintaan maaf. Melainkan… [Bilqis, maaf. Aku gak bisa nikah sama kamu. Sekarang aku udah ada di bandara mau berangkat ke Singapura untuk operasi papaku.] Tangan Bilqis langsung bergetar hebat. Ponselnya terlepas dari genggaman, untung Ghania cepat menangkapnya sebelum jatuh ke lantai. Mata Ghania membesar setelah membaca isi pesan itu. “Apa maksud Reno?! Mana mungkin dia tiba-tiba batalin di hari pernikahan?! Gila apa si Reno ini! Dia nggak mikirin kamu sama sekali! Gedung, tamu, penghulu—semuanya udah siap! Kenapa dia seenaknya sendiri?!” gerutunya emosi. Sementara itu, Bilqis hanya terpaku. Pikirannya kosong. Suaranya tercekat di tenggorokan. Air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. Hari bahagia yang sudah ia impikan sejak lama, berubah menjadi mimpi buruk dalam sekejap. Laki-laki yang sudah tiga tahun menjadi kekasihnya… kini memutuskan hubungan begitu saja hanya lewat pesan singkat. Amira buru-buru menelepon Reno, tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengangkat. Bahkan beberapa detik kemudian, nomor Reno langsung tidak aktif. “Terus aku sekarang harus gimana, Ghania?” suara Bilqis akhirnya pecah. “Gimana aku jelasin ke orang tuaku? Ke para tamu? Semua udah siap, tinggal nunggu Reno datang. Kenapa dia tega sama aku? Padahal semalam kami masih baik-baik aja… kenapa dia mutusin aku…” isaknya makin keras. Ghania langsung memeluk sahabatnya dengan erat. “Sabar, Bilqis… sabar…” Hanya itu yang mampu ia ucapkan—karena ia sendiri tak tahu harus berkata apa lagi melihat sahabatnya hancur seperti itu. ----

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.5K
bc

Too Late for Regret

read
271.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
135.8K
bc

The Lost Pack

read
374.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook