Bab 2 Suami Pengganti

1383 Words
“Apa? Batal?!” seru Heru dan Halimah hampir bersamaan. Keduanya terlihat pucat dan panik. “Jangan macam-macam kamu, Bilqis! Mau ditaruh di mana muka Papa kalau pernikahan kamu sampai batal? Lihat itu gedung sudah siap, konsumsi sudah siap, para tamu sudah datang! Mereka teman-teman Papa, bukan orang sembarangan! Kalau tiba-tiba pernikahan dibatalkan, bagaimana dengan nama baik keluarga kita? Jangan sampai gara-gara pembatalan ini, saham perusahaan terpengaruh!” kata Heru tegas, suaranya meninggi. “Aku juga nggak mau gagal nikah, Pa… tapi aku harus gimana? Reno sekarang udah berangkat ke Singapura untuk pengobatan papanya…” jawab Bilqis sambil terisak. Matanya sembab, makeup-nya berantakan karena dari tadi ia menangis dan mengusap wajahnya sembarangan. Heru membuang napas kasar, membuka kancing jasnya karena emosi. “Pokoknya Papa nggak mau tahu! Pernikahan ini harus tetap dilaksanakan. Jangan buat malu keluarga kita, Bilqis!” katanya dengan tegas. “Apa maksud Papa? Bagaimana mungkin aku menikah tanpa pengantin laki-laki, Pa?!” tanya Bilqis berteriak, tangisnya semakin pecah. “Papa nggak mau tahu! Kamu harus cari jalan keluar! Kamu bisa minta tolong teman laki-lakimu atau teman abangmu untuk pura-pura menikah denganmu hari ini. Yang terpenting, pernikahan harus tetap dilaksanakan. Lebih baik mengganti mempelai laki-laki daripada mempermalukan keluarga kita!” tegas Heru, lalu langsung berjalan keluar dari ruangan rias. Bilqis menoleh pada mamanya yang sejak tadi hanya diam. “Aku harus gimana, Ma? Mana mungkin aku menikah tanpa Reno?” tanyanya dengan suara bergetar. Halimah menghela napas panjang. Ia mengusap kepala putrinya pelan. “Mama ikut sedih, Bilqis. Tapi benar kata Papa. Jangan sampai kamu mempermalukan nama baik keluarga kita. Kalau sampai gagal menikah, mau ditaruh di mana muka Mama dan Papa? Tamu yang datang hari ini semuanya rekan kerja kami. Kamu anak yang baik, kamu pasti nggak mau keluarga kita dipandang jelek gara-gara kejadian ini, kan?” Deg. Kalimat itu begitu menusuk. Bilqis menatap mamanya dengan tidak percaya. Ternyata orang tuanya sama saja—tak satu pun yang memikirkan perasaannya. Hanya reputasi dan bisnis yang ada dipikiran kepala mereka. “Sekarang coba kamu hubungi teman laki-laki yang dekat dengan kamu,” lanjut Halimah. “Pasti ada, kan? Minta tolong dia untuk pura-pura jadi pengantin hari ini. Atau Mama panggilkan Bang Dirly dulu, barangkali ada temannya yang mau membantu.” “Tante! Bagaimana mungkin kalian nyuruh Bilqis tetap melanjutkan pernikahan dengan orang yang tidak dia sukai? Lagi pula ini bukan kesalahan Bilqis! Dia juga nggak ingin di hari pernikahannya malah dicampakkan begini,” kata Ghania, tak bisa lagi menahan emosinya. “Kamu juga harus mengerti perasaan Tante dan Om, Ghania. Kami melakukan semua ini demi Bilqis juga. Kalau sampai dia gagal menikah, bagaimana dia menghadapi teman-teman dokternya nanti? Di luar sana sudah ada direktur rumah sakit yang datang mau menyaksikan akad nikah Bilqis. Bagaimana kalau kariernya terpengaruh setelah pernikahannya gagal?” jelas Halimah membela diri. “Tapi, Tante—” Tangan Ghania disentuh Bilqis pelan, untuk menghentikannya. “Udahlah, Ghan… benar kata Mama. Aku harus tetap nikah… meskipun tanpa Reno,” gumamnya terlihat pasrah, atau justru seperti putus asa. Ghania menatap Bilqis dengan hati remuk. Sahabatnya itu selalu mengalah, bahkan ketika hidupnya sendiri sedang runtuh. Halimah tersenyum lega mendengar ucapan putrinya. “Baguslah kalau kamu sadar, Bilqis. Sekarang coba cari orang yang mau pura-pura jadi pengantin kamu. Mama ke depan dulu, untuk menenangkan para tamu dan penghulu supaya mau menunggu sedikit lagi.” Ia mengusap kepala Bilqis sebentar lalu pergi keluar. “Gila… orang tua kamu benar-benar gila, Qis. Bagaimana mungkin mereka tetap maksa kamu melanjutkan pernikahan sedangkan Reno aja udah kabur ke Singapura?” gerutu Ghania emosi. Bilqis menarik napas panjang, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya berantakan, tak secantik tadi. Hatinya pun sama—berantakan, bukan hanya karena Reno tapi karena sikap kedua orang tuanya juga. “Aku juga nggak nyangka Mama dan Papa seegois itu, Ghan… mereka nggak peduli sama perasaan aku,” gumam Bilqis kecewa. “Terus sekarang kamu mau nikah sama siapa, Qis? Apa aku telepon Niko aja ya? Dia udah lama naksir kamu, pasti dia nggak keberatan kalau hari ini diminta untuk nikahin kamu,” usul Ghania, yang tampak sama bingungnya. “Jangan, Ghan,” cegah Bilqis cepat. “Manda udah lama suka sama Niko. Aku nggak mau persahabatan kita hancur gara-gara laki-laki. Lagi pula aku nggak punya perasaan sama Niko. Masa aku nikah sama orang yang nggak aku sukai?” “Tapi kalau nggak minta tolong Niko, mau minta tolong siapa lagi? Sekarang itu bukan masalah suka atau nggak. Yang penting pernikahan kamu tetap dilaksanakan. Urusan nanti, kalian bisa bicarain lagi. Kalian bisa cerai setelah keadaan tenang,” kata Ghania dengan tegas. Bilqis tetap menggeleng. “Nggak, Ghan. Niko pernah beberapa kali nembak aku. Kalau tiba-tiba aku minta tolong dia buat nikah hari ini, terus nanti aku ajak cerai… itu sama aja aku manfaatin perasaan dia. Aku nggak mau.” “Tapi, Bilqis—” Tok… tok… Keduanya langsung menoleh. Seorang pemuda tampan berdiri di ambang pintu yang sejak tadi memang dibiarkan terbuka. “Boleh saya bicara berdua dengan Bilqis?” tanyanya pelan. Bilqis dan Ghania saling pandang. Ghania sempat mengernyit bingung, tapi akhirnya mengangguk dan berjalan keluar, masih bertanya-tanya siapa pemuda yang datang menemui sahabatnya di saat genting seperti ini. Sementara itu Bilqis hanya termenung di tempatnya. Ia merasa tidak asing dengan pemuda yang kini berjalan ke arahnya. “Hai, Bilqis. Gimana kabar kamu?” sapanya dengan senyum ramah. “Jangan bilang kamu lupa sama aku.” Bilqis mencoba mengingat-ingat. “Kamu… Arash, kan?” Arash tersenyum senang. “Syukurlah kamu masih ingat sama mantanmu yang satu ini.” Bilqis dan Arash memang pernah berpacaran saat SMA. Mereka putus karena Bilqis harus kuliah ke luar negeri dan tidak mau menjalani hubungan jarak jauh. Setelah itu mereka tak pernah berhubungan lagi—hingga hari ini Arash tiba-tiba muncul, di saat hidup Bilqis sedang kacau. “Kamu gimana kabarnya, Rash?” tanya Bilqis canggung. Ada perasaan malu bertemu mantan terindahnya dalam keadaan seperti ini. Bagaimana pun mereka putus karena terpaksa, dan Arash memiliki tempat sendiri di hati Bilqis. “Aku baik,” jawab Arash. “Oh ya… aku dengar calon suami kamu kabur? Kok bisa? Apa sebelumnya kalian sempat bertengkar?” Ia menarik kursi di dekat Bilqis lalu duduk di sana. Bilqis menggeleng pelan. “Nggak. Semalam semuanya masih baik-baik aja. Kami chat-an sampai malam. Tapi hari ini… Reno tiba-tiba menghilang. Lalu dia membatalkan pernikahan lewat chat,” ucapnya lirih, dengan kepala tertunduk. Arash mengernyit bingung. “Terus sekarang pernikahan kamu gimana? Batal dong? Tapi aku dengar orang tua kamu bilang calon suamimu lagi dalam perjalanan. Maksudnya… kamu mau ganti calon pengantinnya?” tanyanya penasaran. Bilqis mengangguk lemah. “Iya. Mama dan Papa bersikeras pernikahan tetap dilanjutkan. Aku harus cari pengantin pengganti.” Suaranya bergetar menahan tangis. Luka dari Reno belum cukup, kini ditambah tekanan dari keluarganya sendiri. “Terus… kamu mau menikah sama siapa, Qis? Udah ada calon pengganti?” tanya Arash lagi. Bilqis menggeleng. “Belum.” Ia menatap Arash—wajah itu masih sama seperti sepuluh tahun lalu, hanya lebih dewasa, tegas, dan jauh lebih berwibawa. Arash terdiam sebelum akhirnya berkata, “Kalau aku yang jadi penggantinya… kamu setuju?” tanyanya, menatap Bilqis dalam-dalam. Bilqis langsung terkejut. “Apa maksud kamu, Arash?” jantungnya berdegup kencang tak karuan. “Kamu mau cari suami pengganti di mana? Tamu dan penghulu udah nunggu dari tadi, Qis. Tapi kamu jangan salah paham, aku nggak ada maksud lain. Aku cuma mau bantu aja. Kita pernah dekat, jadi nggak akan terlalu sulit kalau sekarang kita harus hidup bareng,” jelas Arash pelan. “Jangan gila, Arash. Kita udah sepuluh tahun nggak ketemu, dan sekarang kamu tiba-tiba mau nikah sama aku?” Bilqis tertawa sumbang, bingung dengan jalan pikiran mantan kekasihnya itu. “Aku cuma kasihan sama kamu, Bilqis. Kamu ditekan dari segala arah, padahal kamu korban. Daripada menikah dengan orang yang nggak kamu kenal, lebih baik sama aku. Kita pernah pacaran setahun, kita saling kenal. Kalau suatu hari kamu mau bercerai pun aku nggak keberatan. Yang penting kamu selesaikan dulu masalah hari ini,” kata Arash mencoba meyakinkan. Bilqis terdiam. Ia menatap Arash sejenak lalu kembali menunduk. Terlalu banyak hal yang berputar di kepalanya. Ia benar-benar tak tahu keputusan apa yang harus ia ambil. Haruskah ia menerima tawaran Arash? Tapi… mereka sudah lama tidak bertemu. Dan Bilqis yakin, pasti banyak hal yang telah berubah diantara mereka. ----
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD