Bab 5 Melawan

1565 Words
“Siapa mereka, Ar?” tanya Bilqis sambil melirik kedua wanita yang berada di pelukan Arash. “Dan ke mana kamu seharian ini? Apa ini kesibukan yang kamu maksud sampai tidak sempat memberikan kabar?” Tatapannya tajam, penuh kekecewaan. Kedua wanita itu langsung menoleh dengan gaya manja. “Siapa dia, beb? Kenapa ada wanita di rumah ini? Dan kenapa dia cerewet sekali?” tanya salah satu dari mereka dengan nada manja. Arash tersenyum santai, lalu melepaskan pelukan dari keduanya. “Bella, Shofie, perkenalkan ini Bilqis… istriku,” kata Arash enteng seolah mengumumkan hal biasa. “Istri? Sejak kapan kamu menikah, baby? Kalau kamu menikah, terus bagaimana dengan kami?” tanya Bella dengan wajah cemberut. “Iya sayang, berarti mulai sekarang kita nggak bisa bertemu lagi dong,” timpal Shofie sambil memainkan jari tangannya di lengan Arash. Bilqis membuang muka, menahan kekesalan. Ia tidak percaya Arash bermesraan dengan wanita lain tepat di hadapannya. “Ya tidak dong. Meskipun sudah menikah, itu tidak akan mempengaruhi hubungan kita,” jawab Arash santai. Bilqis langsung menoleh cepat, matanya membesar. “Apa maksud kamu, Ar? Kamu mau berselingkuh?” “Selingkuh?” ulang Arash sambil tertawa sumbang. “Ingat, Bilqis… di sini aku lebih lama berhubungan dengan mereka dibandingkan kamu. Jadi kalau ada yang jadi selingkuhan, itu kamu. Bukan mereka,” ucanya penuh penekanan. Wajah Bilqis semakin memanas. “Mereka sudah lama menjadi pacar-pacarku. Dan bukan hanya Bella dan Shofie saja… masih banyak yang lain. Nanti akan aku perkenalkan satu per satu padamu,” lanjut Arash santai seolah sedang membicarakan hal biasa. Rahang Bilqis mengeras. Tangannya terkepal kuat menahan marah. Bagaimana mungkin Arash bisa berubah sedrastis ini? Kemarin ia terlihat baik… sangat berbeda dengan malam ini. “Terserah,” ketus Bilqis. Ia membalikkan badan dan melangkah masuk rumah. Arash mengajak kedua wanita itu untuk ikut masuk. “Oh ya, Bilqis… tolong buatkan minuman untuk kami bertiga, ya,” pintanya santai tanpa rasa bersalah sedikit pun. Bilqis berhenti. “Apa maksud kamu? Aku bukan pembantu. Kalau kalian haus, buat saja sendiri! Jangan menyuruhku!” tolaknya dengan tegas. “Ayolah, Bilqis. Kemarin aku sudah menolongmu, jadi anggap saja ini balas budi. Apa sulitnya sih bikin minuman? Lagi pula, kamu seharian cuma diam di rumah kan?” desak Arash memaksa. Bilqis menahan geram. Tanpa menyahut, ia berjalan menuju dapur. “Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu, Ar? Kenapa kamu tiba-tiba berubah? Atau memang ini sifat kamu yang sebenarnya? Lalu… untuk apa kemarin kamu berpura-pura jadi pahlawan dan menikah denganku?” gumam Bilqis pelan. Ia mulai membuat minuman—tiga gelas orange juice. Tapi Bilqis bukan tipe wanita yang mau ditindas. Bukannya mengambil gula, ia malah mengambil garam. Dengan sengaja, ia memasukkan dua sendok penuh garam ke setiap gelas tersebut. “Rasain kalian. Siapa suruh berani ngeremehin aku,” gumamnya tersenyum puas. Setelah garam dalam gelas semuanya larut, ia membawa nampan berisi minuman dan cemilan ringan ke ruang tengah. “Nih,” ujar Bilqis datar sambil meletakkan nampan. “Ternyata istrimu ada gunanya juga ya, beb,” kata Bella sambil tertawa kecil. “Jadi sekarang ada yang melayani kita kalau datang ke sini.” Ia meraih satu gelas jus dan meneguknya. “Pfff—! Minuman apa ini?! Kenapa rasanya aneh sekali?!” teriak Bella sambil mengusap bibirnya. “Ada apa, sayang?” tanya Arash, menegakkan tubuhnya. “Istri kamu nih kayaknya sengaja ngerjain aku! Masa jusnya asin?!” Bella mengadu sambil melirik Bilqis tajam. Arash ikut mencicipi dan langsung mengernyit. “Apa-apaan kamu Bilqis?! Kamu buatin kita minuman apa, oralit sih?!” teriaknya marah. “Loh? Apa iya rasanya asin? Perasaan tadi aku masukin gula deh, bukan garam,” ujar Bilqis pasang wajah polos. “Aku ini kan biasa dilayani, bukan melayani. Di rumah aku jadi nona muda, bukan pembantu. Mana aku bisa bedain mana gula, mana garam?” Arash menarik napas kasar. “Dasar nggak becus. Cepat buatkan minuman lagi,” perintahnya berteriak. “Seriusan kamu mau nyuruh aku bikin minum lagi? Emang nggak takut aku masukin yang aneh-aneh lagi?” tanya Bilqis masih dengan wajah polos, membuat Arash semakin kesal. “Kalau gitu ambilkan air putih saja! Awas kalau masih salah!” perintah Arash dengan nada dingin. Bilqis berdesis geram, lalu kembali ke dapur. Namun ia tidak benar-benar menurut. Ia sudah menyiapkan sesuatu yang lain. Tak lama kemudian Bilqis muncul lagi membawa tiga gelas air putih. Saat lewat di dekat Bella— Byur! Air di gelas itu tumpah tepat ke tubuh Arash. “Bilqis!” pekik Arash murka. “Ya ampun, Ar… maaf. Aku tadi nggak sengaja kesandung kaki Bella jadi gelasnya jatuh,” ucap Bilqis dengan wajah polos sempurna. Bella langsung panik. “Enggak, beb! Aku nggak ngapa-ngapain! Kaki aku di sini kok! Nggak nyentuh dia!” jelasnya dengan cepat. “Terus kaki aku kesandung apa dong? Masa iya setan yang jagal kaki aku?” balas Bilqis datar. Arash menggeram kesal, menahan amarahnya agar tidak meledak. “Dasar gak berguna,” desisnya. Ia beranjak naik ke lantai dua dengan tubuh basah dan emosi memuncak. Bilqis tersenyum tipis melihat punggung Arash yang kian menjauh. Sofie memandang sinis. “Kok bisa sih Arash punya istri nggak berguna kayak kamu.” Ia memilih pergi sendiri ke dapur untuk mengambil air, karena jelas tidak mau bernasib sama seperti Bella dan Arash. Sementara itu, Bilqis kembali ke kamarnya. Ia tidak peduli apa yang akan dilakukan Arash dan kedua wanita itu. Setidaknya ia merasa puas karena bisa membalas perlakuan Arash hari ini. --- Di lantai dua, Arash segera masuk ke kamar pribadinya. Ia melepas kemeja yang basah dan mengambil kemeja hitam lainnya. Ia menghela napas dalam, lalu memejamkan mata sejenak. Wajah sedih Bilqis saat melihatnya pulang bersama Bella dan Shofie sempat terbayang di kepalanya. Ada rasa tidak tega… tapi Arash cepat menepisnya. Ia membuka mata perlahan. Langit malam terlihat melalui jendela besar—ditemani ribuan bintang. Momen seperti ini selalu membuatnya teringat pada masa kelam beberapa tahun silam. Saat ayahnya meninggal. Saat tubuh ayahnya ditemukan terkubur di dalam reruntuhan bangunan proyek yang sedang dikerjakan… proyek milik perusahaan Heru Bagaskara, ayah Bilqis. Ayahnya meninggal tanpa keadilan. Tanpa tanggung jawab dari perusahaan. Tanpa permintaan maaf. Dan justru pihak perusahaan malah menyalahkan ayahnya, selaku mandor proyek. Itulah alasan Arash muncul tiba-tiba dalam hidup Bilqis. Ia ingin menagih keadilan untuk ayahnya. Ia ingin membalas dendam. Dan pernikahan ini adalah salah satu jalannya. --- Keesokan harinya, Bilqis sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Mulai hari ini ia sadar, tidak ada lagi pelayan yang melayaninya. Semua harus dia lakukan sendiri. “Kamu bisa masak?” Suara Arash tiba-tiba terdengar dari belakang, membuat Bilqis hampir menjatuhkan spatulanya. Bilqis menoleh cepat. “Ngapain kamu masih di sini?” tanyanya sinis. Arash mengernyit. “Ini rumahku, Bilqis. Suka-suka aku mau ada di mana saja.” “Memang rumahmu. Tapi kan kamu punya banyak rumah,” balas Bilqis datar. “Aku kira semalam kamu sudah pergi sama selingkuhan-selingkuhanmu itu.” Arash diam sejenak, hanya menatap wajah Bilqis yang tetap tenang meski kata-katanya tajam. Ia lalu duduk di kursi makan. “Memang kamu bisa masak? Kemarin bikin minum saja salah.” Bilqis menoleh sambil tersenyum tipis. “Aku gak biasa melayani orang lain. Tapi buat ngurus diriku sendiri, aku masih bisa,” jawabnya datar. Begitu sarapannya selesai—French toast omelette yang terlihat sangat enak—Bilqis menaruhnya di piring, lalu duduk dan mulai makan dengan santai. “Sarapan untukku mana?” tanya Arash sambil melirik piring itu. Bilqis mengernyit. “Hah?” “Aku juga lapar, Bilqis. Cepat buatkan. Aku harus berangkat kerja,” perintah Arash. Bilqis meletakkan garpunya, lalu menatap Arash dengan ekspresi datar. “Kalau lapar, buat sendiri. Kalau buru-buru, makan di kantor saja. Atau minta selingkuhan-selingkuhanmu itu ke sini buat bikinin sarapan.” Ia lalu melanjutkan makannya lagi tanpa beban. “Atau panggil Beni saja, dia pasti bisa membuatkan sarapan untukmu.” Tambahnya pelan. Tatapan Arash langsung tajam. “Istriku itu kamu, Bilqis. Kamu wajib melayaniku. Setiap hari.” Bilqis tersenyum tipis, lalu memutar tubuhnya menghadap Arash sepenuhnya. “Aku memang istrimu, Ar. Tapi pernikahan kita cuma status di kertas. Kamu yang duluan mengabaikanku, ninggalin aku, dan memperlakukan aku kayak gak ada. Jadi jangan menuntut aku jadi istri yang… ‘sesungguhnya.” Nada suaranya lembut, tapi setiap kata penuh penekanan. “Dan satu lagi,” tambahnya pelan, “berhenti bawa selingkuhanmu ke rumah ini. Aku nggak peduli apa yang kamu lakukan di luar sana, tapi jangan pernah bawa mereka ke depanku lagi.” Arash terdiam lama. Tatapannya ke arah Bilqis berubah—ada sesuatu di sana, tapi ia sendiri seolah menolak mengakuinya. Tanpa berkata apa-apa, Arash bangkit dan pergi. Begitu pintu depan tertutup, Bilqis menghela napas panjang. Ia meletakkan sendok, kehilangan selera makan lagi. Bohong kalau ia bilang tidak cemburu. Tidak marah. Tidak sakit hati dengan sikap Arash. Tentu saja ia kesal. Ia marah dan kecewa—meski ia belum mencintai Arash lagi, tapi ia sempat menaruh harapan bahwa rumah tangganya bisa membaik dan penuh kebahagiaan. Tapi ia harus kuat. Ia harus terlihat baik-baik saja. Dengan begitu Arash tidak akan meremehkannya. Setelah selesai makan, Bilqis segera naik ke kamar. Ia merapikan koper yang sejak semalam sudah ia siapkan. Hari ini ia berniat pergi liburan sendiri. Cuti-nya sudah terlanjur disetujui, dan sayang kalau hanya habis untuk diam di rumah, memikirkan hal yang tidak membuatnya bahagia. Jadi, Bilqis mengambil keputusan tanpa meminta izin pada siapa pun—tidak pada Arash, tidak pada orang tuanya juga. Ia akan pergi liburan sendirian ke Jepang. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD