Paginya,
Vincent kembali bersikeras mengantar Sasi ke tempat kerjanya. Kalau sebelumnya ia tidak jadi mengantar ke tujuan maka kali ini Vincent bertekad akan mengantarkan sang isteri sampai ke pintu masuk. Negosiasi alot diantara keduanya berbuah kesepakatan damai karena Vincent yang mengalah untuk tetap membiarkan Sasi terus bekerja untuk sementara waktu. Setidaknya sampai Sasi siap berhenti dengan suka hati dan atau jika Sasi hamil nantinya.
Tidak buruk, jadilah Sasi menerima penawaran dari Vincent. Sejujurnya rencana serupa juga sempat jadi pertimbangan Sasi sebelumnya disaat ia merancang masa depan bersama Rizal dulu.
Tapi dengan Vincent... mereka belum sampai berbicara sejauh itu sebelumnya. Sampai sekarang saja masih aneh rasanya bagi Sasi saat Vincent sudah membicarakan kemungkinan mereka akan memiliki anak.
Ada hal besar yang selalu mengganjal perasaan Sasi saat melihat terlalu jauh kedepan.
Wanita itu.....
Bagaimana sebenarnya hubungannya dengan Vincent sekarang?
Sulit dipercaya kalau hubungan keduanya berakhir begitu saja.
Semua yang mengenal Vincent dan Stella pasti tahu seperti apa hubungan keduanya dulu. Betapa selama ini Stella seakan menjadi pusat dunia pria itu. Vincent mencintai Stella dengan ugal-ugalan bak istilah orang sekarang.
Dan kini, pria yang sama berbicara tentang masa depan dengannya. Bagaimana mungkin Sasi bisa percaya begitu saja? Harus sepositif apa dirinya untuk bisa menyambut rencana tersebut dengan riang gembira.....???
" Tumben sekali tidak macet. Ada apa ini?" tanya Vincent saat jalanan yang dilewatinya relatif lancar.
Sasi menatap Vincent datar," Tidak setiap hari juga macetnya parah. Ada kalanya memang seperti ini."
Vincent tersenyum," kalau situasinya seperti ini aku mau ngantarin kamu setiap hari."
" Ngapain? kayak kamu nggak punya kerjaan aja."tolak Sasi terang-terangan," urusin kantor kamu sana, keseringan ditinggal ntar ganti pemilik lagi." seloroh Sasi melihat perubahan raut muka Vincent.
" Biarin saja, palingan yang bisa melakukan itu cuma Damar sama Papa kamu, masa iya mereka tega mengkhianati keluarga sendiri. Aku nggak yakin Damar berani sama kakak iparnya ini."
Sasi mencibir mendengar nada bicara Vincent.
Enteng sekali baginya untuk berbicara dan merubah panggilan diantara mereka. Vincent begitu mudah menganggap dirinya sebagai kakak ipar bagi temannya sendiri. Mana nggak ada canggung-canggungnya sama sekali.
" Kamu nggak perlu ngantarin aku setiap hari."
Sasi berbicara sambil memegang tangan Vincent dan mengelusnya lembut," Kita punya tanggung jawab masing- masing, jangan sampai karena memprioritaskan yang satu jadi melalaikan yang lainnya." jelasnya.
" Tapi kan kamu memang prioritas aku."
" Tidak harus jadi sopir akukan?."
" Bagiku nggak masalah kok."
Sasi mencoba bersabar dengan menghela nafas," Iya, terima kasih pak Vincent Kusuma... tapi kantor kita tidak searah jadi kalau dipaksakan untuk berangkat bersama hanya akan merepotkan saja."
" Tidak repot ..."
Sasi menggeleng," Jangan keras kepala."
" Kamu nggak sedang menghindari aku kan?"
Sasi memukul tangan Vincent," jangan asal ngomong! tiap hari kita ketemu kan? kita juga tinggal dirumah yang sama kalau- kalau kamu lupa."
" Kamar yang sama."ralat Vincent dengan nada menggoda.
" Itu kamu tahu." ucap Sasi setuju tak peduli dari godaan yang diselipkan oleh Vincent dalam ucapannya.
Mobil berhenti tepat didepan gedung kantor tempat Sasi bekerja. Sasi lantas membuka safety belt dan mengulurkan tangan," terima kasih ya." ucapnya mau salim.
Vincent tidak segera menerima uluran tangan Sasi. Tatapannya terpaku lurus kedepan.
" Dia... kerja disini juga?" tanyanya dingin.
Sasi mengikuti arah pandangan Vincent," kamu kenal dia?"
" Sasi kirana, jawab aku.... apa alasan kamu tidak mau resign?"
Tbc