13 - A BIENTÔT, PARIS

2004 Words
Mata Jacques menyapu isi apartemennya yang memang telah dia kosongkan dari barang-barang pribadi. Dia tidak banyak membawa barang ke Bali, hanya pakaian-pakaian yang memang bisa dipakainya di iklim tropis seperti Indonesia. Dia menyimpan segala jenis mantel tebal yang biasa menghangatkan tubuhnya di musim dingin dan musim gugur di gudang. Dia hanya akan membawa dua koper besar, satu tas ransel, serta satu tas laptop. Jacques awalnya berharap Kinan mau menempati apartemennya di Rue du Bac hingga dia tidak perlu menyewakannya, tetapi Kinan enggan jika dia harus memboyong barang-barangnya dari apartemen ke tempat Jacques. Tidak punya pilihan lain, Jacques terpaksa menyewakan apartemen ini dan membiarkan Kinan mengurusnya karena setibanya di Bali, dia tidak akan punya waktu untuk menyeleksi calon penghuni apartemen. Dia percaya Kinan dan kekasihnya tersebut dengan senang hati menawarkan bantuan. Dia memang ingin diam di apartemen sembari memastikan bahwa barang-barang yang ingin dibawanya sudah masuk ke dalam koper. Tidak ada yang lebih menyeballkan bagi Jacques kecuali menyadari ketika dia berada di bandara bahwa ada satu-dua barang yang tertinggal. Maka dari itu, dia berkali-kali mengecek isi kopernya, termasuk tas kecil yang berisi paspor, kartu identitas, serta dokumen-dokumen penting yang dibutuhkannya. Dia bahkan berencana untuk tinggal di hotel karena apartemennya sudah tidak terasa seperti tempat yang telah dia tinggali selama hampir delapan tahun. Namun Kinan berhasil meyakinkannya untuk tetap berada di sini karena Jacques pasti tidak ingin meninggalkan kota yang telah memberinya banyak hal dengan tinggal di ruangan yang sama sekali asing dan tidak pernah ditempatinya. Maka Jacques pun membatalkan rencana tersebut. Pernak-pernik serta hiasan yang membuat tempat ini kental dengan kepribadian Jacques, semuanya tidak lagi terlihat hingga Jacques merasa tidak ingin meninggalkan Paris dengan membawa kenangan akan tempat yang tidak lagi dikenalnya. Pakaian serta sepatu yang akan dikenakannya besok dalam penerbangan lintas benua sudah dia siapkan di ruang tamu. Yang perlu Jacques lakukan sekarang adalah mandi setelah seharian berjibaku dengan debu dan keringat. Dia bahkan tidak sempat makan siang dengan layak karena hanya mengganjal perutnya dengan dua pisang dan satu apel. Jika telinganya tidak menangkap suara bergemuruh di perutnya, Jacques mungkin lupa bahwa dia perlu makan dengan benar. Kinan memang dengan sengaja memberi Jacques waktu untuk sendiri di malam terakhirnya meski Jacques pun tidak keberatan jika harus menghabiskannya dengan Kinan. Namun Kinan tetap akan mengantarnya ke bandara besok dan perempuan itu akan menjemputnya di apartemen lebih awal agar mereka punya waktu lebih banyak untuk berdua. Menanggalkan kaus putih yang tampak lusuh dan tidak lagi mampu menanhan keringat yang terus membasahi punggung dan dadanya, Jacques segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia sudah merencanakan malam terakhirnya sejak beberapa hari lalu. Terlepas rencananya untuk menyusuri Père-Lachaise hari ini yang pada akhirnya tidak terlaksana, Jacques memastikan bahwa dia harus menyisakan waktu untuk menikmati makan malam di Le Bistrot Paul Bert. Baginya, tidak ada tempat di Paris yang mewakili Prancis dalam hal makanan sebaik Bistrot Paul Bert. Dan karena belum ada kepastian kapan dia bisa pulang, Jacques ingin menuntaskan laparnya dengan menu di tempat tersebut. Senyum Jacques bahkan mengembang membayangkan akan menyantap St. Jacques à la coque—kerang yang dilumuri saus Britanny serta paduan jahe, kayu manis, kunyit, dan cabai yang pas tanpa menenggelamkan cita rasa kerangnya—dua gelas Gauby Calcinaires Blanc, anggur putih yang memang menjadi teman terbaik untuk menyantap hidangan laut, serta menutupnya dengan Soufflé au Grand Marnier yang membuat Jacques menyegerakan waktunya di kamar mandi. Dia bahkan telah memutuskan untuk mengakhiri malamnya di salah satu sudut sisi sungai Seine sebelum kembali ke apartemen karena mustahil melupakan sungai yang menjadi identitas Paris. Setelah memastikan dia tidak lupa dengan jaket yang akan melindunginya dari angin, Jacques keluar dari apartemen dan langsung menuju tempatnya memarkir motor karena dia ingin merasakan Paris dengan segala kebisingan serta pesonanya.   ***   Duduk di dekat sungai Seine, Jacques menatap bayangan lampu-lampu yang dipantulkan oleh permukaan air. Saat masih kuliah dulu, dia betah berlama-lama duduk di sekitar Seine jika pikirannya sedang keruh. Sungai yang membelah Paris tersebut memang punya magis yang tidak bisa dijelaskan Jacques karena tiap kali beranjak dari sungai tersebut, dia merasakan damai yang sebelumnya sulit ditemukan. Jacques memang bukan pertama kali ini meninggalkan Prancis. Dia sudah berkelana hingga sudut-sudut Eropa, Asia, serta Amerika yang bahkan tidak terpikir oleh siapa pun. Namun meninggalkan Paris untuk sebuah pekerjaan adalah hal yang pertama kali terjadi. Meski tidak ada keraguan bahwa dia akan mampu menghadapi setiap tantangan pekerjaan yang menantinya di Bali, ada berat yang menggelayutinya di hari-hari terakhir sebelum dia bertolak ke Indonesia. Sulit bagi Jacques untuk menjabarkan perasaan yang sedang memenuhi benaknya saat ini. Dia tentu saja tidak sabar untuk segera menginjakkan kaki di Bali—dan juga bertemu dengan Amara—dan merasakan udara di mana ibunya lahir dan besar, bukan sekadar mengunjungi. Namun meninggalkan Paris dan semua yang dikenalnya dengan baik tidak pernah seberat ini. Di lubuk hatinya yang paling dalam, Jacques sangat yakin bahwa ketika dia kembali ke Paris—kapan pun itu—ada perubahan penting yang akan menghampiri hidupnya. Dia tentu tidak tahu perubahan seperti apa, tetapi Jacques bisa merasakannya mengaliri setiap inci tubuhnya. Dia sungguh tidak bisa lagi menunggu reaksi Amara saat melihatnya nantu. Jacques tidak punya informasi apakah Amara sudah tahu bahwa Jacques akan menjadi atasannya atau belum Ketakutan Jacques hanya satu, yaitu Amara memutuskan untuk mundur dari The Ocean dan kembali ke Blue Diamond Jakarta setelah mengetahui bahwa Jacques Romaine akan ditemuinya setiap hari. Bayangan Amara tidak sedikit pun luntur meski pertemuan mereka menjadi semakin kabur dengan masa lalu. Dia bahkan masih bisa mencium parfum bunga mawar dan melati yang menempel di tubuh wanita itu sekalipun samar. Jacques sangat merindukan senyum dan suara tawa Amara dan tidak lama lagi, dia akan bisa melihatnya. Dia sebenarnya ingin membawakan Amara sesuatu—satu benda yang akan mengingatkan Amara tentang hari-hari yang dihabiskannya bersama Jacques—tetapi lantas Jacques mengurungkan niat tersebut. Dia tidak ingin Amara berpikir bahwa dia masih mengingat saat-saat mereka mengelilingi Paris malam itu. Terlebih lagi, dia tidak tahu status Amara saat ini. Jadi Jacques tidak membawa apa pun dari Paris. Mengembuskan napas panjang, Jacques mendongak dan menyaksikan lampu-lampu yang mengelilingi menara Eiffel hingga senyumnya merekah. Jacques tidak pernah suka dengan turis yang memenuhi Paris—dan ironis mengingat dia sendiri seorang hotelier—karena mereka hanya memenuhi jalanan tanpa tahu bahwa Paris yang sesungguhnya lebih dari berfoto di depan menara Eiffel. Namun satu hal yang tidak pernah membuatnya bosan adalah melihat menara setinggi 276 meter tersebut dikelilingi cahaya yang berpendar dalam berbagai warna. Jacques sebisa mungkin memanjakan matanya dengan pemandangan yang pasti akan dirindukannya tersebut sebelum dia sadar bahwa harinya akan lebih panjang besok. Dia harus tidur cukup malam ini agar tenaganya cukup untuk menghadapi esok.   ***   Sepanjang perjalanan dari apartemen, Jacques dan Kinan justru tidak banyak bicara. Mereka hanya bertukar kalimat-kalimat singkat karena Jacques lebih memilih untuk menyerap semua tentang Paris sebelum dia terbang meninggalkannya. Kinan pun tidak mengizinkan Jacques untuk menyetir—biasanya hal sepele seperti ini bisa memunculkan argumen panjang tentang kesetaraan gender dan emansipasi—tetapi kali ini, dia membiarkan Kinan melakukannya tanpa menolak sedikit pun. Mereka bicara tentang makanan apa yang akan disantap Jacques setibanya dia di Bali nanti dan apakah dia akan memulai rutinitas lari pagi di pantai mengingat untuk sementara dia akan tinggal di The Ocean sampai menemukan tempat tinggal yang disukainya—Jacques bahkan belum sempat melihat daftar vila yang dikirim oleh salah satu staf The Ocean untuk dia pertimbangkan sebagai tempat tinggal. Sesungguhnya, banyak yang ingin dilakukan Jacques, tetapi dia tidak ingin menuntaskan rasa penasarannya di awal masa tinggalnya di Bali. Dia ingin mengenal pulau itu perlahan-lahan hingga jika tiba saatnya dia pergi, Jacques akan punya kenangan mendalam tentang Bali. “I can’t believe that you’re finally going away, Jacques. It seemed like yesterday when we argued about it.” Jacques tergelak mengingat saat Kinan memberikannya silent treatment karena tidak mengajaknya berdiskusi tentang Bali. Waktu memang berjalan begitu cepat hingga Jacques sendiri kaget ketika waktunya untuk meninggalkan Paris tiba. “Will you miss having an argument with me?” tanya Jacques jenaka. Sejujurnya dia sama sekali tidak akan merindukan argumen-argumen di antara mereka karena penyebabnya selalu hal yang sepele. Dia berharap dengan jarak yang memisahkan mereka serta zona waktu yang berbeda akan membuat frekuensi argumen mereka berkurang banyak. Lagipula, apa yang ingin diributkan jika mereka saja tinggal di dua benua yang berbeda? “Tentu saja tidak, Jacques!” balas Kinan dengan tawa yang tidak lagi bisa ditahan. “Aku tahu bahwa berpisah dengan kamu dengan cara seperti ini akan membuatku jauh lebih dewasa menjalani hubungan kita. Aku yakin itu.” Sekalipun ada ragu yang sulit ditepis Jacques dari ucapan Kinan, dia tidak membahasnya lebih lanjut. Jacques hanya melirik wanita yang menyetir di sisi kanannya sambil memberi senyum simpul. Enam tahun yang menjadi jarak usia mereka memang tidak terlalu kentara, tetapi bagi Jacques, ada banyak sisi Kinan yang masih tidak bisa dia mengerti. Meskipun tidak adil menggunakan perbedaan usia mereka sebagai dasar ketidakpahaman Jacques kepada Kinan—dan juga sebaliknya—tidak ada alasan lain yang bisa ditemukan Jacques jika perbedaan mereka sudah menyinggung hal-hal yang sifatnya mendasar dan prinsipiel. Sekalipun mereka lahir dan besar dalam dua budaya, perbedaan cara pandang di antara mereka begitu mencolok hingga kadang Jacques memilih untuk mengalah karena dia lelah jika harus ribut karena alasan-alasan kecil. Dia kadang bertanya dalam hati apa yang sebenarnya diinginkan Kinan. Kinan sepertinya tahu bahwa Jacques sedang tidak ingin banyak bicara, maka dia lebih sering membiarkan Jacques tenggelam dalam lamunan. Terkadang Jaqcues berpikir bahwa kepergiannya ke Indonesia akan lebih mudah jika dia dan Kinan memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka tidak lama setelah Jacques bertemu Amara. Jacques tahu tidak akan ada perasaan bersalah seperti yang dirasakannya sekarang. Namun berada jauh dari Kinan—terlebih dengan perbedaan waktu—rasa bersalah itu pasti akan perlahan luntur. Sesampainya di bandara, Jacques segera menuju counter untuk check in agar dia bisa lebih leluasa bergerak tanpa harus menggeret dua koper berukuran besar. Begitu bebannya berkurang, Jacques tanpa ragu menggenggam tangan Kinan dan mereka pun berjalan tanpa tujuan. Mengingat masih ada lebih dari dua jam sebelum pesawat yang akan membawa Jacques ke Bali take off, mereka menuju salah satu gerai kopi meski saat ini Jacques tidak ingin mengonsumsi apa pun kecuali air putih. “Asal kamu tahu, Jacques, alasanku tidak mau tinggal di apartemen kamu adalah karena setelah kamu pergi, aku akan sendirian dan berada di apartemen itu akan membuatku sangat kangen dengan kamu. Dengan menyewakannya kepada orang lain, aku bisa mengontrol rasa kangen itu.” Jacques mengangguk sebelum mengelus punggung tangan Kinan. “Aku paham, Kinan. Aku cuma enggak mau melihat apartemenku kosong. Terima kasih karena kamu sudah mau membantuku untuk mengurusnya.” “Aku masih merasa bersalah karena sempat tidak mendukung keputusan kamu, Jacques. How could I be that selfish?” “Hey, kita enggak perlu membahas itu lagi. Yang penting sekarang kita baik-baik saja kan?” “Kamu benar,” jawab Kinan tanpa bisa menyembunyikan senyum. “Awas ya misalnya nanti sudah masuk winter di sini dan lagi dingin-dinginnya kamu kirim foto sedang bersantai di pantai sambil minum air kelapa. I will never forget you!” Kali ini Jacques tidak mampu menahan tawa karena satu hal yang sudah direncanakannya sejak tahu akan tinggal di Bali adalah membuat teman-temannya iri dengan mengirimi mereka foto pantai-pantai di Bali saat musim dingin tiba. Dia tahu banyak teman-temannya akan iri karena Jacques tidak perlu berjibaku dengan suhu udara di bawah nol derajat Celcius atau mengenakan mantel super tebal yang membuat langkah mereka semakin berat. “Vous pouvez toujours me rendre visite quand il fait trop froid à Paris. Kamu bisa mengunjungiku saat suhu di sini menjadi terlalu dingin. Aku akan dengan senang hati menjemput kamu di bandara, Kinan. All you have to do is letting me know, let me take care of the rest.” “Aku yakin banyak wanita akan mencoba mencuri perhatian kamu, Jacques. Please don’t be too charming around them.” Lagi-lagi, Jacques tergelak mendengar ucapan Kinan. Andai kamu tahu bahwa aku enggak punya niat untuk melakukannya kecuali di depan Amara, batin Jacques. “Kamu enggak perlu khawatir. Aku akan memastikan semua wanita yang bertemu denganku bersumpah kalau mereka tidak akan pernah mau lagi melihat wajahku. Aku janji akan memberi kesan paling buruk di depan mereka.” Tawa mereka mengisi keriuahan bandara Charles de Gaulle yang siang itu terasa begitu ramai. Mungkin banyak dari mereka yang ingin segera meninggalkan Paris untuk pergi ke Spanyol atau Italia bagian selatan yang lebih hangat ketika cuaca di kota ini mulai mendingin. “I will miss you so much, Jacques.” “Aku juga, Kinan.” Mereka saling bertukar senyum sebelum saling mendekatkan tubuh hingga bibir mereka bertemu.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD