Bab 1 - Hamil
“Jadi, bagaimana Dok?” tanya seorang wanita muda berambut panjang lurus dengan poni. Ia menatap Dokter yang duduk di hadapannya dengan gelisah.
Dokter kandungan itu tersenyum, namun itu membuat Lia, wanita itu semakin takut. “Selamat ya Mbak, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang Ibu.”
Sesuatu yang Lia takutkan akhirnya terjadi, bagai petir di siang bolong, berhasil membuatnya mematung mendengar pernyataan dari sang Dokter. “Benarkah Dok? apa Dokter yakin?”
“Ya, tentu saja. Sekali lagi selamat ya Mbak.” Lia mengangkat sudut bibirnya sedikit, memaksa untuk tersenyum.
“Oh iya suaminya mana Mbak? enggak ikut masuk?” Dokter yang menangani berpikir bila suami Lia hanya menunggu di depan saja.
Lia membasahi bibirnya gugup, “Hm, suami saya enggak ikut Dok. Dia kerja.”
“Oh begitu. Kalau begitu sampaikan saja selamat untuk suami Mbak ya, sebentar lagi dia akan menjadi seorang Ayah.”
“I-iya Dok.” Lia menjadi canggung ketika dokter terus menyinggung soal Ayah si calon bayi. “Kalau begitu saya permisi, terimakasih Dok.”
“Sama-sama. Sehat-sehat ya Mbak, nanti jangan lupa untuk rutin konsul kandungannya ya Mbak biar kandungannya selalu sehat sampai lahiran.”
“Baik Dok. Permisi,” Lia bergegas keluar, rasanya ingin segera menyembunyikan diri dari semua orang. Sangking terburu-burunya, ia sampai menabrak seorang pria di depan pintu ruang obygn sampai membuat mereka mundur beberapa langkah. “Eh, maaf-maaf. Saya enggak sengaja.” Lia meminta maaf sambil menundukkan kepalanya.
“Ya, enggak apa-apa.”
Lia mengerutkan keningnya ketika mendengar suara yang tak asing di telinganya, membuatnya mendongakkan kepala. Matanya melotot ketika melihat sosok pria di hadapannya.
“Lia,” pria itu juga sama kagetnya ketika bertemu dengan Lia di sana. Lia hanya mengerjapkan matanya berkali-kali sebelum akhirnya pergi meninggalkan Evan, pria tinggi, bertubuh besar dengan model rambut pendek menampilkan jidat lebarnya. Pria itu juga tampak rapi dengan setelan jas hitam dengan kemeja putih.
‘Apa yang dilakukannya di sini? apa dia sakit?’ Evan mengernyitkan dahinya, menatap punggung Lia yang semakin menjauh. ‘Atau jangan-jangan ....’ matanya membulat ketika sesuatu terlintas di kepalanya, kemungkinan yang Lia alami.
Sementara itu Lia terus berlari hingga sampai ke kamar mandi. Kamar mandi wanita tampak sepi saat itu. Ia pergi ke wastafel, mencuci wajahnya kasar lalu menatap dirinya di pantulan cermin, menghela napas panjang. “Enggak. Ini enggak mungkin terjadi.”
Matanya mulai berkaca-kaca, ia mengepalkan tangannya kuat lalu menghantam meja wastafel yang terbuat dari marmer itu berkali-kali hingga membuat punggung tangannya memerah. “Hiks ... Aku enggak mau bertemu dengannya lagi. Tapi, kenapa sekarang aku harus terikat dengannya. Kenapa?!” Air mata Lia turun begitu saja diikuti dengan dadanya yang makin terasa sesak. Sakit sekali.
Ia menghela napas kasar, “Baiklah. Aku akan melahirkan anak ini tanpa seorang Ayah,” tuturnya tegas menatap dirinya di depan cermin dengan sorot mata penuh keyakinan.
***
“Evan, kenapa kamu lama sekali?”
Evan tersenyum setelah menutup pintu kamar rawat. “Tadi masih ada kerjaan Ma, jadi sedikit telat.”
“Mama lagi sakit loh ini. Masa kamu masih memprioritaskan kerjaan terus sih.” Wanita paruh baya yang merupakan mama Evan itu memajukan bibir bawahnya, merajuk.
“Iya-iya. Aku minta maaf ya Ma.” Evan duduk di sebelah mamanya, memijat-mijat pelan tangan mamanya.
“Iya Mama maafin tapi lain kali harus prioritasin Mama ya. Kamu tuh cuma satu-satunya yang Mama punya sekarang.”
Evan merasa sedih ketika mamanya berbicara seperti itu pasalnya setelah papa Evan meninggal setahun yang lalu, mamanya sering merasa kesepian dan sakitnya sering kambuh. Evan mengangguk mengiyakan. “Jadi gimana kabar Mama sekarang? udah baikan?”
“Udah mendingan sih, cuma masih sakit kepala.”
“Mama udah makan?”
“Udah, tapi enggak habis. Mama enggak napsu makan, Evan.”
“Kenapa enggak napsu makan? Mama mau makan sesuatu yang lain? kalau iya, biar aku beliin sekarang.”
Mama Evan menggeleng. “Mama enggak mau apa-apa. Mulut Mama pahit, jadi semua makanan rasanya enggak enak.”
“Ya udah kalau gitu Mama istirahat aja ya,” Evan membantu mamanya untuk kembali berbaring, menyelimutinya, mengusap kepala mamanya dengan sayang. “Cepat sembuh ya Ma,”
Mama Evan mengangguk sebelum akhirnya menutup matanya, mencoba untuk tidur. Evan lalu duduk di kursi, menunggu mamanya sebentar sebelum kembali ke perusahaan.
‘Kenapa aku terus memikirkan Lia? apa yang sebenarnya terjadi padanya? apa ada hubungannya dengan kejadian yang terjadi sebulan yang lalu?’ pikirnya tiba-tiba setelah bertemu dengan Lia barusan.
***
Tok tok tok!
“Lia, makan malam dulu yuk!” mamanya Lia mengajak anaknya untuk makan malam bersama. Tak ada sahutan dari dalam, itu pun membuat Nani, mamanya Lia mengernyitkan dahinya. ‘Apa lagi tidur?’ Nani kembali mengetuk pintu kamar anaknya.
Tok tok tok!
“Lia! Makan malam dulu yuk nak!” tetap saja tidak ada respon. Sejak pulang sore tadi, Lia memang langsung mengurung diri di kamar, sedangkan Nani hanya bisa menerka-nerka apa yang telah terjadi pada anaknya, sebab beberapa bulan terakhir Lia memang terlihat lebih pendiam dari biasanya dan jarang cerita padanya. Akhirnya Nani memilih untuk kembali ke dapur, menyiapkan makanan ke meja makan.
Sementara itu Lia tampak membuka matanya perlahan ketika suara mamanya tak terdengar lagi. Ia sontak menyentuh kepalanya ketika urat-urat di dahinya berdenyut. “Hoek ....”
Ia bergegas keluar dari kamarnya ketika merasa ingin muntah, pergi menuju kamar mandi di belakang.
“Hoek ... Hoekk ....”
Nani yang panik segera berdiri di depan pintu kamar mandi, mengetuknya beberapa kali. “Lia, kamu kenapa?” tak berapa lama kemudian, pintu terbuka. Terlihat Lia dengan wajah pucat dan lemas sembari memegang perutnya.
“Lia, kamu sakit?” Nani meletakkan punggung tangannya ke dahi Lia. “Tapi enggak panas kok.”
“Aku baik-baik aja kok Ma, cuma agak pusing sedikit.”
“Oh mungkin kamu masuk angin. Ya udah sekarang kamu ke kamar aja, istirahat. Nanti, biar Mama bawain makan malam sama obat ke kamar kamu ya.” Lia hanya mengangguk lalu melangkah dengan langkah gontai menuju kamarnya.
Saat tiba di kamar, Lia mengambil duduk di tepi ranjang, menyentuh perutnya sembari menatap ke depan dengan tatapan kosong.
Tak berapa lama kemudian Nani datang ke kamar anaknya sembari membawa makan malam dan obat mual untuk Lia. "Lia, ayo makan dulu."
“Hoek ....” Lia seperti ingin muntah lagi. “Sebentar Ma,” ucapnya pelan lalu kembali keluar kamar, sementara mamanya langsung meletakkan nasi dan air ke atas nakas di sebelah ranjang, namun matanya seketika menyipit tajam ketika melihat sebuah benda panjang yang terselip di sebuah buku yang ada di atas meja yang sama.
“Apa ini?” Ia meraih benda itu, dan, “Hah? Tidak mungkin.” Ia menutup mulutnya tidak percaya.
“Mama,” ucap Lia yang sudah berdiri di ambang pintu.
“Ini punya siapa Lia? jelasin sama Mama,” tanya Nani seraya menyodorkan testpack yang menunjukkan hasil 2 garis merah.
Lia sontak menelan ludah, matanya berkaca-kaca, wajahnya penuh peluh. Ia telah tertangkap basah. “Ma, aku—“
“Ini bukan punya kamu ‘kan?” Lia terdiam, menunduk dalam seraya mengigit bibirnya kuat. “Jawab Mama, Lia!” Nani mengguncang tubuh anaknya yang bergetar.
“Ma-maafin aku Ma,”
Nani menghela napasnya, dadanya terasa nyeri hingga matanya ikut berkaca-kaca, bersiap mengeluarkan kristal bening itu kapan saja. “Jadi, kamu beneran hamil?”
“Apa?!” sepasang ibu dan anak itu sontak menoleh ke asal suara dan mendapati suami Nani sudah berdiri di ambang pintu kamar.
TBC