Bab 8 - Bertemu Sahabat

1519 Words
Setelah Evan pergi kerja, Lia hanya beristirahat di kamar. Hari ini ia mengambil cuti karena tubuhnya masih terasa lemas dan perutnya masih sedikit mual. Ia duduk di tepi ranjang dengan kaki yang menyentuh dinginnya lantai, memandang ke sekeliling kamar dengan bibir mengerucut, rasanya bosan juga jika berada di kamar seharian namun sepersekian menit kemudian, ia memilih keluar dari kamar. “Bi Siti lagi masak untuk makan siang ya?” “Eh non Lia kenapa keluar kamar? istirahat aja non.” “Aku bosan Bi. Aku bantuin ya,” “Eh, enggak usah non. Nanti non Lia capek lagi.” “Enggak capek kok Bi. Ini aku bantuin motong sayurnya aja ya,” Lia mulai mengambil alih sayur sawi hijau yang tergeletak di atas pantry sementara Bi Siti terlihat sibuk menggoreng ayam di sebelahnya. “Ya udah kalau non maksa tapi jangan capek-capek ya.” “Iya Bi. Ngomong-ngomong ini sayurnya mau dibuat apa?” “Itu sawinya buat campuran mi bihun goreng nanti.” Lia mengangguk paham. Sementara mereka sibuk memasak, tiba-tiba Mia datang ke dapur, mengambil minum. “Katanya sakit, ngapain ke dapur?” tanya Mia hingga membuat Lia dan Bi Siti mengalihkan atensinya. “Aku enggak sakit kok Ma, cuma mual tadi tapi sekarang udah agak mendingan.” “Kalau sakit istirahat, enggak usah banyak tingkah. Nanti kalau terjadi apa-apa sama kamu, anak saya juga yang repot.” Lagi-lagi ucapan mertuanya yang membuat sakit hati. Kenapa mertuanya itu dengan mudahnya mengeluarkan kata-kata pedas seperti itu? “Aku udah enggak apa-apa kok Ma. Mama tenang aja, aku enggak akan merepotkan atau memanfaatkan anak kesayangan Mama itu kok," sarkas Lia dengan disertai senyum lebar. Mia hanya merespon dengan tatapan sinis lalu pergi dari dapur. Bi Siti menatap Lia iba, “Kamu enggak apa-apa ‘kan non?” “Enggak apa-apa kok Bi. Aku udah terbiasa.” Lia mencoba untuk berlapang d**a. “Sabar ya non. Mungkin memang butuh waktu yang lama untuk nyonya bisa menerima non Lia.” Sebenarnya Bi Siti tahu kalau majikannya itu belum bisa menerima Lia masuk ke dalam keluarga Adisetya, bisa dilihat dari perlakuannya setiap hari kepada Lia. “Iya Bi. Hm, ngomong-ngomong Bi Siti udah lama kerja di sini?” “Udah non. Bi Siti yang pertama kali kerja di sini. Dulu pembantu di sini cuma ada Bibi tapi lama-lama nambah.” Lia mengangguk paham. “Bibi betah kerja di sini?” “Alhamdulillah betah, dinikmati aja non. Kalau enggak kerja di sini, mau kerja di mana lagi non? susah cari kerja sekarang ini. Bibi udah kerja di sini hampir 10 tahun, dari mas Evan masih remaja." “Berarti dari Almarhum Papa Evan masih ada?” Bi Siti mengangguk. “Dulu waktu almarhum Papa Evan masih ada, keluarga ini harmonis dan hangat tapi setelah almarhum meninggal enggak tahu kenapa jadi enggak sehangat dulu. Nyonya juga lebih sering marah-marah dan penyakitnya juga sering kambuh. Lebih sensitif dan emosional.” “Mama sebenarnya sakit apa Bi?” “Sakit asma.” Lia mengangguk paham, “Hm, kalau menurut Bi Siti Evan itu orangnya gimana? Bibi ‘kan udah lama kerja di sini, pasti Bibi tahu kepribadiannya dia.” “Setahu Bibi Mas Evan itu orang yang dewasa, pekerja keras, baik cuma agak nakal apalagi pas masih sekolah ada aja kelakuannya, pernah bolos, pernah berantem karena merebutin cewek tapi itu dulu, setelah almarhum papanya meninggal, dia berubah menjadi orang yang ebih baik.” “Ohh gitu. Tapi dia itu sering main cewek enggak sih Bi? Maksudnya playboy gitu enggak?” Bi Siti terlihat berpikir. “Kayaknya enggak sih ya, bibi kurang tahu sih. Bibi ‘kan juga bukan mamanya, yang pasti nyonya lebih tahu.” Setelah membantu Bi Siti memasak dan makan siang, Lia kembali ke kamar untuk istirahat, mertuanya juga biasanya sedang tidur kalau siang. “Aku pengen nelpon Zenna deh. Dia sibuk enggak ya?” Lia bergumam lalu mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. “Coba aja deh, udah lama juga enggak ngobrol sama dia,” lanjutnya kembali bermonolog sendiri. “Halo Lia,” “Halo Zen. Apa kabar?” “Baik. Kamu?” “Aku juga baik. Aku ganggu enggak sih?” “Enggak kok Li. Ini aku juga masih istirahat. Kenapa Li?” “Aku pengen ngobrol deh sama kamu, udah lama juga 'kan kita enggak ketemu?” “Sama ... Aku juga pengen cerita-cerita sama kamu. Sore ini bisa enggak? Habis aku pulang kerja, sekitar jam 5an?” “Boleh. Ketemu di mana?” “Di kafe biasa aja.” “Oke.” Jam setengah 5, Lia keluar dari kamar, sudah rapi dan wangi bersiap menemui Zenna, sahabatnya yang paling setia. Dari sekian banyak teman sekolahnya hanya dengan Zenna yang masih sering berkabar. Di luar rumah, ia mendapati Mia sedang menyiram tanaman. Ia pun menghampirinya. “Ma, aku pamit mau keluar sebentar.” Mia memandang Lia dari atas hingga ke bawah. “Mau ke mana kamu?” “Mau ketemu teman sebentar Ma,” Mia hanya diam, memberikan tangannya pada Lia untuk disalim. “Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum!” “Waalaikumussalam.” *** Setibanya di Star Cafe, kafe yang biasanya sering Lia dan Zenna kunjungi. Lia mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Zenna namun ternyata Zenna telah lebih dulu mengirimkan pesan pada Lia. Zenna: Lia kamu di mana? Aku udah sampai di kafe. Lia: Aku baru sampai. Kamu udah di dalam?” Zenna: Udah. Lia pun menyimpan ponselnya lalu masuk ke dalam kafe, mengedarkan pandangannya ke segala arah dan mendapati Zenna yang sedang melambaikan tangan padanya. Dengan wajah sumringah, Lia melangkah menghampiri meja Zenna. “Kamu udah dari tadi, Zen?” “Enggak kok, belum lama. Kamu enggak mau pesan makanan dulu? Aku barusan udah pesan.” “Oh iya sebentar ya,” Lia pun pergi memesan makanan dan minuman lalu kembali duduk. “Eh, kamu gemukan ya Li? Makin cantik deh.” “Hah, emang iya?” “Iya. Apa karena kamu lagi hamil ya? Eh, tunggu dulu,” Zenna tiba-tiba merasa teringat sesuatu, ia memajukan tubuhnya lalu berbisik, “Kamu udah minta tanggung jawab sama si Evan itu?” “Nah ini masalah yang sebenarnya aku mau ceritain sama kamu.” Zenna mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menopang dagu, bersiap mendengar cerita dari sahabatnya itu. “Sebenarnya aku udah nikah sama dia.” Mata Zenna sontak melotot. “Hah! Serius? Kok enggak ngundang aku?” “Gimana aku mau ngundang kamu, nikahnya aja secara tertutup cuma ngundang beberapa kerabat dekat aja pas akad nikah di masjid. Pesta aja enggak ada.” “Kok bisa? bukannya si Evan itu orang kaya ya?” tanya Zenna setelah menelan makanannya yang udah datang. "Eh, maaf ya aku makan duluan soalnya udah lapar," lanjut Zenna kembali berbicara sambil nyengir. “Iya, enggak apa-apa. Jadi gini Mamanya dia mau nikahnya secara tertutup kayak disembunyikan gitu jadi enggak ada pesta segala macam, cuma akad aja. Aku rasa orang perusahaannya aja banyak yang belum tahu.” “Kenapa gitu? Padahal perutmu ‘kan belum besar. Orang-orang juga enggak tahu kalau kamu lagi hamil.” “Mamanya dia tuh kayaknya enggak suka sama aku. Keluargaku ‘kan enggak selevel sama keluarga dia. Dia pikir, aku cuma mau memanfaatkan anaknya aja. Kalau aku tidak hamil, aku juga enggak mau nikah dengan anaknya. Untuk apa aku menikahi orang yang tidak aku suka." “Kasihan banget sih kamu. Sabar ya bestie,” Zenna mengusap pelan lengan Lia. “Terus si Evan itu gimana? Dia baik enggak sama kamu?” “Dia baik sih tapi enggak tahu cuma pura-pura atau enggak? bukan mau suudzon ya tapi kamu tau 'kan dia itu orang yang dulu pernah buli aku, suka ngata-ngatain aku jelek, dekil, gendut sampe dorong-dorong aku pokoknya ngeselin banget tau dia dulu.” “Iya aku tau. Dia kena karma tuh, dulu ngejek-ngejek kamu, sekarang malah tergila-gila sama kamu. Apa dia sekarang udah berubah ya?” Lia mengangkat bahunya menunjukkan bahwa dia tidak tahu. “Ya udah kamu sabar aja ya. Kalau butuh bantuan, hubungi aku aja, jangan sungkan." Lia tersenyum, bersyukur sekali mempunyai sahabat baik seperti Zenna, "Eh, iya Zen di tempat kamu kerja ada lowongan kerja enggak?” “Buat siapa Li?” “Buat aku. Aku kayaknya mau kerja yang lain aja deh.” “Loh kenapa? tempat kerjamu udah enggak nyaman?” “Bukan. Tapi, biar pekerjaanku selevel dengan keluarga dia.” “Ya ampun sampai segitunya kah mertuamu?” “Enggak tahu. Tapi, sering nyindir mulu jadi enggak betah tinggal di sana.” “Oalah, jahat banget ya, Tapi kayaknya enggak ada sih Li.” Lia sontak memajukan bibir bawahnya kecewa. “Eh, Li kenapa kamu sama Evan enggak keluar aja dari rumah itu? maksudnya tinggal berdua aja gitu apalagi kalau si Evan itu ternyata udah berubah jadikan lebih nyaman tinggal berdua, enggak perlu dengar nyinyiran mertua lagi." “Enggak yakin dia mau ninggalin mamanya, soalnya papanya 'kan udah meninggal jadi mamanya tinggal sendiri, cuma sama ART." “Ohh tapi coba aja dulu, demi kebahagiaanmu.” Lia memasang wajah memelas seraya menghela napas pelan, sudah pesimis duluan. “Iya udah deh, nanti aku coba.” lalu mengangkat sudut bibirnya sedikit mencoba untuk tersenyum. "Nah gitu dong. Semangat ya!" TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD