Jagoan Bandung

1173 Words
Ia sudah membuat pesan panjang yang nantinya akan ia kirim pada umminya. Lihat saja, tukasnya dalam hati. Ali pokoknya harus dimarahi habis-habisan oleh umminya dan abinya. Dan ia akan pastikan hal itu. Tapi sebelumnya..... Teteeeeh, nanti ingetin Shilla untuk marah-marahin a'ak Ali di depan ummi! Ia mengirim pesan itu pada kakak iparnya. Maira tertawa lah. Adshilla memang pendiam. Awalnya juga tak mudah mendekatinya. Tapi lama-lama gadis kecil ini nyaman dan bawel juga kok. Terkadang bercerita juga padanya. Meski mungkin belum banyak hal. Kan ada prosesnya juga. Kini sayangnya ia berada jauh dari mereka. Jadi kangen sih. Karena seringkali, ia lah yang menjadi penengah di antara mereka. "Sampai, dek." Ia mendongak. Tak sadar juga. Tapi kakinya langsung gemetar. Ia harusnya sudah menduga kalau perjalanan akan macet. Apakagi tadi ia berpikir keras dulu. Kan tak mungkin meminta diantar umminya. Mau menunggu sampai kapan? Mau naik angkot? Haaaah. Ia tak hapal kalau arahnya pergi. Karena rute angkotnya akan berbeda ketika pergi dan pulang. Lalu? "Makasih, pak," ucapnya. Mau tak mau ia keluar dari taksi. Ia mengeluh dalam hati. Bukan hanya soal uang jajan hari ini yang habis tuntas untuk membayar taksi. Tadi ia melihat sendiri sekitar 50 ribu. Astagaa. Padahal rasa-rasanya tak begitu jauh kok. Mari kita hitung jika jarak dari setengah perjalanan rumah ke sekolah adalah sekitar 10 kilometer lalu Shilla dan Ali tadi berangkat dari rumah jam....heiish.....kelamaan, Shilla. Ngirit....Shilla. harus ngirit. Ia memang terpaksa mengirit dihari-hari berikutnya demi bisa membeli novel di akhir bulan nanti. Kalau tidak begini, tidak sampai nanti. Mau morotin siapa coba? Aak Agha tidak di rumah. Aak Aidan juga. Lebih enak minta langsung dari pada harus transfer segala eeh kayak punya ATM aja. Ya punya sih tapi kan dipegang ummi. Baru boleh menggunakan ATM itu nanti saat kuliah. Tradisi di dal keluarganya begitu. Setan emang a'ak Ali. Ia terus memaki Ali di dalam hati. Sepertinya ia memang harus berani mengambil resiko kali ini. Ya bukan soal mengadu sih. Kalau mengadu kan hal biasa. Tapi ia mungkin harus berani belajar menyetir mobil setelah ini. Meski tak yakin juga sih apakah akan diizinkan membawa mobil ke sekolahnya. Padahal kakak-kakak laki-laki ya sudah diizinkan membawa kendaraan bahkan sejak SMP loooh. Eeh tapi ia bukan laki-laki ya. Sebagai anak perempuan di rumah, peraturan dan perlakuan orangtuanya tentu saja berbeda jika berurusan dengannya. Rasanya ini bukan hanya terjadi di rumahnya sih. Mana ia memang paling lemah kalau urusannya dengan kendaraan. Ia bahkan tak bisa naik sepeda loh. Karena trauma jatuh saat kecil, semakin trauma saat diajarkan naik motor beberapa bulan lalu oleh kakak pertamanya dan berakhir dengan terperosok ke got depan masjid. Lalu dagunya berdarah. Kalau mobil bagaimana? Ya roda empat sih. Tapi kan bukan berarti benar-benar aman. Belum apa-apa ia sudah trauma duluan deh. Ia mendongak. Omong-omong ia belum telat kan ya? Ia takut asli kalau terlambat. Belum pernah soalnya. Ia mempercepat langkahnya. Sementara itu, dari belokan, ada sebuah motor gede berwarna putih melintas kencang menuju ke arah sekolah. Agak mengebut karena mengejar gerbang sekolah yang sudah mulai ditarik sang satpam untuk ditutup. Yeah ditutup secara manual. Namun hanya kurang dari satu menit, motornya berhasil menerobos masuk meski yaaa hampir oleng karena kaca spion kirinya sempat menabrak sisi pagar. Untungnya, ia berhasil menyeimbangkan motornya jadi tak jatuh. Sementara itu, sang satpam menggelengkan kepala melihatnya menerobos begitu. Ya bahaya meski sudah biasa sebetulnya. Tapi setidaknya, ia tidak melihat anak itu diteriaki guru yang hari piket ini. Setidaknya ada hal yang membaut ia bersyukur ya? Ahahaha. Ia melajukan motornya menuju parkiran. Senyumnya langsung terbit melihat seorang gadis sedang berjalan dengan langkah yang agak terburu-buru. Lalu dengan sengaja ia berhenti sebentar di samping Shilla. "Kan udah dibilangin....," ia menatap rambutnya. "Rambutnya jangan dikuncir doong," tukasnya lalu menarik karet rambut Shilla yang dikuncir ala ekor kuda itu. Shilla tentu saja heran. Ia tak begitu menanggapinya. Pasrah saja karet kuncirnya sudah menghilang. Ia buru-buru berbelok sementara cowok itu berlalu dengan motornya ke arah parkiran. Shilla tak mau menanggapi sih meskipun risih karena rambut panjangnya jadi terurai begini. Rambutnya kan tebal lalu panjang pula sampai p****t. Ia sayang sekali kalau harus memotongnya kan, umminya juga berpendapat hal yang sama. Bagus banget lagi dan juga lembut. Yaa ala-ala iklan sampo. Tapi kalau kuncirnya lepas begini kan lama-lama akan merasa panas juga. Mana Depok panas begini. Haaah. Ia hanya bisa menghela nafas. Sementara itu, cowok tadi malah tersenyum kecil usai melepas helmnya. Ia sudah memarkirkan motornya dengan benar dan tidak seenaknya kok. Kemudian ia bergerak turun dari atas motor lalu mempercepat langkah untuk menyusul Shilla. Ya mumpung Shilla belum jauh-jauh amat. Cewek itu tampaknya tak buru-buru lagi karena kini langkahnya sudah agak santai menuju kelas. "Pagiii!" sapanya sambil mengacak-acak rambut Shilla. Lalu? Yaa kabur setelah mengedipkan sebelah mata ke arah Shilla. Lagi-lagi, Shilla hanya mengerutkan kening melihat tingkahnya. Tak paham sih. Shilla kan memang begitu. Cuma tahu soal cinta melalui buku dan novel. Belum tahu bagaimana praktiknya di dunia nyata. Joy yang mengamati sejak tadi malah menepuk kening, pusing kepala. Ia lebih heran dengan kelakuan Shilla sih. Novel romantis banyak, masa hal-hal sederhana kayak gitu gak paham? Mana keren lagi yang naksir. Hahaha. Jadi iri juga rasanya. "Masa masih gak paham sih, Shil, astagaaaaaa?" tanyanya saat berhasil menjajarkan langkah di samping Shilla lalu mengecek kening Shilla. Ya bukan panas tubuh sih tapi kewarasan. Kayaknya orang waras lain pasti paham deh sinyal yang tadi. Hahaha. Shilla justru menoleh dengan tatapan yang semakin heran dan semakin bingung. Joy menghela nafas panjang. Astagaaaaaaaaa! "Dia tuh suka tahu sama lo tauuuk! Iiish! Masa gak paham sih? Kapan lagi coba ditaksir cowok cakep nan keren begitu? Ganteng lagi! Cool lagi! Dengar-dengar dia dulu jagoan di Bandung loh, Shil, menang tawuran mulu! Eeh apa ya namanha MPV? Eeh gak ding! Panglima! Nah iya pangilmaaa!" Shilla menepuk keningnya. Ya ampuuun. Apanya yang keren dari jagoan sekolah di Bandung sih? Yang ada bukannya malah ngeri ya? Ya kan? Lama-lama ia geleng-geleng kepala. Ini ia yang gak paham atau temennya yang kelewat g****k sih? Joyy? Sering remedial gak apa-apa tapi harusnya ada perbaikan doong. Selama ini, Shilla sudah berusaha menjaga jarak dengan cowok itu loh. Ia tak mau terlibat masalah dengan cowok itu, titik. Ngeri aja. Dari gayanya aja udah sangar. Baginya sih begitu. Ya gimana ya? Bawaan cowok bandel itu kan horor bagi cewek-cewek lurus sepertinya. Tiba di kelas, ia segera berjalan menuju bangkunya. Joy? Di belakang sepertinya. Tuh anak memang sering nyangkut gak jelas kok. Hihihi. "Ma, lo ada karet rambut gak?" "Tumben gak bawa, Shil." Rahma heran. Kan biasanya Shilla bukan orang yang suka pikun loh. Ia sangat rajin dan menulis semuanya secara detil. Bahkan Rahma sudah mendengar gosipnya kalau cewek di sebelahnya ini adalah juara umum utama di SMP dulu tapi itu kan hanya gosip ya. Ia juga tak tahu kenyataannya kok. "Tadi hilang. Gak tahu di mana," bohongnya. Kejadian ini sebenarnya sudah berulang sih. Bukan sekali atau dua kali. Terlebih selama satu minggu ini. "Jangan hilang loh ya," ingat Rahma sambil memberikan karet cadangan miliknya. Maksudnya nanti harus dikembalikan. Hahaha. "Eh, omong-omong, semalem si Reifan, ada ngirim pesan ke elo gak?" Shilla langsung terbatuk-batuk mendengarnya. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD