Chapter 2

1295 Words
Deborah baru saja memasuki gedung perusahaan yang dia miliki dari ayahnya. Elbert William–sang ayah,  adalah pemilik perusahaan asuransi ternama di Amerika. Kini perusahaan yang ada di New York itu telah diturunkan padanya. Sementara ibunya Natalie Willow sudah bercerai dengan sang ayah dan menetap di Colorado bersama suami barunya. Deborah menetap di New York seorang diri karena keluarganya tinggal terpisah. Kakaknya Gerald William menetap di Virginia, hidup sederhana bersama sang istri tanpa mau meneruskan bisnis sang ayah. Maka dari itu Deborah yang meneruskan warisan yang ayahnya berikan. Deborah keluar dari lift bersama karyawan lainnya. Wajah angkuh tanpa ekspresi telah menjadi ciri khasnya. Decitan heels-nya bergesek pada lantai. Suasana kantor sudah ramai, tetapi lebih ramai lagi ketika beberapa orang menggosipkan hal yang tidak penting. "Kalian tahu tidak, bos kita itu senang memesan laki-laki bayaran." "Oh ya? Miss Deborah? Bukannya sudah bersuami?" "Deborah masih single! Dia perempuan tua yang menyebalkan! Siapa yang mau bersanding dengannya?" Gosip di pagi hari mendengung jelas di gendang telinga Deborah. Dia menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Satu hal yang paling Deborah benci adalah gosip tentang dirinya yang beberapa karyawan lontarkan. Mau hal baik, buruk, apalah itu, intinya membicarakan tentang dirinya adalah kesalahan fatal. "Kalian bertiga silakan kemasi barang-barang dan pergi dari sini. Kalian saya pecat. Minta gaji kalian pada Jennie," ucap Deborah dengan nada tegas. Sorot matanya menandakan keseriusan yang dalam. Ketiga perempuan itu menoleh, sementara karyawan lain yang hanya menjadi penonton saja buru-buru mengalihkan pandangan mereka dan berpura-pura sibuk. "Miss De-de-de-borah ...?" Salah satu karyawannya terlihat gelagapan. "Iya, saya Deborah yang kau bilang menyebalkan. Kemasi barang atau saya panggil keamanan untuk mengusir kalian," balas Deborah sembari berjalan melewati ketiga perempuan itu yang masih terbengong-bengong. Seisi perusahaan sudah tahu bagaimana Deborah. Perempuan itu bagai diktator kejam yang siap menghempas siapa pun jika berani membicarakannya. Sayangnya ketiga perempuan itu lupa kalau Deborah selalu datang pagi sehingga kesialan datang pada mereka. Deborah melewati tiap meja yang diberi batas dengan bilik. Tak ada satu pun yang berani menatap apalagi memandanginya. Deborah termasuk tipe-tipe perempuan yang paling menakutkan lebih dari hantu. Iya, takut perempuan itu mengeluarkan kalimat kejam 'saya pecat'. Rasanya menyakitkan jika mendengar mulut seenak hati itu. Jennie–asisten sekaligus tangan kanan Deborah berjalan mendekat sambil membawa catatan yang ada pada tangannya. Jennie terus mengejar langkah Deborah sambil memberitahu jadwalnya. "Miss William, hari ini ada jadwal meeting dengan Mr. Lee. Sekitar–” "Batalkan. Bilang saja di undur besok," potong Deborah cepat. Jennie mencatat apa yang Deborah katakan. "Baiklah, Miss." "Tolong cari tiga pegawai baru. Jangan perempuan. Cari yang laki-laki saja. Berikan uang gaji Kayla, Scarlet dan Jessica. Mereka sudah saya pecat." Jennie terkejut. Bukan perkara mendengar ketiga nama perempuan yang bergosip tadi, melainkan sudah ke-sepuluh kalinya dalam dua minggu terakhir Deborah memecat orang. Selain itu, pekerjaannya dengan sang kepala HRD (Human Resource Development) menumpuk karena kejadian pemecatan seenak hati Deborah. "Baik, Miss," balas Jennie menurut. Deborah sudah memasuki ruangannya sementara Jennie langsung menjalankan apa yang bosnya perintahkan. Semua karyawan di luar sana tak ada yang berani membicarakan perempuan itu lagi. Rasanya insiden pemecatan sudah menjadi hal yang paling menyeramkan bagi mereka. Semua karier mereka bisa hancur sehancur hancurnya jika berani melawan, apalagi melakukan kesalahan fatal. * * * * * 02.00 AM Deborah menghela napas mengetahui dirinya baru pulang sepagi ini. Dia baru saja pulang dari hangout bersama ketiga sahabatnya. Dia membuka pintu apartemen–satu-satunya persinggahan yang dia kunjungi untuk beristirahat selama hari penuh kesibukan. Pada hari libur seperti Sabtu dan Minggu, dia memilih pulang ke mansion mewah pemberian ayahnya. Deborah membuka sepatu heels-nya di dekat pintu masuk. Dia lihat ada sepatu laki-laki yang tergeletak di atas rak sepatu. Perlahan dia mulai melangkah masuk menuju kamarnya. Betapa terkejutnya Deborah mendapati sesosok laki-laki tampan sedang duduk di tepi tempat tidur sambil bertelanjang d**a. Dia tidak mengenal laki-laki itu. "Who are you? Bagaimana caramu masuk?" tanya Deborah penasaran. "Aku pengganti Brad," jawabnya singkat. "Ke mana Brad? Aku tidak menginginkan orang baru." Deborah mengaduk isi tasnya guna mencari ponsel yang terselip. "Brad berhenti. Agen yang menyuruhku untuk menggantikannya." Laki-laki itu berdiri dari tepi tempat tidur kemudian menghampiri Deborah. "Aku akan menghubungi agen sebentar. Aku tidak memercayaimu. Bagaimana bisa Brad berhenti begitu saja? Ini aneh!" Akhirnya Deborah dapat meraih ponselnya. Dia segera keluar dari kamar untuk menghubungi agen yang biasa menjadi langganannya. Semua sahabat Deborah tahu kalau dirinya sering memesan laki-laki bayaran sejak lima tahun lalu. Biar bagaimana pun Deborah juga ingin memiliki teman tidur setiap malam namun tidak terikat dalam sebuah hubungan yang terlalu rumit. Brad adalah laki-laki bayaran yang sudah lama menjadi teman tidur sekaligus pemuas nafsunya tiap malam. Meski Deborah senang memesan laki-laki bayaran tapi dia hanya setia pada Brad. Dia berani membayar agen dengan harga yang lebih tinggi semata-mata menginginkan Brad untuk b********h dengannya saja. Tidak terpikirkan olehnya Brad akan pergi tanpa pamit. Setelah menanyakan kebenaran mengenai kehadiran laki-laki baru, Deborah menghela napas. Pantas saja laki-laki baru itu bisa masuk ke dalam apartemennya. Ternyata memang dia–pengganti Brad. Secara otomatis Brad harus memberitahu kode kamar apartemennya pada laki-laki baru. Deborah mengerti jika suatu saat Brad akan meninggalkan pekerjaannya, namun tidak dengan cara yang mendadak begini. "Kau sudah dengar 'kan? Aku tidak berbohong." Laki-laki itu sudah berdiri di belakangnya. Dia menyilangkan kedua tangan di depan d**a bidang yang menggoda mata. "Iya. Tetapi aku tidak tertarik dengan siapapun selain Brad. Aku tidak ingin melakukannya selain dengan dia. Kau boleh pergi sekarang. Silahkan ambil bayaranmu dan tidak perlu kembali lagi." Deborah menyerahkan sebuah amplop cokelat berisi setumpuk uang di dalamnya pada telapak tangan laki-laki itu. Setelahnya, Deborah berjalan menjauh menuju dapur. Dia mengambil cangkir di atas lemari yang cukup tinggi sehingga rok yang dia kenakan ikut naik. Tidak lama Deborah menaruh cangkirnya di bawah mesin pembuat kopi instan. Dia berjalan menuju ruang tamu. Diam-diam laki-laki baru itu terus mengikutinya namun tanpa terduga, laki-laki itu  memeluk Deborah dari belakang. Tentu Deborah terkesiap dengan aksinya. "Hey! What are you doing?!" Deborah berusaha melepaskan pelukannya, sayang tenaga laki-laki itu lebih kuat dari dugaannya. Laki-laki itu membalik tubuh Deborah hingga menghadapnya. Dia mendorong Deborah sampai terhimpit pada tembok. Tatapan intens dari kedua bola mata biru muda miliknya membuat Deborah tak mampu berkutik. Rasanya tatapan mata itu seperti menelanjanginya. "Aku tidak suka mendapat bayaran jika belum memuaskan klienku, Miss ... hm ... Deborah." Suara bariton bagai lullaby itu membuat Deborah tercengang. Tangan kanan Deborah yang bebas, mengayun sempurna menuju wajah laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu hanya menyeringai ketika mendapati tamparan yang semakin membuatnya ingin menggoda Deborah. Tanpa aba-aba, dia memegang kedua sisi wajah Deborah. Dia mencium paksa Deborah yang menutup bibirnya rapat-rapat. Laki-laki itu tak kehabisan akal. Dia menggigit bibir bawah Deborah hingga membuat perempuan itu membuka mulutnya karena meringis kesakitan. Kesempatan ini dia gunakan untuk menciumnya, memasukan lidah ke dalam rongga mulut dan menjelajahi tiap baris gigi perempuan itu. Deborah ingin mendorong tubuh laki-laki itu namun hasratnya berkata lain. Hal ini berhasil membuat Deborah hampir kehilangan akal sehatnya. Sialnya dia menginginkan hal yang lebih dari sekadar ciuman terpaksa. Oh s**t! Deborah mulai membalas ciumannya. Saliva mereka bertukar. Laki-laki itu menyadari cengkeraman Deborah pada punggungnya agar lebih mendekatkan diri padanya. Saat itu juga, laki-laki itu menyisipkan senyum di sela ciuman mereka. Detik berikutnya dia menarik diri. Deborah nyaris saja protes jika tidak ingat kalau dia tergoda karena paksaan laki-laki itu. "Permainan kita cukup sampai disini dulu. Sampai bertemu besok, Miss Deborah." Senyum laki-laki itu terlihat benar-benar memesona hingga membuat Deborah terperangah. "By the way, my name is Willem. Don't forget about that," ujarnya sembari memakai baju yang ternyata sudah dia taruh di atas kitchen bar. Deborah masih tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Dia terpaku meratapi kepergian Willem. Oh ... God ... what I've done before?! Setelah keluar dari kamar apartemen, Willem tersenyum tipis. Lihat saja, aku akan menaklukan hatimu, Deborah. * * * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD