Axel belum bertemu Summer sama sekali, semenjak kepulangannya dari Hawai. Gadis itu memutuskan pulang lebih dulu tanpa memberitahu dirinya terlebih dahulu. Hingga kini juga, Summer tidak pernah membalas pesan yang Axel kirim, maupun menjawab teleponnya. Axel tidak tahu apa yang terjadi, dan setiap ia menanyakan pendapat Damian mengenai hal ini, Damian akan mencelanya habis-habisan, mengatakan Axel adalah seorang pengecut.
Axel tahu yang harus ia lakukan hanyalah pergi ke rumah Summer. Gadis itu tidak akan bisa menghindarinya lagi nanti. Tapi, yang jadi permasalahan utamanya adalah Phoebe benar-benar menghalangi keinginan Axel untuk menemui Summer.
Dua hari yang lalu saat Axel sedang dalam perjalanan menuju rumah Summer, ia berpapasan dengan Phoebe dan wanita itu langsung mencegatnya di tengah jalan. Phoebe membelokkan setir mobilnya tajam, melintang tepat di muara jalan menuju rumah Summer sehingga Axel tidak bisa melewati jalan itu.
Berharap bisa memikirkan jalan keluar yang bagus untuk memecahkan persoalannya, Axel memutuskan untuk pergi ke pantai. Sekarang ia berada di Main Beach, East Hampton. Tentu saja dia tidak mengendarai motornya untuk pergi ke sini. Damian berhasil membujuk Axel memakai mobilnya, dengan memakai ancaman ‘penarikan paksa’ terhadap uang sakunya selama sebulan. Kalau sudah begitu, bukankah Axel tidak memiliki pilihan lain selain menuruti Damian?
Beranjak menjejaki hamparan pasir, Axel menghirup udara dalam-dalam memenuhi paru-parunya. Meskipun pikirannya tidak lepas dari Summer, ia merasa senang tubuhnya bisa merasakan rileks. Saat berada di Hawai, Axel tidak begitu menikmati liburannya. Tidak, setelah Summer menghindarinya, dan akhirnya memutuskan pulang lebih dulu secara diam-diam.
Rasa kesal yang mendesak keluar saat memikirkan bagaimana kerasnya gadis itu menghindarinya, membuat Axel tanpa sadar berteriak keras. Beberapa orang yang berlalu di sekitarnya sempat mengeluarkan umpatan padanya, karena teriakannya yang mengagetkan itu.
Axel tidak peduli. Lagipula, sepertinya tidak ada orang yang mengenalnya di sini—
“Hei! Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini.”
Axel menoleh ke belakang. Di dalam hati, ia mengutuki ketidak beruntungannya sendiri.
“Steve?” Axel tidak berniat menunjukkan wajah ramah sama sekali pada pria itu. Meskipun saat itu urusan mereka sudah diselesaikan dengan baik. Axel tidak pernah bisa menemukan alasan ia harus bersikap sedikit baik pada laki-laki di hadapannya ini.
“Kau sendirian?” tanya Steve.
Axel mengangkat kedua bahunya. “Yeah. Begitulah. Kau?”
Steve mengangkat alisnya, seraya menggerakkan kepalanya ke kiri. Pria itu menggiring bola mata Axel ke satu tempat. Di sana, tiga orang wanita berbikini sedang berbaring santai di bawah payung pantai.
“Kau ingin bergabung? Ini akan sangat menyenangkan.” Steve sama sekali tidak terdengar seperti berbasa-basi. Sayangnya, Axel sedang tidak ingin bersenang-senang terlalu berlebihan hari ini.
“Trims. Tapi, aku sedang menikmati waktu ku sendiri.”
“Oh...” Steve menunjukkan raut wajah kecewa yang sedikit dilebih-lebihkan. “Sayang sekali...apa kau sedang terburu-buru?”
“Tidak.” Axel menggeleng. “Aku baru saja sampai.”
“Kalau begitu aku akan menraktirmu minuman. Jangan tolak yang satu ini.” Steve mengerling.
Sebenarnya, Axel bermaksud menolak undangan minum Steve padanya. Tapi, ia tidak menemukan alasan yang bagus untuk menolak undangan minum bersama itu. “Baiklah, satu minuman saja.”
“Oke. Satu minuman saja.” Steve mengulangi. “Di depan sana ada kedai minuman kecil. Tidak begitu ramai, tapi aku sering ke sana.”
Axel mengangguk-anggukan kepalanya, memilih untuk tidak menimpali kata-kata Steve.
Mencoba membuka pembicaraan lain, Steve kembali membuka suara. “Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Summer?”
Axel memperlambat langkahnya. Sekarang posisi Steve yang sempat tertinggal di belakang, menjadi berdampingan dengannya. “Dari semua pembicaraan yang bisa kau mulai, kenapa kau harus menanyakan tentang dia?”
“Aku tidak bermaksud tidak sopan, atau membuatmu jadi tidak nyaman. I can’t help it, you know? Jujur saja, aku memang sedikit penasaran dengan hubungan kalian berdua. Anggap saja apa yang kutanyakan padamu itu, sebuah perasaan yang masih tersisa dari seseorang terhadap mantan kekasihnya.”
Axel tertawa sinis. “Kau terlalu sensitif. Sebagai seorang laki-laki seharusnya kau tidak mengatakan itu, Steve.”
“Aku tahu. Tapi, semua orang memiliki titik sensitifnya di beberapa hal yang berbeda. Aku cukup peduli dengan kehidupan mantan kekasihku setelah kami berpisah. Apalagi...jika gadis itu menorehkan luka yang dalam saat meninggalkanku.”
Axel memandangi Steve, sebelah alisnya menukik tajam. “Kau ingin bilang—Summer menyakitimu?”
Steve tersenyum penuh arti.
“Kalaupun memang dia menyakitimu, itu bukan urusanku untuk mendengarnya, Steve. Lagipula dalam setiap hubungan yang berakhir, selalu ada yang tersakiti. Hanya saja, aku tidak akan percaya kalau kau mengklaim sebagai seseorang yang mendapatkan peran ‘disakiti’, Steve.”
“Jangan melihat aku yang sekarang.” Steve menyahut. “Aku sedang tidak mengada-ngada. Aku hanya mencoba memperingatkan sebagai laki-laki yang kasihan terhadap sesamanya.”
“Apa maksudmu?”
“Tentu saja ini tentang Summer, bukan?” Steve menghentikan langkahnya. Jarak dari tempat mereka berdiri sekarang masih sangat jauh untuk sampai ke kedai yang mereka tuju. Namun, tampaknya mereka berdua tidak akan repot-repot berjalan lebih jauh lagi.
“Semua orang yang melihat Summer akan berpikiran sama denganku saat pertama kali melihatnya; gadis manis yang ramah, menyenangkan, cerdas, dan baik hati. Ia terlihat begitu polos untuk perempuan seumurannya. Aku tidak tahu apakah kau sempat menilai sosoknya demikian, but if you did...aku sangat memahami itu—sampai akhirnya kami berhubungan lebih dekat dan mencapai tahapan spesial, dimana status pertemanan kami berubah menjadi berpacaran. Ku kira hubungan itu akan bertahan lama, aku tetap menyayanginya meskipun banyak rumor jelek tentang dirinya.”
Steve merasakan ketertarikan Axel yang begitu besar terhadap ceritanya.
“Setelah mati-matian bertahan dari segala berita buruk tentang Summer, aku dihadapkan pada kenyataan. Rasanya seperti kepalamu terbentur begitu keras, dan kau dipaksa untuk menelan bulat-bulat semua fakta yang selama ini telah kau tepis mati-matian. Apa kau bisa menebak inti ceritaku?” Steve menyeringai.
“Aku tidak peduli bagaimana kuatnya kenyataan itu menghantammu, Steve.”
Steve menepuk pundak Axel, pelan namun tegas. “Jauhi dia sebelum kau jatuh lebih dalam dari kedalaman yang kucapai saat aku mencintainya. Penampilan bisa menipu. Dia memang terlihat seperti tipikal seorang gadis baik-baik yang mendamba cinta penuh ketulusan. Seseorang yang akan selalu menjunjung tinggi nilai kesetiaan dalam sebuah hubungan asmara. Kenyataannya, dia tidak sebaik itu—kau tahu apa alasannya meninggalkanku?”
Axel merasakan firasat buruk jika ia membiarkan Steve melanjutkan kalimatnya. Tapi rasa penasarannya lebih besar dari itu.
“Dia meninggalkanku karena jatuh cinta pada orang lain.”
***
“Kenapa gelap sekali?” Damian mulai menyalakan satu persatu lampu di ruang tengah apartemennya. “Di luar sudah sangat gelap dan kau membuat apartemenku terasa lumayan mencekam barusan. Aku hampir salah mengira dirimu sebagai penampakan.”
“Maafkan aku, Damian. Rasanya malas sekali untuk beranjak dari sofa ini dan menyalakan lampu satu persatu. Kau menyukai kencanmu dengan Phoebe?”
“Ba-bagaimana kau tahu aku kencan dengannya?”
“Yah...itu sangat mudah ditebak. Aku pulang mendapati apartemen dalam keadaan kosong, menemukan memo darimu di atas kitchen island yang mengatakan kalau kau akan pulang terlambat—dan lagi, kau bersiul-siul.”
Damian tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang merona.
“Hentikan itu, Damian. Laki-laki tidak seharusnya tersipu seperti perempuan.”
“Hei, ada yang salah dengan itu?” Damian merasa tersinggung.
“Tidak tahu...yang jelas, aku hanya sedang ingin menyalahkanmu.”
Damian menangkap sikap Axel yang berbeda. Pemuda berambut pirang kecoklatan itu seperti memendam banyak hal di dalam pikirannya. Tidak biasanya ia menunjukkan raut wajah yang begitu kaku. Bahkan, sorot matanya terlihat tidak bersemangat dan tidak fokus.
“Kau bisa menceritakannya padaku,” seloroh Damian. “Kau selalu meminta pendapatku akhir-akhir ini.”
Axel mengangkat kedua bahunya dengan fasih. “Lalu mendapatkan cemoohan darimu yang mengatai aku pengecut?”
Damian terkekeh. “Aku hanya sedikit membalas apa yang biasa kau katakan padaku setelah mengetahui perasaanku pada Phoebe.”
Axel berpikir sejenak. “Yah...” katanya, memulai pembicaraan. “Hari ini aku pergi ke pantai dan bertemu dengan seseorang yang tidak kuharapkan.”
“Mantan pacarmu?”
“Bukan.” Axel menggeleng. “Bagaimana bisa kau berpacaran dengan laki-laki?—namanya Steve. Aku mengenalnya di kampus. Dia adalah salah satu mantan pacar Summer.”
“Salah satu katamu? Ku kira gadis itu...”
“Aku juga mengira hal yang sama, Damian. Meskipun aku tidak ingin mempercayainya, tapi laki-laki itu berbicara dengan nada yang meyakinkan.”
“Menurutku, seharusnya kau tidak segampang itu mempercayai kata-kata—siapa tadi namanya?” Damian memiringkan kepalanya, berusaha mengingat. “Ah..Steve.” Ia menepukkan kedua tangannya, saat berhasil mengingat nama Steve.
“Kau menjadi begitu senang hanya karena berhasil mengingat namanya? Aku jadi ragu dengan orientasimu.”
“Hentikan, Axel.” Damian merasa jengkel sekaligus lega, melihat ekspresi sepupunya yang terlihat lebih santai dari sebelumnya. “Kembali pada topik pembicaraan kita...” Damian berdehem, “...kau bisa menanyakannya langsung sebelum kesalah pahaman yang bercokol di kepalamu itu semakin luas.”
“Aku tahu. Aku harus menanyakannya langsung. Tapi...” Axel berhenti sejenak. “Tiba-tiba aku benar-benar merasa seperti seorang pengecut. Bagaimana kalau apa yang dikatakan Steve tentang Summer itu benar?”
“Kalaupun itu benar, maka cerita pemuda itu hanya sebuah masa lalu bagi Summer. Siapa yang tahu gadis itu sudah berubah? Aku bisa melihatnya dari cara ia memandangmu. Tatapannya itu tidak terlihat seperti seseorang yang akan dengan mudah berpaling begitu saja. Dia mencintaimu! Ayolah...sampai kapan kau akan berpura-pura tidak tahu? Kau juga memiliki perasaan yang sama!”
Axel melirik ke arah Damian. “Kau pikir menyatakan cinta pada seseorang itu semudah membalikkan telapak tangan?” desis Axel.
Damian menggeleng. “Tentu saja tidak. Kalau itu sangat gampang, sudah sejak lama aku melamar Phoebe untuk kujadikan istriku.”
“Entah kenapa kau sangat menyebalkan hari ini.” Axel berdecak kesal, seraya beranjak dari sofa. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, Axel berlalu melewati Damian, menuju kamarnya.
“Kau mau kemana?”
“Ke kamarku. Terlalu banyak yang kupikirkan membuat kepalaku terasa pening.” Axel melambaikan tangannya, dengan punggungnya menghadap Damian. “Jangan bangunkan aku terlalu pagi, Damian. Kau tidak akan suka menghadapiku yang seorang Axel Kennedy yang kurang tidur.”