Damian sama sekali tidak menepati janjinya untuk tidak membangunkan Axel terlalu pagi. Tapi Axel tidak bisa memarahi Damian karena ini bukan sepenuhnya salah pemuda itu. Pagi-pagi tadi, ia kedatangan John dan Kenny. Dua sahabatnya saat masih sekolah di London dulu. Mereka sengaja datang ke New York tanpa memberitahukan rencana mereka terlebih dahulu pada Axel. Katanya, mereka ingin memberi kejutan pada Axel.
Tidak seperti biasanya. Alasan yang dikemukakan John dan Kenny entah kenapa terdengar begitu manis bagi Axel. Jadi, saat dua pemuda itu mengajak Axel pergi ke pantai, Axel sama sekali tidak menolak. Ia bahkan merayu Damian agar sepupunya itu bersedia meminjamkan mobilnya lagi untuk membawa kedua sahabatnya itu jalan-jalan selama tiga hari ke depan. Tentu saja itu akan merepotkan Damian, karena Axel berencana menginap di hotel bersama teman-temannya, jadi dia tidak akan pulang.
Satu hal yang Axel sesalkan adalah; kenapa sahabat-sahabatnya itu malah mengajaknya pergi ke pantai ini lagi?
Main beach? Setelah mendengar semua hal buruk tentang Summer dan betapa ia berusaha keras mengabaikan omongan Steve dalam waktu semalam? Lalu sekarang, dia berada di pantai yang membangkitkan ingatannya tentang hal yang benar-benar membuatnya menyesal setengah mati setelah mendengarnya.
“Ayolah...hubungi gadis-gadis mu. Kami butuh pesta, Dude. Bukan berkumpul layaknya laki-laki yang sudah melajang terlalu lama seperti ini.” John menunjuk dirinya sendiri. “Kau membuatku terlihat menyedihkan tanpa kehadiran gadis-gadis cantik pilihanmu.”
Axel memandangi John dengan tatapan mencemooh. “Kenapa kau tidak mencarinya sendiri? Oh...kau tidak percaya diri dengan kemampuanmu sendiri?”
“Woah....barusan kau membuatku ingin meninjumu right on your face.” John mendengus kesal. “Kalau begitu belikan kami minuman. Hari ini sangat panas. Kau tahu aku paling benci suhu menyengat.”
“Kalau begitu kenapa kalian mengajakku ke pantai?” Axel melepas kausnya, lalu melemparkannya pada John yang sedang berbaring di atas pasir. “Aku akan segera kembali.”
“Kau perlu kutemani?” tanya Kenny.
“Tidak. Lebih baik kau mengawasi pria malang itu.” Axel melayangkan pandangannya pada John yang sedang bersiul, menggoda sekumpulan gadis yang lewat di depannya.
Axel memutuskan untuk membeli satu paket minuman soda dingin untuk mereka bertiga di salah satu booth yang berjajar di tepian luar pantai. Ia sengaja memilih tempat yang tidak memiliki banyak antrian karena ia benci mengantri terlalu lama. Tersisa lima orang di antrian sebelum gilirannya.
Mengedarkan pandangannya ke sepanjang pantai, Axel berdoa semoga ia tidak bertemu siapapun yang tidak ia harapkan. Steve sudah lebih dari cukup untuk merusak harinya kemarin. Paling tidak, ia berharap bisa melewati hari ini dengan tenang. Menemani John dan Kenny membutuhkan tenaga dan kesabaran ekstra. Mereka adalah tipikal orang yang tidak bisa berdiam di satu tempat saja. Syukurlah, kedua sahabatnya itu terlihat menyukai pantai ini. Sepertinya, memutuskan menginap di hotel dekat sini adalah keputusan yang bagus.
“Axel?”
Axel memutar matanya, malas. Jangan lagi, pikirnya, berharap penuh itu bukan Steve.
“Ah...atau aku salah orang?”
Axel jauh lebih merasa beruntung saat mengetahui kalau orang yang memanggilnya ternyata adalah Dexter, laki-laki yang berbincang akrab dengan Summer waktu itu. Summer mengenalkan Dexter sebagai teman baiknya pada Axel.
“Syukurlah itu kau. Aku sungguh tidak berharap menemui orang itu lagi.” Axel menghembuskan napas lega, yang terdengar aneh bagi Dexter.
Mengernyit heran, Dexter berkata, “Aku tidak mengerti maksudmu...”
“Tidak perlu kau pikirkan.” Axel melipat kedua tangannya di depan dada. “Sedang berlibur, eh?”
“Begitulah—“ Dexter terlihat tidak yakin. “Sebenarnya aku sedang janjian dengan Phoebe di sini—aku yakin kau mengenalnya.”
Seketika raut wajah Axel berubah. “Apa Summer ikut bersamanya?”
Dexter menganggukkan kepala ragu-ragu. “Y-yeah...” jawabnya. “Aku tidak yakin apakah ini suatu hal yang tepat—memberitahukanmu kalau Summer akan datang ke sini karena...ah, sepertinya aku berbicara terlalu banyak.”
“Biasanya aku sangat membenci laki-laki yang tidak bisa menjaga mulutnya sendiri. Tapi, kali ini aku memutuskan untuk menyukai jenis laki-laki seperti itu.”
“Hei...aku sedikit tersinggung barusan.” Dexter tertawa. “Aku tidak seperti yang kau bayangkan—“
“Oke, mungkin kau memang tidak seperti yang kubayangkan. Kita tidak dekat satu sama lain, tapi bagaimana dengan Summer? kau dekat dengannya, kan?”
Dexter menghentikan tawanya. “Tiba-tiba aku merasa seperti seorang cenayang...kau ada masalah dengannya? Dengan Summer.”
“Aku tidak tahu apakah ini pantas disebut masalah atau bukan.” Axel perlahan memisahkan diri dari antrian, diikuti Dexter. “Tapi karena omongan si sialan itu, aku seperti merasa terbebani. Ah, aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku.”
“Lagi-lagi kau membuatku tidak mengerti, Axel.” Dexter menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Kita baru saja saling menyapa satu sama lain, dan kau bertingkah sedikit aneh—lalu tiba-tiba membawa nama Summer dalam pembicaraan kita yang sebenarnya tidak kurencanakan akan menjadi sepanjang ini.” Dexter menggeleng. “Mungkin seharusnya aku tidak menyapamu barusan. Berurusan denganmu mungkin bisa menjadi masalah untukku.”
“Bagiku, bertemu denganmu bisa jadi sebuah pertanda baik, Dex.” Axel menimpali. “Aku tidak bisa menanyakan hal ini langsung kepada Summer, dan kau sangat mengenalnya...jauh sebelum aku bertemu dengan gadis itu. Aku yakin kau bisa memberiku jawaban atas pertanyaanku.”
“Pertanyaan apa?” Dexter sama sekali tidak berusaha menutupi rasa penasarannya.
Axel memutuskan untuk tidak membuang waktu. “Kemarin, aku bertemu dengan seseorang yang—sedikit mengacaukan perasaanku.”
Dexter menunggu Axel melanjutkan ceritanya.
“Aku bertemu Steve. Kau mengenalnya, kan?”
“Tentu saja.” Dexter terlihat malas mendengar nama Steve. “Aku tidak pernah menyukainya. Saat Summer tiba-tiba berpacaran dengannya, tiada hari tanpa aku berdoa kepada Tuhan agar hubungan mereka segera berakhir.” Dexter terkekeh, setelah berceloteh kepada Axel layaknya melakukan sebuah pengakuan dosa.
Seakan teringat sesuatu, Dexter kehilangan tawanya begitu saja. “Apa laki-laki sialan itu mengatakan sesuatu padamu tentang Summer?”
“Dia bilang sesuatu tentang Summer yang meninggalkannya demi orang lain.”
“Dia bilang begitu?” Dexter memastikan.
Axel mengangguk. “Ya.”
“Sebenarnya akan lebih benar jika kau menanyakan ini kepada Summer. Aku tidak merasa ada di posisi yang tepat untuk menceritakan ini padamu,” ujar Dexter. “Aku tidak tahu sampai mana pembicaraanmu dengan Steve...yang jelas, sosok Summer yang kau dengar dari mulut pemuda menyebalkan itu, sudah tidak ada lagi. Apapun yang ia lakukan adalah bagian dari masa lalunya sebelum bertemu denganmu. Aku tidak akan membelanya meskipun ia teman dekatku. Bagaimanapun yang ia lakukan dulu adalah sesuatu yang salah, dan aku sendiri kewalahan untuk menasehatinya, apalagi Phoebe. Kakaknya itu bahkan tidak bisa melakukan apa-apa, dan hanya bertindak sebagai pelindung agar sifat jelek gadis itu tidak lantas menjerumuskannya ke hal-hal buruk.”
Penjelasan Dexter lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya.
“Meskipun begitu, dia tetaplah gadis yang baik. Aku yakin kau memiliki pandangan yang sama denganku tentang Summer.” Dexter menambahkan. “Dia memang belum menceritakan banyak hal padaku, tapi Phoebe sempat menyebut namamu dalam beberapa kali pembicaraan kami. Aku juga sempat mendengar banyak hal dari pembicaraan mereka yang sedikit menyinggung tentangmu jika kami sedang bepergian bertiga.”
“Tapi aku tidak bisa menyimpulkan apapun, kecuali kau memiliki perhatian lebih terhadap Summer. Aku tahu kau cemburu padaku saat kita pertama kali bertemu.” Dexter tertawa. “Jangan hilangkan rasa yang kau miliki itu, hanya karena sebuah alasan yang sebenarnya tidak memiliki arti apapun. Masa lalu memang tidak bisa kita pisahkan begitu saja dari kehidupan seseorang, tapi...kau bertemu dengan Summer di masa yang berbeda. Tidak menutup kemungkinan, kau adalah orang yang berhasil membuatnya menghilangkan sifat buruknya itu. Aku yakin, sifatnya yang mudah jatuh cinta pada orang lain dalam waktu singkat itu tidak ada apa-apanya dibanding kebiasaanmu yang senang bermain dengan banyak wanita. Saranku, hentikan itu kalau memang ingin memilikinya.”
Axel tidak tahu harus mengatakan apa untuk menimpali kata-kata Dexter yang lebih terdengar seperti sebuah nasehat padanya.
“Sebentar lagi Phoebe akan datang. Aku tidak ingin Summer melihatku bersamamu, dan menganggap kita bersekongkol. Itu hanya akan menyulitkan keadaanmu.” Dexter meninggalkan Axel kembali menuju antrian minuman, tanpa menunggu reaksi pria itu.
***
“Ayolah...ini tidak seperti dirimu yang biasanya menjadi orang pertama mencetuskan pesta.” Kenny menarik kedua tangan Axel, memaksa pria itu bangkit dari kasurnya.
“Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik.” Axel menimpali dengan ketus.
“Kau bercanda? Aku dan Kenny rela berjalan bermil-mil jauhnya untuk menemuimu, dan kau sama sekali tidak berniat menyenangkan kami?”
“Kau tidak benar-benar berjalan, John.” Axel mendengus. “Kau menaiki pesawat.”
Tidak ada yang senang dengan cara Axel menimpali setiap kata-kata mereka. Biarpun begitu, baik John maupun Kenny tidak terlihat akan mengurangi niat mereka untuk tetap memaksa Axel.
Melihat niat mereka yang sama sekali tidak goyah, Axel menjadi ragu-ragu. Menarik napas dalam, Axel melihat kedua sahabatnya itu bergantian. “Baiklah. Aku akan ikut dengan kalian. Tapi, jangan paksa aku untuk minum terlalu banyak, dan menyuruhku mencari mangsa untuk kalian. Kalian bisa melakukannya sendiri. Jangan libatkan aku.”
Sejenak, Axel merasakan sedikit penyesalan saat menyaksikan Kenny dan John bersorak. Kedua sahabatnya ini tidak pernah sungguh-sungguh dalam memegang janji, dan hanya akan memberikan kekacauan untuk dibereskan olehnya sendiri. Tapi, Axel juga tidak memungkiri kalau ia pun membutuhkan hiburan saat ini. Kenny dan John tidak akan tinggal lama, dan dia tidak tahu kapan mereka bisa bertemu lagi.
Menginjakkan kakinya keluar dari kamar. Axel berjalan di belakang Kenny dan John, menyusuri lorong hotel menuju lift. Kenny membicarakan tentang club yang baru saja dibuka di lantai paling atas hotel tempat mereka menginap sekarang. Dan keduanya terlihat antusias saat hingar-bingar musik club mulai terdengar, ketika mereka baru saja keluar dari lift.
Berbeda dengan kedua sahabatnya, Axel tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Ia justru merasa tidak nyaman, dan ingin kembali ke kamar hotel. Tapi, tidak mungkin ia kembali sekarang, kan?
“Nikmati malam ini, Axel.” Kenny menyenggol lengan Axel. “Seharian ini kau terlihat tidak baik—paling tidak, kalau kau tidak bisa menceritakannya, biarkan kami membuatmu melupakan apapun yang sedang kau pikirkan itu.”