“Bukankah aku sudah bilang? Jangan paksa aku minum terlalu banyak.” Axel mengernyit, merasakan pusing di kepalanya. “Aku sedang dalam keadaan tidak siap untuk meminum alkohol terlalu banyak,” lanjutnya.
“Kau baik-baik saja?” Kenny bertanya dengan berteriak. Ia tidak mendengar keluhan Axel sama sekali karena volume musik club yang sangat keras. Tapi, ia bisa tahu kalau sahabatnya sedang tidak begitu baik hanya dengan melihat raut wajahnya. Pertanyaan barusan tidak lebih dari sekedar basa-basi.
“Apakah aku terlihat baik-baik saja? Jangan menanyakan pertanyaan yang kau sudah tahu jawabannya, Sialan!” Axel berseru. Kali ini, Kenny bisa mendengarnya dengan jelas. Ia terdengar sangat marah.
“Paling tidak kau masih bisa berteriak dan menyebutku sialan,” timpal Kenny. “Kau mau kembali ke kamar?”
Axel tidak mempedulikan pertanyaan Kenny, dan memutuskan untuk meninggalkan pemuda berambut ikal itu di sofa, sendirian.
Saat melewati lantai dansa, Axel bisa melihat John dari kejauhan, tengah asyik menari dengan konyolnya di antara sekumpulan gadis. Tidak jauh dari John, melesat jauh ke belakang punggung pria itu, Axel menjatuhkan pandangannya pada seseorang yang sangat dikenalnya—Summer. Gadis itu mengenakan dress selutut berwarna merah marun, dan rambutnya diikat satu ke belakang. Summer terlihat sedang berbincang-bincang dengan Dexter, dan Phoebe juga ada di sana.
Bermaksud tidak ingin ketahuan, Axel mengalihkan pandangannya. Tapi, Dexter lebih dulu melihat ke arahnya, tanpa ia tahu.
Axel memutuskan untuk terus berjalan menuju pintu keluar tanpa menengok ke belakang. Ia ingin cepat-cepat keluar dari tempat itu, tapi melewati kerumunan manusia saat dirinya sendiri hampir kehilangan kesadaran benar-benar sulit.
Ketika ia merasakan tubuhnya akan limbung. Seseorang mengangkat lengannya, dan menahan berat tubuh Axel. Sejenak kesadaran pemuda itu kembali, saat mengetahui siapa orang yang berbaik hati menolongnya sekarang.
“Dex?” Axel menyempitkan pandangannya.
“Summer tidak akan suka melihatmu dalam keadaan seperti ini.”
***
“Kenapa Dexter lama sekali?” Phoebe melihat jam tangannya dengan gelisah. “Memangnya berapa banyak orang yang mengantri di dalam kamar mandi?”
“Ayolah, Kak...kau sungguh-sungguh berpikir dia sedang mengantri di kamar mandi untuk buang air kecil?” Summer menimpali. “Menurutku, sih, tidak.”
“Hentikan pikiran kotormu itu, Sum.” Phoebe berkata, tegas. “Sepertinya hari ini aku terlalu baik dengan membiarkanmu minum-minuman sialan ini.” Phoebe merampas botol bir yang tengah ditenggak Summer.
“Hei!” protes Summer. Tindakan Phoebe barusan membuat minumannya tumpah percuma. “Aku membelinya dengan uang sakuku sendiri.”
“Jangan lupa—kau mendapatkan uang sakumu dari uang gajiku, Sum,” balas Phoebe, tidak kalah sengit. “Kita bisa kembali ke kamar sekarang tanpa menunggu Dexter. Ini tidak seperti kita tinggal di kamar yang sama dengannya dan dia tidak akan bisa masuk kalau tidak memiliki kunci, kan?”
“Kau bisa pergi duluan. Aku masih ingin di sini.”
“Dan membiarkanmu dirayu para buaya? Oh...tentu saja tidak.” Phoebe menggoyangkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri, di depan mata Summer.
“Kau menyebalkan!” Summer merengek, saat Phoebe menarik tangannya-memaksa gadis itu mengikutinya keluar dari club.
“Kenapa kau tidak memberikan sedikit saja keringanan untukku malam ini?” tanya Summer, sambil mengusap-usap pergelangannya yang terasa sakit karena tekanan tangan Phoebe barusan. Mereka berdua sudah berada di lorong menuju lift.
“Untuk apa aku memberikan keringanan yang hanya akan membuatmu menghancurkan dirimu sendiri?” sergah Phoebe. “Bukan begini caranya untuk melupakan pria itu!”
“Apa maksudmu melupakan? Aku sedang tidak berusaha untuk melupakan siapapun.”
“Oh, ayolah, Sum. Aku ini kakakmu. Kau tidak bisa membohongiku. Aku tahu kau menangis diam-diam di kamarmu. Kau merasa tersiksa dengan perasaanmu, aku tahu! Aku tahu semuanya, Sum—dan itu sangat menyiksaku melihat dirimu yang seperti ini.”
Baru kali ini Summer melihat Phoebe berbicara terus terang. Biasanya, kakaknya ini hanya akan berbicara seperti itu di saat-sat tertentu saja, misalnya saat sedang mengejeknya, atau memarahinya. Apa yang Phoebe ucapkan padanya barusan, lebih terdengar seperti bentuk kekhawatiran daripada kemarahan.
“Aku tidak tahu kau memperhatikanku sampai sebegitunya.” Summer meringis, lalu mendapatkan jitakan keras dari Phoebe di dahinya.
“Dasar bodoh.” Phoebe menjepit kepala Summer di ketiaknya, sambil menarik gadis itu memasuki lift.
***
“Keberatan menceritakan darimana saja dirimu, Dexter?” Phoebe menyilangkan tangannya di depan dada. Wanita itu bersandar pada pintu kamar Dexter, yang bersebelahan dengan kamar yang ia tempati bersama Sumner.
“Aku mencari kalian, dan kata pelayan-pelayan di sana kalian sudah kembali sejak dua jam yang lalu.” Dexter terlihat kesal.
“Aku dan Summer menunggu hampir dua setengah jam di sana, Dex.” Summer bergeser, memberikan jalan untuk Dexter membuka pintu kamarnya. “Summer bilang, tidak mungkin kau menghabiskan waktu selama itu hanya untuk mengantri buang air kecil di kamar mandi—“ Phoebe menghentikan ucapannya, mengikuti Dexter masuk ke dalam kamar. Membiarkan pintu tetap terbuka lebar di belakangnya. “Tapi, aku tahu apa yang kau lakukan. Menolong pria itu? seharusnya kau tidak perlu melakukannya.”
“Kau melihatnya?”
“Tentu. Aku lebih dulu mengetahui keberadaannya dibanding dirimu, Dex. Kau pikir, apa alasanku mati-matian melarang Summer turun ke lantai dansa, meskipun kau akan ikut menemaninya?”
Dexter mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. “Pemuda itu terlalu banyak menenggak alkohol. Dan sepertinya, kondisi fisiknya sedang tidak bagus. Aku meninggalkannya dalam keadaan demam.”
“Suhu tubuh akan meningkat setelah kita minum minuman beralkohol, Dex.” Phoebe memutar matanya. “Jangan berusaha mempengaruhiku. Aku tidak akan memberitahukan keberadaan pria itu pada Summer.”
“Apa yang tidak ingin kau beritahukan kepadaku, Kak?”
Phoebe dan Dexter sama-sama terkejut melihat kehadiran Summer. Berusaha untuk terlihat biasa saja, Phoebe tetap mempertahankan nada suaranya agar terdengar normal saat bertanya, “Bukankah aku sudah menyuruhmu tidur?”
“Jangan alihkan pembicaraan, Kak.” Phoebe bersumpah ia bisa mendengar geraman menahan amarah dari kata-kata Summer padanya. “Axel ada di sini?”
“Apa pedulimu? Kemarin kau mati-matian menolak bertemu dengannya. Jangan membuat masalah semakin pelik, Sum. Aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiranmu.” Phoebe melempar kedua tangannya ke atas. “Jangan gunakan alasan ‘aku tidak pernah jatuh cinta sepertimu’ untuk menjawab pertanyaanku, Sum. I hate that.”
“Kalau begitu, kau ingin aku memberikanmu jawaban seperti apa?” Summer menaikkan nada suaranya, seolah menantang. “Aku tidak peduli lagi dengan pendapatmu, Kak. Aku akan mencarinya sekarang.” Summer meninggalkan kamar Dexter, tanpa mempedulikan teriakan Phoebe padanya yang menyuruhnya untuk kembali.
Bodohnya, Summer tidak tahu harus mulai darimana untuk mencari keberadaan Axel. Tidak mungkin ia bertanya pada Dexter tadi, sempatpun tidak—apalagi dengan adanya Phoebe di sana. Bisa dipastikan wanita itu akan melakukan sesuatu yang buruk untuk menghalangi keinginan Summer bertemu dengan Axel.
Bertemu.
Sampai beberapa menit yang lalu sebelum ia mendengar bahwa Axel juga berada di sini dan tengah terbaring lemah, Summer masih tetap pada pendiriannya untuk tidak bertemu dengan pria itu sampai ia benar-benar bisa melupakannya.
Tapi, perasaan cemas yang ia rasakan terhadap pria itu, telah mendobrak pintu yang selama ini menjadi penghalang bagi Summer untuk tetap memperjuangkan perasaannya.
Ini tidak seperti kisah cintanya yang selalu berakhir dengan situasi dimana ia jatuh cinta dengan pria lain. Perasaan yang Summer rasakan pada Axel nyatanya lebih kuat. Sekarang, ia menyesali tindakannya yang sempat menyerah begitu saja. Sejak kapan ia berubah menjadi seorang Summer yang pesimistik? Bukankah ia sudah bertekad dari awal untuk tidak akan berhenti bergerak sampai Axel membalas perasaannya?
Sekarang...hal pertama yang harus ia lakukan adalah berpikir, dimana ia bisa menemukan Axel. Ada banyak kamar di hotel ini. Bertanya pada resepsionis? Bagaimana kalau ternyata ia menggunakan nama orang lain untuk menginap di sini? Belum tentu dia datang ke sini, bisa saja bersama teman atau—astaga, Summer! singkirkan dugaan-dugaan negatifmu! Jangan membayangkan hal yang hanya akan menghalangimu untuk menemukan pria itu lebih cepat.
Akhirnya, Summer memutuskan untuk turun ke lantai satu, dan bertanya pada resepsionis. Meskipun sedikit terbata-bata saat mengajukan pertanyaannya, Summer berhasil mengetahui nomor kamar Axel. Kamar pemuda itu terletak di lantai lima, kamar nomor 502.
Dengan perasaan campur aduk, Summer bergegas menuju kamar Axel. Belum terlambat jika ia ingin mundur sekarang dan kembali ke kamarnya. Hanya saja, semakin ia memikirkan untuk menyerah, desakan keinginan bertemu dengan Axel terasa semakin kuat. Summer sempat berpikir, apakah ini waktu yang tepat untuk ia menyatakan cintanya pada Axel? Mungkin, jika pria itu mengetahui perasaannya, kesempatan untuk lebih dekat dan membuat pemuda itu membalas perasaannya akan semakin terbuka lebar.
Perjalanan menuju lantai lima terasa bagaikan satu kedipan mata bagi Summer, karena gadis itu terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Saat keluar dari lift, dan berbelok menuju lorong kanannya. Summer melihat Kenny dan John berdiri di depan kamar yang ia tuju.
Siapa mereka?, pikir Summer.
“Kau membutuhkan sesuatu?” tanya John, ketika melihat Summer berhenti di dekatnya.
“Aku mencari seseorang. Axel Kennedy, apa kalian mengenalnya? Seharusnya ia tinggal di kamar ini.”
John dan Kenny sama sekali tidak terkejut. Melihat satu atau dua orang perempuan mencari Axel, merupakan pemandangan yang biasa bagi mereka.
Kenny menyodorkan kunci kamar mereka pada Summer. “Kau bisa menemuinya sendiri,” katanya. “Kami belum mengecek keadaannya, tapi sepertinya mabuknya sedikit lebih parah.”
“Ku kira kalian baru saja masuk ke dalam.” Summer menimpali. “Aku baru saja akan bertanya bagaimana keadaannya dan kalian malah memberikanku ini.” Summer mengangkat kunci di tangannya.
“Sepertinya dia lebih senang diperiksa olehmu daripada kami.” Kenny menyengir. “Lagipula, si bodoh itu tidak akan mati hanya karena mabuk. Dia lebih kuat dari itu. Malam ini hanya salah satu dari malam-malam luar biasa dimana ia mudah sekali mabuk. Biasanya, ia tidak seperti ini. Mungkin penyebabnya, adalah alasan sama yang membuatnya bertingkah aneh seharian ini—omong-omong, aku Kenny, dan ini John.” Kenny melirik John yang berdiri di sampingnya.
“Kau bisa segera bergabung bersama kami di atas.” John merujuk pada club di atas atap, yang sudah Summer kunjungi bersama Dexter dan Phoebe.
“Trims. Tapi, aku baru saja dari sana.” Summer mengalihkan perhatiannya dari Kenny dan John, mulai memasukkan kunci yang diberikan Kenny padanya ke lubang pintu, sementara Kenny dan John perlahan menjauh mendekati lift.
Bersamaan dengan John dan Kenny yang masuk ke dalam lift, Summer melangkah masuk ke dalam kamar Axel.
Summer sudah menyangka, pria itu sama sekali tidak menyadari kehadirannya saat memasuki kamar. Dalam keadaan mabuk berat seseorang akan tertidur sangat pulas...hanya saja, Summer tidak menduga kalau perkiraannya yang membayangkan pria itu tergeletak lemah sendirian dalam keadaan mengkhawatirkan, meleset jauh.
Nyatanya, Axel tidak sendiri. Ada gadis lain yang ikut tertidur pulas di sampingnya.