Chapter 25. Siasat

1973 Words
“Friend! Aku mau nikah dua bulan lagi,” ungkap Aril sambil memeluk kedua sahabatnya dengan erat. Dia sampai mengucek-ngucek pipi di antara pipi kedua sahabatnya, Bara dan Arkian. Jelas baik Bara dan Arkian langsung berusaha mendorongnya. Raya yang melihat sampai pusing sendiri. Mereka sudah dewasa, tetapi kelakukan masih seperti bocah yang suka mandi di kali. Benar saja, apa yang dikhawatirkan terjadi. Kursi tempat Arkian dan Bara duduk terguling akibat Aril terus menindih kedua sahabatnya. Untung saja Bara dan Aril tak terbentur ke lantai. Sakit memang, tetapi rasa malu jauh lebih menyakitkan. Apalagi orang-orang di sana memperhatikan mereka dengan tatapan aneh. “Otak kamu ditaruh di mana!” omel Arkian sambil mendorong tubuh Aril. Yang dimarahi malah cekikikan. “Akhirnya Aril tidak jomlo lagi. Malah calon ayah mertua ngajakin aku ikut pengajian di masjid yang dia pimpin. Aku disuruh ngisi ceramah,” jelas Aril sambil berdiri. Dia tarik kursi di belakang dan duduk di sana. Bara dan Arkian pun ikut berdiri. Mereka sempatkan membersihkan kemeja masing-masing. Mereka menarik kursi hingga kembali berdiri tegak dan duduk di sana. “Senang sih boleh, jangan nyelakain orang juga! Bahaya ini kepala kebentur! Gimana kalau nanti harus masuk rumah sakit. Bukannya ke KUA malah masuk LP kamu, Ril!” Bara menggetok kepala sahabatnya itu. Aril malah cengengesan. Pria itu menatap Raya dengan penuh senyuman. “Tuh, Ra. Kalau jodoh enggak akan ke mana. Neng Sufi sudah aku ikhlasin sama siapa itu namanya?” “Gading?” tanya Raya. “Iya. Itu sama dia. Aku enggak enak kalau harus jadi orang ketiga di antara hubungan orang lain. Apalagi kalau aku yang datang paling akhir. Kesannya seperti aku ini bukan lelaki sejati. Karena lelaki sejati datang ketika dibutuhkan bukan ketika di tikungan,” celetuk Aril seperti biasanya tidak dapat mengendalikan mulut dengan baik. Pria itu memang terlihat sekali tengah berbunga-bunga seperti taman wisata Begonia di Lembang. “Eh, Salma tahu enggak kelakuan kamu kayak gimana? Takutnya kalau nanti nikah dia syok dan nangis selama seribu malam,” ledek Bara. Aril sampai mencubit lengan pria itu. “Bilang saja kamu ngiri. Teman kamu yang ini sudah sold out! Kamu? Cinta saja masih bertepuk sebelah tangan. Enggak ada suaranya.” Bisa saja Aril membalas ucapan Bara. Jelas kali ini Bara menunduk. Dia ambil gelas kopi dan menyeruput isinya. Raya memalingkan wajah ke luar jendela Arkian ambilkan sebuah pisang goreng. “Dek! Buka mulut!” panggil Arkian. Raya menghadap ke arah Arki. “Apa?” Tiba-tiba Arkian memasukkan pisang goreng ke mulut Raya. “Keburu abis sama Aril. Aku tahu kamu suka pisang goreng,” jelas pria itu. Raya menggigit pisang di mulut dan memegangnya. Gadis itu tersenyum dengan wajah merona. Bara simpan gelas kopi di atas meja. Dia lihat interaksi antara kedua orang itu. Wajah Bara mendadak berubah pucat. Keningnya berkerut. Aril bisa melihat perubahan ekspresi Bara itu. “Hujannya indah banget ya pas sudah ketemu sama jodoh,” komentar Aril. Raya melihat ke luar. Hujan semakin deras. “Kalau hujan gini jadi ingat waktu kita ospek kuliah dulu. Ingat, enggak?” tanya Raya. “Iya, waktu kamu ketiduran di bawah meja dosen dan Arkian nyariin kamu dikira hilang?” tanya Aril sambil tertawa puas. “Tahu nih anak! Bisa saja bikin orang lain khawatir. Kalau sampai hilang aku bisa kena amuk Bu Liris,” omel Arkian. “Ouh iya, kamu sudah ada tabungan nikah emang, Ril!” tanya Bara mengubah topik sebelum dia semakin tak nyaman posisinya. “Sudah, dong. Aku tuh sering menyisihkan uang buat nikah. Cuman satu yang enggak bisa aku lakukan, menyisihkan jodoh. Jadi ketika Allah kirimkan ke hadapanku, tentu aku harus terima dengan lapang.” “Tunggu, Ril! Bukannya yang menerima dengan lapang itu Salma. Kalau kamu jatuhnya menerima dengan keberuntungan. Aku yakin banget, kalau aku jadi Abinya Salma, sudah aku tolak kamu abis-abisan!” Arkian kini yang merajalela meledek sahabatnya. Saking senangnya dia sambil tos dengan Bara. “Terserah saja. Pokoknya kalian harus bantu aku ngurus pernikahanku. Terus Arki, mana calon yang mau dipilih lagi? Kali saja ada yang cocok sama Bara,” saran Aril. “Aku enggak niat cari istri sekarang,” tolak Bara. Dia tatap Raya dengan penuh pengharapan. “Orang bilang kalau cinta terus ditolak, artinya kamu harus nyari yang lainnya. Jangan suka memaksaan perasaan seseorang. Ya, Raya?” Aril langsung pada inti masalahnya. Raya tersenyum. “Semua akan ada waktunya. Waktu mencintai, waktu dicinta, waktu patah hati dan waktu melupakan. Hanya saja siapa orang yang terlibat dalam waktu itu enggak ada yang tahu,” ucap Raya dengan bijak. “Memang selamanya akan begitu? Maksud aku, apa enggak bisa satu saja celah yang dibuka untuk perasaan seseorang?” tanya Bara. Di sana suasana meja itu mendadak sedingin suhu di luar. Raya menunduk. Dia ambil napas panjang. Sedang Arkian menatap Bara dan Raya bersamaan. “Buat Raya, kalian itu kayak kakak Raya sendiri. Dan Raya inginnya seperti itu terus,” jawab Raya. “Begitu juga ke Aril dan ke Arkian, ‘kan?” tembak Bara membuat Raya mematung dengan bingung. “Kalau kamu anggap aku seperti seorang Kakak, begitu juga ke Aril dan Arkian. Kalau ke aku enggak bisa. Ke mereka berdua juga, ‘kan?” Aril menepuk bahu Bara. “Bar, jangan berlebihan gitu. Kita enggak tahu apa yang terjadi ke depannya.” “Iya,” jawab Raya walau hatinya menyesali itu. Aril jelas langsung tertegun saat itu juga. “Kalian itu seperti kakak buat, Raya.” “Iyalah. Kita asuh dia dari masih kecil. Masa dia mau anggap kita kayak pria lainnya? Kita semua sama di depan Raya, enggak ada yang paling istimewa. Iya ‘kan, Dek?” Arkian ikut bicara. Aril menepuk jidat. “Ini kalau perempuan pemalu suka sama laki-laki enggak peka. Kisah cintanya lebih rumit daripada film seribu season,” batin Aril. “Kalau gitu, aku terima kamu nolak aku. Cukup tahu aku memang enggak bisa maksain perasaan aku sama kamu,” ucap Bara. *** Yasmin melihat paket yang datang ke kantor hari itu. Dia mendata paket masuk yang akan dikirim oleh kurir dari cabang ini. Namun, matanya langsung terpaku pada sebuah nama, Arkian Nafees. Lekas Yasmin membuka media sosialnya. Di sana dia melakukan pencarian toko roti Arkian. Jelas di feed media itu tertulis kalau nama pemilik adalah Arkian Nafees. Yasmin mengecek lagi keterangan di paket. “Arkian Nafees, pemilik France Bakery,” batinnya. Saat itu senyum Yasmin terkembang. Alamat yang tertera di sana bukan alamat toko. “Pasti ini alamat rumahnya. Aku harus ke sana untuk melihat gimana kehidupan pria itu. Apa benar dia memang kaya raya?” pikir Yasmin. Wanita itu langsung menyimpan paket di dalam storage meja kerja agar mudah dia ambil nanti. Kemudian melanjutkan pekerjaannya. Waktu berlalu begitu cepat. Kurir datang dan mulai menghitung paket yang akan dia antar sore ini. “Kok ini kurang satu, ya?” tanya kurir terakhir. Hilda menatap Yasmin heran. “Masa, sih? Dari tadi dipastiin kok semuanya ada di sana. Enggak ada yang dipindah,” kilah Hilda. Yasmin berdiri. Dia ambil ponsel di meja. “Burhan, aku mau ngomong boleh?” pinta Yasmin. “Tapi aku mau antar paket dulu. Mana paketnya hilang satu ini? Bisa gawat kalau sampai Pak Aril tahu,” tolak Burhan. Yasmin tak mau menyerah. Dia tarik lengan Burhan ke gudang penyimpanan. “Kita cari di gudang saja,” alasan Yasmin. Sampai di gudang, Yasmin pastikan membawa Burhan ke tempat yang tidak terekam CCTV. “Ada apa, Yas? Biasanya kamu jual mahal sama aku?” tanya Burhan dengan kesal. “Aku minta maaf, ya? Aku memang salah sama kamu. Aku janji enggak akan ngulang lagi. Cuman, kali ini boleh aku minta bantuan sama kamu, enggak?” pinta Yasmin dengan nada manja. Dia sampai melingkarkan lengan di leher Burhan. Jelas wajah cantik dan ayu Yasmin mampu membuat hati Burhan berdebar. Apalagi sudah satu bulan Burhan jauh dari istrinya. “Nah, gini. Jangan jual mahal sama aku.” Burhan melingkarkan tangan di pinggang Yasmin. “Paket yang hilang itu, biar aku yang antar. Soalnya aku ada urusan sama yang punya. Jangan bilang sama Hilda, ya?” pinta Yasmin. “Kamu ada maunya baru saja mau sama aku,” keluh Burhan. Yasmin terpaksa mengorbankan bibirnya. Barulah Burhan mengangguk. Mereka tak lama keluar dari gudang. Hilda masih setia di depan komputer. “Gimana? Ketemu?” tanya Hilda dengan suara keras. “Ada, Hil. Ternyata ini mau dimasukin karung,” jawab Burhan. “Makanya cari dulu yang bener. Jadinya kita yang ada di sini bisa ketuduh!” omel Hilda. Setelah jam pulang. Yasmin buru-buru memasukkan paket ke dalam tas kerjanya. Dia langsung lari keluar kantor dan menaiki motornya. Yasmin begitu tak sabaran ingin melihat seorang Arkian yang memang di fotonya saja terlihat tampan dan gagah. Namun, kekayaannya jauh lebih membuat Yasmin penasaran. Karena tujuan dia adalah hidup dengan kemewahan lagi seperti dulu. Akhirnya Yasmin tiba di rumah yang berada di paling depan kompleks itu. Menepikan motor di sisi gerbang, Yasmin terpaku akan besarnya rumah dengan dua lantai tersebut. Yasmin turun dari motor dan menenteng paket di tangan. Dia pastikan merapikan rambut dan memakai lipstik serta bedak agar terlihat segar. Tak lupa disemprotkan parfum ke tubuh. Yasmin menekan bel di gerbang. Saat itu Arkian tengah berada di ruang tamu untuk melihat foto-foto wanita yang mendaftar dalam pencarian ibu tiri untuk Dikara. Mendengar suara bel, Arkian langsung berdiri. “Bi Nah! Biar aku saja yang buka pintu!” teriak Arkian. Pria itu melangkah ke pintu keluar. Dia melihat seorang wanita berdiri di luar gerbang. Arkian berlari kecil menuju gerbang itu. Mendengar langkah kaki, Yasmin langsung berbalik. Seketika kedua orang itu langsung bertemu. Yasmin tertegun melihat ketampanan Arkian, rahang tegasnya dan alisnya yang tebal. Sedang Arkian kaget melihat kemiripan Yasmin dengan mendiang istrinya. “Pak Arkian Nafees?” tanya Yasmin sambil tersenyum. “Iya,” jawab Arkian agak terbata-bata. “Saya Yasmin, kurir dari JND. Ini ada paket atas nama Pak Arkian Nafees,” jelas Yasmin. “Ouh, makasih banyak,” ucap Arkian. Dia ambil paketnya. “Maaf, Pak. Boleh saya minta fotonya? Untuk laporan,” izin Yasmin. “Boleh,” jawab Arkian masih dengan suara terbata-bata. Rasanya dia seperti melihat istrinya hidup kembali. “Sudah, Pak. Makasih banyak,” ucap Yasmin. Wanita itu menunduk dan lekas berjalan ke motornya. “Tunggu. Mbak Yasmin?” tanya Arkian. Yasmin berbalik. “Iya, Pak?” tanya Yasmin bingung. Dia tetap memasang senyuman. Yasmin memang memiliki daya tarik dari bibirnya yang tidak tipis dan lesung pipinya. “Karyawan di JND mana daerah ini? Kenal sama Aril, dong?” tanya Arkian. “Iya, Pak Aril itu atasan saya, Pak. Terakhir saya ketemu Pak Aril juga lagi nganter Teh Raya pulang. Kebetulan saya kos dekat rumah Teh Raya.” Arkian mengangguk-angguk. “Ouh, makasih banyak paketnya.” Arkian langsung menghentikan obrolan. Yasmin lekas pamitan dan menaiki motornya. Sedang Arkian melihat kepergian wanita itu. “Apa dia yang sempat Aril bilang, ya?” Arkian masuk ke dalam rumah. Sekali lagi pria itu berbalik. Mendadak jantungnya berdebar. Aril saat itu sedang mencari WO di salah satu aplikasi menonton video singkat. Dia kaget melihat kontak Arkian muncul. Lekas Aril angkat telpon itu. “Kenapa? Baru juga ketemu tadi, sudah nelpon saja! Kangen?” tanya Aril semena-mena. “Karyawan kamu yang mirip Laras itu namanya, Yasmin?” tanya Arkian. “Iya. Kenapa? Kamu tahu dari mana?” “Tadi di ke rumah nganterin paket,” jawab Arkian. “Ouh, dia memang rajin anaknya. Dia sering ngumpulin poin sambil kerja ekstra. Kenapa memang?” tanya Aril penasaran. “Dia sudah punya suami atau pacar?” tanya Arkian. “Bentar! Kamu tertarik sama dia, Ar?” tegur Aril. “Ya, aku cuman mau tahu saja dulu. Kalau memang dia baik, kenapa enggak coba?” “Aku coba tanyain sama dia nanti. Kalau sudah ada jawaban nanti aku kasih tahu kamu. Tapi ingat, pastiin dulu memang dia orangnya baik!” tegas Aril. “Kamu atasan dia, Ril. Pasti kamu tahu dia gimana sifatnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD