Chapter 12. Bukan Jodoh

1814 Words
"Kenapa?" Raya kaget melihat Dikara menangis dalam pangkuan Bi Nah. Lekas wanita itu meraih Dikara dan menggendongnya. Diusap rambut anak itu. "Dika marahin," jawab Dikara. "Wah, tadi Dika bilang dimarahin? Dimarahin?" tanya Raya. Dikara mengangguk sambil mengusap matanya. "Iya, dimarahin," timpal Dikara lagi. "Wah, Dika tadi bilang huruf R, loh. Sadar enggak?" tanya Raya. "Iyakah? Dika bilang huruf R?" Dikara mencoba perlahan saat mengucap kata dengan huruf R untuk memastikan jika dirinya benar bisa mengucapkan huruf itu. Raya Mengangguk. "Hore! Dika bisa bilang R." Dikara terlihat begitu senang. Senyumnya kembali terkembang walau hidungnya masih memerah dan matanya masih basah akibat menangis. "Selamat ya, Tuan Dika," ucap Bi Nah. Dikara mengangguk dan membalas uluran tangan Bi Nah. "Nanti Dika mau bilang sama Papa Arki." Lagi-lagi setiap bilang kata dengan huruf R Dikara memberi jeda agar bisa mengucapkannya dengan jelas. Banyak orang yang lewat saat itu untuk lari pagi. Suhu masih terasa segar hingga tubuh bersemangat untuk beraktivitas. "Anaknya Papa Arki hebat, ya. Sudah bisa bilang R. Sekarang sudah siap mau ke sekolah TK, ya? Sama siapa sekolahnya? Sama Kakak Rifal?" "Iya, sama kakak Empal. Sama Bu Guru Lasmi juga. Bu Guru Lasmi itu rumahnya dekat Dika. Tahu lapang yang Dika main bola sama Papa?" tanya Dikara. "Tahu, dong." "Ituloh, dekat lapang rumah Bu Lasmi," jelas Dika. Raya peluk erat anak itu. Dika kembali mengusap air matanya. Dia kembali ingat kalau tadi sedang menangis. "Ateu, tadi ada orang galak," adu Dikara. "Ouh ya? Kenapa galak?" Raya memancing anak itu untuk bercerita. "Dika buang sampah. Kena sepatu tantenya. Terus Dika dimarahin, Ateu," jawab Dika. Raya balikan tubuh Dikara agar menghadap ke arahnya. "Dengar. Tante punya sebuah cerita. Ada seorang anak kecil namanya Dudi. Dia punya buku yang sangat dia sayang. Buku itu dia bawa ke mana pun dia pergi. Suatu hari Dudi bawa buku itu ke sekolah. Di simpan bukunya di meja agar tak kotor. Tiba-tiba ada teman sekelas Dudi, namanya Banu membawa segelas es cokelat. Banu minum es itu sambil berjalan. Dan dia tersandung hingga tumpah ke buku Dudi. Menurut Dika, apa yang harus Dudi lakukan?" "Marahin Banunya," jawab Dika. "Kenapa?" "Banu minum sambil jalan. Terus buku Dudi jadi kotor." "Gimana marahinnya?" Dika berkacak pinggang. "Banu! Kalau minum duduk. Minta maaf, buku Dudi basah. Ganti!" tegas Dikara. "Boleh sambil membentak?" Raya memancing pemikiran Dikara. Anak itu menggeleng. "Bicara baik-baik. Kalau marah, nanti Banu takut. Banu nangis. Hatinya sedih," jawab Dika. "Benar. Terus Tante tadi sepatunya bagaimana?" "Kotor," jawab Dika. "Mungkin itu sepatu kesayangan Tante. Seperti Dudi yang bukunya jadi kotor." "Iya, juga, ya? Kasihan Tantenya. Pasti Tantenya sedih, marah juga. Tapi bentak bikin Dika takut." "Iya, Tantenya kurang tepat bentak Dika. Namun, Tante mungkin enggak marah kalau Dika enggak kotorin sepatunya. Apa Dika sudah bilang maaf?" Dika menggeleng. "Ayo kita cari Tantenya dan minta maaf, ya?" Raya mengembalikan mangkuk cuanki ke penjual. Dia menuntun Dikara keliling taman untuk mencari wanita yang Dikara maksud. Bi Nah mengikuti dari belakang. "Bi Nah, kalau lihat tolong kasih tahu Raya, ya?" pinta Raya. "Baik, Neng. Ini mau Bi Nah cari." Taman itu memiliki lintasan sendiri untuk pejalan kaki agar tak menginjak rumput yang ada. Mereka memperhatikan setiap orang yang lewat. "Tante! Itu Dino!" seru Dikara melihat replika Dinosaurus yang berada di depan taman. "Dinosaurus apa itu?" tanya Raya. "T-rex! Bunyinya Roar ... Roar ...." Dikara bisa meniru suara dinosaurus itu. "Waduh, Tante Raya sampai kaget. Bisa bilang R sampai niru suara T-rex saja mirip." "Iya! Keren!" Dikara memberi jempol untuk dirinya sendiri. "Kayaknya perempuan tadi sudah pergi, Neng. Lagian juga tadi Bi Nah sudah bilang maaf. Malah Bi Nah bersihin sepatunya. Dia tetap saja marah-marah. Bi Nah kaget, Neng. Kok ada orang kayak gitu," komentar Bi Nah. "Memangnya pas Bi Nah bersihin, sepatunya enggak bersih?" "Bersih, Neng. Malah enggak ada noda minyak. Kan itu cuman mayonaise. Tapi dia melotot dan bentak Bi Nah. Padahal Bi Nah sudah kelihatan sepuh begini." Wajah Bi Nah terlihat kecewa. Raya mengangguk. "Bi Nah yang sabar, ya? Mudah-mudahan dia bisa sadar kalau perilakunya salah. Masa orang tua dia bentak." Raya mengusap punggung Bi Nah. "Tante, telpon Papa, dong," pinta Dikara. "Nanti, ya. Papa masih ada urusan. Nanti kalau selesai, Papa duluan telpon kita, kok." "Oke!" Dikara berlari. Dia peluk patung Dinosaurus dengan erat. "Dika mau ketemu T-rex!" seru Dikara. "Tahu, enggak? Di depan sana ada museum, loh. Nah, kita kalau ke situ bisa ketemu sama beberapa gambar Dinosaurus," jelas Raya. "Museum itu apa?" Dikara memiringkan tubuhnya agar bisa melihat ke arah Raya. "Museum itu tempat menyimpan benda berharga milik negara. Biasanya itu benda dari zaman dulu atau benda yang harganya mahal sekali. Nah, itu untuk kita bisa belajar dan melihat itu langsung," jelas Raya. "Dika mau ke museum, Ateu!" pinta Dikara. Dia melepas kaki T-rex dan lari ke arah Tantenya. Dipegang tangan Raya dengan erat. "Kalau mau ke museum harus janji dulu sama Tante." "Janji apa?" tanya Dikara. "Janji enggak minta telpon Papa Arki. Gimana?" tawar Raya. "Janji, deh. Papa kerja, Dika enggak rewel. Harus baik. Harus .... Tapi Dika mau pipis dulu," pinta anak itu. "Iya, ayo!" Raya menuntun Dikara menuju toilet umum tempat dia pergi tadi. Toilet itu berada cukup jauh dari titik mereka berada. "Papa bilang kalau Dika mau pipis bilang. Ini bilang, ya?" "Iya. Hebat." "Nanti Dika kasih bintang, enggak?" "Memang Papa Arki suka kasih bintang?" "Suka. Bintang tempelin dinding. Papa Arki print pakek laptop," jawab anak itu dengan wajah yang bahagia. *** Arkian tiba di sebuah restoran tempat dia dan wanita pilihan ibunya bertemu. Nama wanita itu Yuli, seorang guru sekolah dasar yang memang seusia dengan Arkian. Masuk ke dalam restoran bertema modern itu, Arkian mencoba mencari wanita dengan kemeja putih dan duduk dekat dengan jendela. Wanita yang ia lihat mengenakan kacamata. Arkian hampiri wanita itu. Sebelum duduk di dekatnya Arkian pastikan itu memang orang yang dimaksud. "Maaf, apa ini Yulia?" tanya Arki. Wanita itu menaikan sebelah alis. "Bukan, Mas. Kalau mau kenalan bilang saja. Jangan sok kenal sok dekat, deh!" protes wanita itu. Arkian kini yang bingung sendiri. Padahal dia memang hanya sekadar ingin memastikan. "Maaf, Mbak. Saya ke sini sudah janjian dengan seseorang. Dia bilang mau datang pakai kemeja putih dan duduk di dekat jendela," jelas Arkian. Sayang wanita itu sudah terlalu percaya diri lebih dulu. Dia menyibak rambut. "Lelaki pinter ngarang, ya!" "Arkian Nafees?" tanya seseorang sambil menyentuh bahu Arki. Pria itu berbalik dan melihat seorang wanita dengan kemeja berlengan panjang dan celana pendek. "Aku Yulia. Maaf, tadi aku enggak dapat kursi di samping jendela. Jadi aku duduk di tengah," jelas Yulia. "Ouh, maaf. Aku pikir tadi kamu." Arkian berbalik. Dia menunduk di depan wanita berkacamata tadi. "Maaf, Mbak. Perempuan yang saya maksud sudah ada ternyata." Arkian berjalan mengikuti Yulia ke meja yang sudah Yulia siapkan. Sedang wanita tadi terlihat kesal, sebenarnya malu akibat terlalu percaya diri. "Mas Arki mau pesan apa?" tanya Yulia. Keduanya duduk saling berhadapan. "Mau lihat menu dulu." Arkian memanggil pelayan. Hampir seluruh perabotan di sini berbentuk persegi. Sudutnya lancip sehingga memperlihatkan dekorasi yang idealis. Bahkan lampu di langit-langit pun ditutupi bingkai persegi. Ruangannya semi minimalis dengan tema cat abu-abu. Sepadan dengan menu makanan di sana. "Ini saja ya, Mbak," ucap Arkia selesai memesan makanan. "Baik, Pak." Pelayan langsung meninggalkan keduanya. "Aku manggil Mas enggak apa ini?" Yulia memulai obrolan. Arki terkekeh. "Aku orang sunda, kok. Panggil Arki saja. Kita seumur, 'kan?" Kepala Yulia mengangguk. "Jadi kamu itu kerja di toko roti?" tanya Yulia. "Aku punya toko roti. Kebetulan dulu Papa suka biki roti. Papaku 'kan chef hotel berbintang. Beliau yang ajarkan aku bikin roti. Dan aku mulai jualan dari kuliah sampai punya toko sendiri," jawab Arkian. "Wah, kamu ternyata luar biasa, ya. Jarang loh ada anak muda mau merintis usaha sendiri. Kebanyakan malah memilih meneruskan usaha orang tua atau bekerja." "Makasih banyak. Yulia sendiri katanya guru SD?" Bibir Yulia yang mengenakan lipstick maroon tersenyum tipis. "Guru les. Aku enggak ngajar SD. Jurusanku memang pendidikan. Sudah coba tes PNS, tapi enggak lulus. Ya sudah, ngelamar ke lembaga les saja," jelas Yulia. Cara bicaranya memang asyik, ala anak muda zaman sekarang. "Ngajar anak usia berapa tahun?" tanya Arki. "Anak SMP dan SMA." Arkian mengangguk-angguk. "Kenapa enggak anak SD saja? Bukannya lulusan pendidikan SD?" "Duh enggak kuat. Satu saja enggak sanggup, apalagi kalau banyak." Arkian nyengir kuda. "Aku punya anak masih tiga tahun, loh. Apa enggak masalah kalau kamu ngasuh dia?" tanya Arkian. Yulia mengangguk. "Aku coba dulu ketemu anak kamu. Namanya juga belajar, enggak langsung bisa, 'kan?" "Iya, sih." Tak lama pelayan membawa makanan pesanan mereka. Keduanya langsung makan saat itu juga. "Istri kamu meninggal kenapa?" tanya Yulia. "Setelah melahirkan tekanan darahnya tak kunjung turun dan suhu tubuhnya juga. Dia sudah tak tahan mungkin. Ya begitulah," jawab Arkian lemas. "Kasihan. Terus kamu besarin anak kamu sendiri?" Arkian menarik gelas jusnya dan minum. "Iya, soalnya aku itu enggak mudah percaya sama orang dan takut ngerepotin mertua dan orang tua. Mertuaku, ibuku saja sudah menawarkan untuk mengasuh, tapi aku enggak tega. Mereka sudah sepuh, sudah membesarkan aku dan istriku. Masa masih merepotkan mereka." "Bagus, sih. Istri kamu sudah enggak ada. Baiknya mantan mertua kamu enggak ikut campur. Kalau enggak, pasti nanti rumah tangga kamu juga ikut dia atur," komentar Yulia yang membuat Arkian tertegun. "Benar, 'kan?" Untuk pertanyaan kali ini, Arkian tak mau menjawab. Pria itu hanya tersenyum tipis. Setelah itu tak ada obrolan di antara mereka. Makanan di piring telah habis. Arkian melihat jam di pergelangan tangannya. Benda berwarna hitam itu menunjukan pukul sebelas siang. "Aku mau jemput anakku dulu. Dia aku titipkan dengan Tantenya." "Tante siapa? Adik atau kakak kamu?" "Adikku. Dia adik angkat. Orang tuanya kerja di rumahku," jelas Arkian. "Ouh. Aku boleh ikut?" pinta Yulia. "Kayaknya lain kali, deh. Soalnya aku belum bilang soal ini sama anakku. Maaf, ya?" "Enggak apa. Santai saja," timpal Yulia. Arkia dan Yulia keluar restoran sama-sama. "Kamu ke sini naik apa?" tanya Arkian. Yulia menunjuk mobilnya yang merupakan mobil sedan mahal keluaran terbaru. "Aku bawa mobil sendiri," jawab wanita itu. "Hati-hati kalau gitu." Mereka berpisah di parkiran. Arkian mengeluarkan suara desahan kesal begitu dia naik ke dalam mobil. "Kalau sikapnya kayak gitu, dia bisa misahin Dika sama Mama Sofi. Lebih baik ketemu wanita satu lagi. Kelihatannya juga dia anak orang kaya sekali. Padahal guru les, tapi mobilnya mahal banget," keluh Arkian. Sebelum menyalakan mesin mobil, dia keluarkan ponsel di saku celana. Arkian telpon Raya. Butuh waktu lama Arkian menunggu gadis itu hingga telponnya diangkat. "Raya di mana? Aku jemput ke sana sekarang, ya?" tanya Arkian. Terdengar suara tawa Dikara di sana. "Aku ada di museum sama Dika dan Bi Nah, Kak. Museum Geologi," jawab Raya di seberang sana. "Ya sudah, Kak Arki jemput ke sana sekarang. Tunggu!" Arkian tutup telpon. Dia turunkan kaca mobil agar mudah mendengarkan instruksi tukang parkir. Pria itu memundurkan mobilnya lalu memutar kemudi ke arah kanan hingga mobil tepat berada di jalur kiri. "Makasih, Pak!" ucap Arki sambil memberi ongkos parkir dan tips. Kemudian mobil Arkian siap menjelajah jalanan kota demi menjemput putranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD