Chapter 13. Beda Rasa

1810 Words
"Dika nanti sana lagi, ah! Sama Papa Arki," ucap Dikara sambil melompat girang keluar gedung museum. "Papa Arki lagi di jalan mau jemput, kok. Kita tunggu di tangga depan pintu, yuk!" ajak Raya. "Yang ada hormat-hormatnya?" "Maksudnya upacara?" Raya memberi penegasan. "Benar! Itu!" Dikara memutar tubuhnya. Dia melangkah dengan pola zigzag. Tak banyak orang yang datang ke museum. Di depan pintu museum yang besar ada anak tangga menurun yang lebar. Di sana Raya, Dikara dan Bi Nah duduk. "Dika mau minum, Ateu," pinta Dikara. Raya membuka tas keperluan Dikara dan mengeluarkan botol minuman anak itu. Dia buka tutup botol dan memberikan pada Dika. Anak itu begitu lahap minum hingga terdengar suaranya. "Pelan-pelan," saran Raya. "Sudah. Alhamdulillah," ucap Dikara. Di luar pagar museum banyak bus yang antre. Itu bus pariwisata yang mengantar pengunjung ke sini. Dikara menunjuk sambil membilang satu per satu bus. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh! Ada tujuh bus. Itu kenapa banyak?" tanya Dikara. "Apanya?" "Busnya," jawab Dikara. "Lihat, banyak orang yang datang ke sini. Mereka datang dan pergi naik bus itu." "Kenapa enggak pakek mobil? Dika ke sini naik mobil." "Mobil enggak nampung banyak orang. Beda sama bus. Bus itu kursinya banyak sekali. Jadi semuanya bisa kebagian duduk. Kalau kebanyakan yang naik, terus sisanya naik di mana?" "Di atap mobil," jawab Dikara membuat Raya tertawa. "Itu bahaya, Ganteng. Kalau sampai duduk di atap mobil itu bahaya. Kita ini manusia 'kan, bukan Spiderman." "Kata Papa Spiderman itu film bikin-bikin." "Iya. Itu cuman film yang dibuat," jawab Raya. Bi Nah melihat ke sekitar. Tak lama dia langsung mengenali kemeja yang dipakai majikannya. "Tuan Arki sudah datang, Neng!" tunjuk Bi Nah ke arah gerbang parkir sebelah kanan dari arah mereka duduk. Arkian tengah berjalan sambil sedikit menyipitkan mata akibat cuacanya agak panas. Pria itu kemudian berlari pelan menghampiri. "Papa!" panggil Dikara sambil berdiri dan melambaikan tangan. Setelah Papanya jauh lebih dekat, Dikara lari dan memeluk Arkian. Arkian sendiri menggendong Dikara dan mencium pipi putranya dengan gemas. "Mau pulang, enggak?" tawar Arkian. "Mau main lagi! Dika mau lihat binatang, Pa," pinta Dikara. "Iya, Kak! Kebun binatang sekarang ada jerapahnya juga," timpal Raya. "Bi Nah mau pulang saja, Tuan. Sakit kaki ini banyak jalan. Biar naik angkot saja." Bi Nah ikut bicara. "Tuh, Bi Nah katanya sakit kaki. Kasihan Bi Nah. Mainnya nanti saja, ya?" saran Arkian. Dika manyun dan menggelengkan kepala. "Aku telpon Pak Parno suruh jemput pakai motor saja, ya? Bi Nah tunggu di sini dulu saja, ya?" Arkian lekas mengambil ponsel dari saku celana dan menelpon pembantu prianya. Cukup lama Pak Parno mengangkat telpon. "Ada apa, Tuan?" tanya Pak Parno dari seberang sana. "Pak, tolong jemput Bi Nah di Museum Geologi. Pakai motor saja. Bawa helm satu lagi jangan lupa. Aku mau bawa Dikara ke kebun binatang dulu," pinta Arkian. "Siap, Tuan. Bi Nah nunggu di mana?" "Di depan pintu saja. Pak Parno masukin motornya ke dalam saja. Nanti buat bayar parkir diganti uangnya." "Baik, Tuan." Selesai diskusi dengan Pak Parno, Arkian menutup telpon. Pria itu berikan uang pada Bi Nah. "Sambil nunggu, Bibi beli jajan dulu saja. Sekalian beliin Pak Parno. Takutnya aku pulang sore. Biar nanti makan di luar. Enggak usah masak, Bi." "Baik, Tuan." "Sekarang kita pergi ke kebun binatang, yuk!" ajak Arkian. "Dadah, Bibi!" Dikara melambaikan tangan dengan mata yang bekerlip saking senangnya. Raya mengikuti pria itu karena Dikara memegang tangan Raya. "Mau lihat monyet, ah!" seru Dikara. "Emang monyet kenapa?" tanya Arkian. "Habis monyetnya lucu. Kayak Papa," jawab Dikara. "Masa Papa disamain sama monyet. Kalau Papa mirip monyet, Dika juga, dong. Kan Papa sama Dika mirip." Arkian mencubit pipi Dikara dengan gemas. Anak itu tertawa. "Dika mirip Mama Laras, kok," kilah Dikara. "Eh, kamu sudah bisa bilang huruf R?" Arkian kaget mendengar anaknya menyebut nama Laras dengan lafal yang benar, meski masih patah-patah. Dikara menggerak-gerakan bola matanya ke sisi kanan dan kiri. "Kasih bintang, dong. 'Kan Dika makin pinter, Pa." "Sejak kapan bisa?" Arkian kembali bertanya. Dikara menatap Raya sambil mengedipkan sebelah matanya. "Ayo, mau main rahasiaan sama Papa?" "Tadi Dika nangis. Dimarahin orang," jawab Raya. "Kok?" "Nanti ceritanya di mobil, ya." Tanpa sadar mereka sudah tiba di dekat mobil. Arkian buka kunci mobil. Dika diturunkan agar duduk dengan Raya sementara Arkian duduk di kursi kemudi. Mobil Arkian mundur dan berbelok ke kiri kemudian digas maju setelah masuk ke lintasan. Mobil itu keluar lingkungan museum. Namun, harus sedikit memutar agar bisa mengarah ke kebun binatang. "Kenapa Dika dimarahin, Dek?" Raya langsung bercerita tentang peristiwanya. Arkian menahan amarah. Dia kesal mendengar putranya dimarahi seseorang, tetapi sadar putranya juga salah. "Nanti buang sampahnya masukin pelan-pelan dalam tong sampah, ya? Kita sudah sering latihan buang sampah, 'kan?" nasihat Arkian. "Kak Arki gimana kencan butanya? Sukses?" tanya Raya. "Rupanya dia enggak keibuan," jawab Arkian. "Kok bisa? Bukannya lulusan pendidikan SD? Aku saja belajar cara untuk asuh anak kecil." "Yang kuliah belum tentu ilmunya nempel kalau enggak praktek. Dia enggak ngajar SD, cuman les anak SMP dan SMA di Bimbel. Mana anak orang kaya lagi. Mobilnya saja kelihatan mahal." "Kenapa memang kalau anak orang kaya?" "Kamu enggak akan ngerti. Harga diri lelaki, Dek," jawab Arkian dengan suara lemas. Tangan Raya mengusap kepala Dikara. "Yah, Dikara gagal punya ibu baru, deh!" "Dika mau punya ibu baru?" tanya Dikara mendongak melihat wajah Raya. "Papa mau cari, tuh! Tapi belum ketemu juga. Kasian Papa, ya?" ledek Raya sambil cekikikan. "Kayak kamu enggak pernah gagal kencan buta saja, Dek. Padahal kamu paling sering gagal!" Bisa saja Arkian membalas ledekan Raya. *** Mobil Aril menepi di toko roti Arkian. Sudah sekian lama dia tak datang ke sana. Tiba di depan, Aril sempat mengeluarkan ponsel untuk mengecek pesan. Bara : titip roti cokelat, anterin ke kantor. Aril mendengus. "Ada saja teman kayak dia, sama-sama kerja malah nyuruh. Padahal aku lagi bolos ini." Aril mengembalikan ponsel dalam saku. Dia lekas naik ke teras toko dan mendorong pintu kaca toko roti itu. Aril celingukan. "Ini kok kayak ada yang beda. Apa, ya?" Seingat dia dulu meja kasir ada dekat pintu. Sekarang agak menjorok ke arah kiri dari arahnya. Ruko di samping toko roti Arkian beli lalu digabung. "Silakan masuk, Pak," sapa seorang pegawai. Saat itu juga mata Aril mendadak gemerlap. Wanita itu ayu dengan kulit cokelat manis layaknya kue dodol. Bibirnya merah seperti jambu bol dan matanya hitam seperti biji sirsak. "Ada yang bisa saya bantu?" tawar wanita itu. "Saya baru pertama kali ke sini, Mbak. Boleh jelasin satu per satu roti di sini?" Seperti biasa Aril pintar modus. "Ouh, baik. Silakan masuk." Aril mengikuti pegawai itu menuju rak paling kanan yang paling jauh dari meja kasir. Perempuan itu membawa keranjang. "Ini artisan bread. Dibuatnya dengan tangan baik untuk adonan hingga pencetakan." "Ada isinya?" tanya Aril. "Untuk di rak ini tidak ada, Pak." "Nama Mbaknya siapa?" Akhirnya Aril langsung mulai PDKT. Perempuan itu menatap Aril dengan heran hingga kedua ujung alisnya hampir menyatu di tengah. "Biar enak manggilnya. Pasti Mbaknya punya nama, 'kan?" "Saya Sufi, Pak." "Saya Aril. Bukan Ariel Noah, kok. Cuman Aril Britama. Namanya emang kayak tabungan bank negara, maklum ibu dulu pegawai bank itu," jelas Aril. Sufi tersenyum. "Ini orang kok lucu banget," batin Sufi. "Aku temannya Arkian. Tahu Raya? Nah, Raya itu sudah kayak adik sendiri. Kenal dari zaman masih sekolah soalnya," tambah Aril. "Iya, Raya itu asistennya Pak Arki." Sufi menunduk malu. "Raya kok enggak bilang kalau punya teman cantik, ya? Baru kerja di sini, 'kan? Soalnya baru lihat kamu, loh." "Sudah lama, Pak. Sejak Dikara masih bayi. Cuman saya biasa di dapur. Kali ini diminta urus di depan karena pegawai lagi ada yang cuti sakit," jelas Sufi. "Wouh, hidden gem," puji Aril lagi membuat Sufi semakin tersipu. "Tolong jelasin lagi satu per satu, dong. Soalnya aku beneran enggak ngerti banget beli roti. Namanya urang Bandung, jajannya nasi lagi ... nasi lagi. Enggak nasi, enggak kenyang. Mie saja pakai nasi." Sufi menjelaskan satu per satu roti yang ada di sana. Ujungnya Aril jadi membeli banyak roti hanya demi menarik perhatian Sufi. Tiba di dalam mobil Aril mengeluh karena lembaran uang di dompet habis. Apalagi ATMnya ikut terserap. "Si Arki pantesan cepet kaya. Jual roti mahal-mahal. Tahu gini aku juga jual aneka cilok pakek kemasan biar mahal. Tiap buletan dibungkus plastik," omelnya. Dia melirik ke spion depan. "Kalau beli dikit juga malu sama cewek cantik di dalam. Ah, mau minta Arki jodohin. Di mana lagi nemu berlian macam begitu. Mana suaranya halus kayak suara motor baru ganti oli dan isi bensin lagi." Di lain tempat Dikara tengah memberi makan jerapah. Anak itu terlihat senang memberi sebuah wortel pada binatang dengan leher panjang itu. "Kenapa jerapah lehernya panjang?" tanya Dikara. "Di tempat dia tinggal, jerapah makan daun di pohon yang tinggi sekali. Kalau lehernya enggak panjang, dia bisa kelaparan," jelas Arkian. "Emang enggak dikasih makan?" Dikara kira binatang dihutan dirawat persis binatang dalam kandang. "Enggak ada. Di sana jarang ada manusia tinggal. Apalagi binatangnya sangat banyak. Enggak akan cukup kasih makannya. Makanya harus bisa cari makan sendiri." Arkian turunkan Dikara. "Sekarang lihat singa, yuk!" ajak Raya. Dia dan Arki tuntun Dikara menuju kandang singa. Ada harimau, singa dan macam dalam kandang kaca besar dan berbaris. Binatang itu tertidur nyenyak. "Kok pada bobo?" "Kayaknya karena sudah kenyang makan dan main. Dika juga kalau kenyang tidur siang, 'kan?" Arkian mengetuk pagar pembatas. "Kalau singa mainnya apa? Bola juga?" "Main jalan-jalan di kandang sama air. Itu di kolamnya banyak ikan, 'kan?" timpal Raya. "Bosen, dong. Dika kasih mainan boleh?" "Masa dikasih mainan. Mereka enggak ngerti. Binatang itu pintar, tetapi tidak sepintar manusia. Mereka mainnya hanya sekitar itu saja. Kalau dikasih mainan, bisa mereka makan dan nanti bisa sakit singanya." Raya memeluk Dikara sambil duduk jongkok. "Kamu pegal, ya?" tanya Arkian menengok sedikit kaki Raya. "Iya, dari tadi banyak jalan. Padahal pakai flatshoes," jawab Raya. "Duduk dulu di kursi itu. Aku beliin kalian camilan, ya?" Arkian berlari meninggalkan Raya dan Dikara. Raya tuntun Dikara untuk duduk. "Ateu! Singa nguap!" tunjuk Dikara ke kandang singa. "Iya, nguap. Lucu, ya? Tapi mulut singa bahaya kalau dideketin." Tak lama Arki kembali membawa snack, air mineral, dan s**u kotak. "Ini. Bagiin!" seru Arkian. "Makasih, Papa." Dikara memilih biskuit hitam dengan selai s**u. Dia minta Raya membuka kemasan makanan itu. "Ada warung di mana?" tanya Raya. "Jauh di sana. Aku lari-lari ke sini, deh," jawab Arkian. Mereka sempat makan dan tak saling bicara sejenak. "Terus Kak Arki enggak masih ketemu pilihan yang lain?" tanya Raya. "Iya, masih ada satu lagi. Dia sih belum kerja. Seumur kamu, lah. Mudah-mudahan yang ini jauh lebih baik. Yang tadi juga baik, sih. Cuman belum pas jadi ibunya Dikara." "Hmm. Iya. Kak Laras lusa ulang tahun, ya?" Arkian melirik Raya lalu mematung. "Kak Arki lupa?" Raya menunjuk wajah pria itu. "Astaga! Untung kamu ingetin. Aku lusa enggak masuk kerja lagi, deh. Dikara aku bawa ke makam saja. Tolong jaga toko, ya? Ouh iya, gaji karyawan aku transfer ke kamu. Tolong bagiin, ya? Aku lebihin gaji kamu, deh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD