Dua

805 Words
Aku dipaksa duduk di jok kursi tengah bersama dengan Pak Reymond yang sering dipanggil Rey oleh para pria pengikutnya ini. Sedangkan Nathan, seseorang yang sejak tadi sibuk dengan jadwal, bahasan pekerjaan yang aku tidak paham, duduk di kursi penumpang samping sopir. Di belakang kami, ada satu bodyguard yang masih sangat muda, berkulit gelap dengan rambut ikal, usianya sekitar dua puluhan, dan mempunyai badan atletis serta otot yang besar-besar. Membuatku bergidik ngeri berada dalam satu mobil dengan empat lelaki berjas hitam dan menyeramkan ini. Hanya Nathan yang tidak terlalu menakutkan karena postur tubuhnya normal layaknya laki-laki lain, malah cenderung agak kurus. Rey sudah melepaskanku pintu terkunci dan mobil mulai berjalan. "Turun! Turunin gak! Kalian orang-orang kaya terhormat berwibawa, gak ada cara yang lebih berkelas lagi apa, buat culik saya?" Aku tadi sempat sedikit memberontak dan memberikan cakaran pada punggung tangan Rey saat ia memaksaku masuk mobil. Biar tahu rasa! Sebenarnya, aku takut jika terlalu berlebihan memberontak, ternyata mereka akan gelap mata dan melakukan tindakan yang.. 'Gak gak, gue harus cari cara untuk melepaskan diri, tanpa kekerasan!' "Cakaran kamu lumayan juga buat ukuran wanita sekecil kamu." Rey mengusap bekas cakaranku di tangannya. "Dan hei ini sama sekali juga gak elegan. Kamu sadar?" Aku menggedikkan bahuku. Tanganku bersidekap, memberanikan diri menatap Rey tajam. "Turunin saya!" Mengacuhkanku, tiba-tiba saja Rey melepas jas hitam kotornya dan membuka kancing kemeja yang juga berwarna senada, satu per satu. Hingga terlepas semua. "Eh eh! Bapak ngapain?!"  Sontak aku menutup mata dengan kedua tangan dan merubah posisi ke arah jendela. 'Ya Allah, lindungi hamba, lindungi hamba. Jangan sampai dia berbuat nekat.' Aku mendengar kekehan Rey dari belakangku. Makin lama ia makin terbahak. "Kamu pikir apa? Mau perkosa kamu? Cih! Kamu bukan tipe saya. Badan kecil. Datar. Gak ada seksi-seksinya, Lanisa. Dan ya.. Let me see." Rey melayangkan pandangannya pada dadaku.  "Hmm ukuranmu masih cukup standar. Tapi maaf. Saya gak tertarik!" Aku kaget dan seketika menutup kedua buah dadaku dengan tangan. Berani menatapnya tajam yang sedang mengganti dan mengancingkan kemeja putih dengan yang baru dan masih wangi. "Pak Danu, kita pulang!" "Baik, Tuan." "Pulang kemana? Pak! Turunin saya dulu! Kita gak saling kenal. Dan buat apa sebenarnya acara bawa saya segala begini?" Nathan menyela, sambil menunjukkan layar iPad-nya kepada sang bos. "Tapi kan Bapak setelah ini ada jadwal ke site proyek yang di Banten, Pak." Rey tidak menjawab. "Oohh, oke atau kalo Bapak tersinggung dengan kelakuan saya tadi, saya minta maaf. Dan gak cuma bapak yang tersinggung. Saya juga tersinggung sama sikap Bapak. Tapi tenang ... sudah saya maafkan. Jadi sekarang impas, 'kan? Bisa turunkan saya?" Aku coba-coba menawarkan perdamaian. "Ini jalan tol. Saya gak bisa turunkan kamu di sini." 'Kenapa gak tadi-tadi aja sebelum masuk tol?' Aku merengut sambil bersidekap. Menatap tol yang penuh dengan kendaraan roda empat berlalu lalang. Otakku bekerja ekstra mencari cara untuk lepas darinya. Percuma saja aku berteriak, karena di jalan bebas hambatan ini, mobil-mobil melaju begitu kencang dan tidak ada satu pun orang yang tau bahwa aku sedang diculik. "Oke setelah keluar tol. Turunin saya!" "Meeting sama Himawan group tunda besok pagi. Yang proyek di Banten, suruh proyek manager dan site managernya laporan ke saya di rumah. Malam ini jam delapan. Saya harus selesaikan urusan ini dulu sama dia." Ia seenaknya menunjukkan mukaku dengan jari telunjuknya. "Baik Pak." "Saya gak ada urusan apapun sama Anda, Pak. Urusan kita selesai sejak tadi di lobi Fabulous. Saya juga udah minta maaf 'kan? Astagfirullah ... kurang apa lagi?" Mobil mewah ini tetap melaju dengan tenangnya. Suasana di dalam hening. Tidak ada kelanjutan jawaban dari pertanyaanku tadi. Aku juga lelah memohon-mohon. Tak ada yang menggubrisku. Rey sibuk dengan iPad nya. Nathan berulang kali melakukan panggilan telpon, dan bodyguard di belakang yang terus menatap awas kepadaku. Tiba-tiba Rey bersuara. Matanya masih fokus membaca di iPad. Dan sesekali menoleh ke arahku. "Kamu seharusnya gak usah ikut campur urusanku dengan Fabulous itu. Kamu tau? Rancangan mereka itu nonsense! Saya terima proyek mereka sebelumnya, karena pemiliknya masih sangat dekat dengan Papa. Kreatif perusahaan kami sudah kroscek ulang. Dan ternyata, bullshit! Mereka gak pakai perhitungan. Mereka pikir cuma bagus-bagus aja. Bagus kalo roboh, yang rugi dan nama baik jadi buruk ya kontraktor nya. Kamu tau?!" Aku hanya mendengarkan Rey menyelesaikan klarifikasinya. "Dan saya cuma mau sedikit hukum mereka tadi." "Tapi kan komplain bisa dengan cara yang bagus. Tadi itu gak praktis. Menguras tenaga. Dan cara pandang orang sama Bapak jadi buruk kan?" Rey menatapku penuh, meletakkan iPad di pangkuannya. Ia menggeleng. "Come on, Lanisa! Saya udah memperingatkan mereka tiga kali. Baik-baik. Dan gak ada perbaikan sama sekali. Jadi sepertinya special pressure akan buat mereka jera." Aku mengalihkan pandanganku dari tatapannya, menuju ke depan. Tatapannya terlalu dalam, rasa-rasanya aku hampir tenggelam di bayangan matanya. "Oke maaf, saya minta maaf. Mungkin saya juga salah. Tapi saya juga merasa benar karena tindakan Bapak tadi sedikit kasar." Rey terkekeh.  "Dasar keras kepala." Aku melihat mobil ini berbelok menuju pintu keluar tol ke arah kawasan Bintaro, beberapa meter lagi di depan. Aku bersiap untuk turun. "Turunin saya di depan." Begitu melewati toll gate dan bergabung dengan kendaraan roda dua, mobil tak berhenti melaju juga. Aku memunculkan ekspresi protes di wajahku, bersidekap dan menatapnya lagi. "Saya mau turun! Saya bilang turun! Pak sopir, stop! Pak stop!" "Jalan trus Pak. Kita ke rumah." ----------------------------------- ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD