Tiga

1247 Words
"Jadi kamu ini apa? Freelancer architect?" Aku menggeleng. Mengaktifkan mode silent karena permintaanku tidak dipenuhi. "Perwakilan dari kontraktor juga? Atau tukang gambar? Interior designer?" Aku masih menggeleng. "Trus apa? Dan ngapain kamu di sana?" "Kalo saya bilang, itu namanya saya berkhianat dong sama rekan kerja saya." "Gak lah. Tadi kan kamu udah bilang kalian gak ada urusan apa-apa lagi." "Gak penting saya siapa. Bapak juga gak akan rugi, baik itu ada saya atau gak." Tak berselang lama, mobil memasuki area kawasan hunian mewah di daerah Bintaro, yang aku tidak tahu tepatnya di mana. Beberapa menit kemudian, berbelok memasuki sebuah pekarangan besar, setelah salah seorang satpam berbaju safari hitam membukakan pintu gerbang tinggi yang terbuat dari bahan kayu dan besi. Wow, mulutku menganga.  Baru kali ini aku merasa takjub dengan bangunan yang ada di depanku. Ini kah yang orang biasa sebut sebagai hunian mewah ala pejabat, CEO dan atau artis-artis ibukota itu? Bangunan minimalis karya arsitek besar yang sering masuk dalam acara Rumah Inspirasi dan sebagainya? Halaman luas. Taman hijau yang sangat cantik di sisi kanan kiri rumah. Garasi dan carport yang kemungkinan bisa muat delapan mobil. Sudah berjejer di dalam garasi yang sedang terbuka, dua buah mobil mewah sedan bermerk sama dengan yang sedang kami naiki dan satu lagi Jeep Rubicon yang terlihat sangat macho dan mengkilat. Semuanya berwarna hitam. Sang satpam membukakan pintu penumpang. Rey turun dan berhadapan langsung dengan satpam yang sedang menundukkan badannya itu. Ia terlihat panik sekaligus takut. "Sore Tuan. Anu Tuan, maaf anu ... " "Anu kenapa Pak Pardi?!" "Anu ... Tuan. Den Rangga panas tinggi Tuan. Sekarang lagi dikompres sama Bi Wati. Kami belum sempat tele ... " Rey langsung berjalan cepat, sedikit berlari menuju pintu utama. Meninggalkanku dengan para pegawainya ini. 'Ini kesempatan. Yes kesempatan gue.' Nathan, Pak Danu dan sang bodyguard yang ternyata bernama Baim, sudah lebih dulu berjalan mengikuti arah sang majikan. Mereka seperti melupakan keberadaanku. Saat satpam hendak menutup gerbang, aku mencegahnya dan segera berlari ke arahnya. Belum juga terealisasikan misi melarikan diriku, tiba-tiba tanganku sudah dicekal dari belakang oleh seseorang. Aku menoleh dan ia segera melepaskan tanganku. Itu Baim. "Maaf Nona. Nona belum bisa pulang tanpa izin dari Tuan." "Emang siapa dia? Kemana-mana harus ijin dia dulu? Bapak gue? Lo siapa?! Berani larang-larang gue!" Aku berteriak namum Baim diam tidak melawanku. Dengan sedikit kode mata, menyuruh satpam mengunci gerbang besar itu. "Maaf Nona, saya karyawannya Tuan. Dan saya harus melaksanakan perintah beliau. Silakan masuk Non! Saya tidak akan memaksa kalo Non Lanisa mau bekerja sama." 'Memaksa versi doi yang kekar gini itu maksudnya kayak gimana ya?' Aku bergidik ngeri membayangkannya. Aku terpaksa menurut dan berlari ke pintu masuk utama. Rumah ini didominasi oleh warna putih dan abu dengan furnitur serba futuristik dan berkelas. Pajangan dinding juga lighting yang indah di beberapa sisi strategis, memberi kesan hangat sekaligus mewah. Di beberapa sudut, ada pot berisi tanaman hias hijau cukup besar, memberi kesan sejuk rumah ini. Ah, ada Bonsai dan Monstera. Bagus. Dua dari sekian banyak tanaman indoor incaran Mama yang harganya selangit. Tanamnya susah. Membentuk-bentuknya sampai jadi bagus juga lama. Aku dan Romi menolak membelikannya. Cantik sih, tapi sayang. Aku mendudukkan diri di salah satu sofa tamu. Dekat dengan sang bonsai. Bonsai apa ini? Aku mengamati lebih detail. Siapa tahu aku jadi punya pertimbangan membelikannya untuk Mama.         Mengamati tanaman ini, aku jadi lupa tujuan utamaku ada di sini. Buat apa aku di sini? Hanya untuk mengagumi kemewahan yang sang Bos punya? "Mana Tuan Reymond itu? Panggil! Biar urusan kami cepet selesai." Baim ternyata masih menungguiku di sana. Mungkin ia takut aku kabur. "Maaf Nona, Tuan sedang di kamar Den Rangga. Anak Tuan yang sedang sakit. Mohon tunggu." Aku ber-owh ria. Dia sudah beristri. Jadi aku aman. 'Wait!! Gimana kalo gue dijadiin istri kedua? Atau pelakor? Oh my.. Pikiran lo kotor banget Lan! Kebanyakan baca novel fiksi!' "Demam ya? Boleh saya liat? Saya dokter anak kok." Aku melihat Baim yang sedikit terkejut. Dia diam berpikir sejenak, lalu mengantarkanku menuju lantai dua, tempat anak Rey berada. Dia mengetuk pintu. Semua orang di dalam menoleh ke arah kami. Ada seorang anak laki-laki seusia sepuluh tahun berdiri di sana, dan seorang bayi sekitar satu tahunan tergolek lemah di tempat tidur bermotif cars ini. Ada seorang ibu tua yang sedang mengompres si anak, dan Rey yang duduk di samping si bayi. Rey bangun dengan ekspresi marah dan terkejut. Ia berjalan menghampiri Baim. "Papa, Tante itu siapa?" "Baim! Kamu tau apa yang kamu lakukan? Hah! Saya bilang suruh tunggu di luar!" Baim menunduk. Sekekar-kekar badannya, nyalinya ciut juga dengan sang majikan. "Maaf Tuan, tapi Non.. " "I'm a pediatrician. Can I help you?" Aku memotong ucapannya, membantunya agar tidak kena omelan sang Tuan Singa. Galaknya kayak Singa. Aku bergegas berjalan dan duduk di samping baby Rangga. Mengesampingkan tatapan menghunus Rey dan debaran takut di dadaku, aku mengambil termometer infrared yang tergeletak di sampingnya, dan mengecek suhunya. Aku menyingkap selimut tebalnya. "Tiga puluh sembilan derajat. Ini kalo demam, jangan ditutup bedcover tebel begini, Bu. Makin panas!" Aku memberikan pemahaman pada sang ibu tua itu. Sepertinya ia mengerti. "Bu, maaf kompresnya bisa diganti air hangat? Kalo air dingin, dia makin menggigil." Aku menyentuh air di baskom yang ternyata sedingin es. "Bapak gak ada obat paracetamol? Atau antidemam lain?" Ekspresi Rey sekarang terlihat sedikit kalut dan panik. Kemarahannya tadi sudah lenyap. Walaupun mungkin wajah sangarnya sudah bawaan dari lahir, jadi tetap tidak bisa dihilangkan. "Udah dikasih tiga puluh menit yang lalu, sama Bibi." Owh, Bibi. Aku kira ibu itu neneknya. "Oke. Kita tunggu aja." Saat air hangat datang aku membuka baju Rangga dan mengompresnya di bagian lipatan-lipatan badannya. "Bu, kalo ngompres di sini ya. Kalo di dahi lama turunnya." Si Bibi hanya mengangguk-angguk. "Baik Non." "Demamnya udah berapa lama? Batuk pilek? Diare? Kejang? Selimutnya yang lebih tipisan ada gak, Bu?" Aku membuka mulutnya dan memeriksa giginya. Ternyata ada dua gigi atas yang akan tumbuh. "Baru sore ini Non. Cuma panas aja." Bi Wati berjalan ke arah lemari dan memberikan selimutnya kepadaku. Aku membaluri badan Rangga dengan minyak telon lalu menutupnya dengan selimut. "Kayaknya mau tumbuh gigi, itu ada dua yang udah mau keluar." "Wah gigi adek mau nambah." Sang kakak tertawa girang melihat bakal gigi adiknya. Sedangkan Rey hanya diam terbengong-bengong saat aku menunjukkannya. "Nih liat! Udah keliatan nonjol gusinya." Aku mengelus lembut rambut Rangga yang hitam legam. Memberikan sedikit dukungan sayang pada anak kecil ini. Kulitnya yang putih terlihat makin pucat. Lalu, mengarahkan termometer ke dahinya lagi. "Tiga sembilan koma lima. Udah makin turun sih walaupun masih panas. Mamanya lagi keluar, Pak?" Tiba-tiba suasana hening. Bi Wati memberikan tatapan sendu pada Rey. Rey hanya diam saja. Sang Kakak mulai merengek. "Papa. Al juga mau Mama ... " "Mamanya gak ada, Lanisa." Jawabnya lirih sambil menenangkan sang sulung. 'Aduh salah nanya gue. Salah nanya.. Duh muluuutt!' Aku menunduk dan menatap bayi ini. Kasian. "Maaf ... saya gak bermaksud." Rey mengangguk. "Yaudah kalo dua jam gak turun juga, bawa ke rumah sakit aja. Oke?" Aku mengambil baby Rangga dan menggendongnya di pangkuan sebentar. Mengusap kepala, mencium kening dan memeluknya. Dia hanya menggeliat dalam tidurnya. "Sering-sering dipeluk gini. Biar dia gak merasa sendiri. Ya Kakak ya? Adiknya disayang ya?" Aku berniat memberi nasehat kepada para orang tua, hanya saja tatapan dan kalimatku justru aku tujukan pada sang Kakak yang berusia sepuluh tahunan ini. Rey dan Bi Wati kompak mengangguk. Setelah meletakkannya lagi di ranjang, aku berdiri dan berniat pulang. "Saya pamit dulu. Semoga Rangga cepat sembuh." Rey ikut berdiri dan mengejarku saat hampir sampai pintu, dimana di sana sedang berdiri sang bodyguard. "Saya anterin kamu pulang!" Aku berbalik dan bersidekap. Menatapnya marah. "What? Look! Bayi Bapak gak cuma butuh obat minum. Tapi dia juga butuh kasih sayang dan waktu Bapak. Saya bisa pulang sendiri kok. Kalo Bapak takut saya kabur, oke ... mana nomor Bapak? Saya kirim kontak saya." Bi Wati tersenyum mendengar kata-kataku. Mungkin selama ini tidak ada yang berani menasehatinya. Ia mengangguk dan merapalkan sederet nomor untuk aku misscall. "Oke saya pulang. Ibu, saya pulang dulu. Kakak, Tante dokter pulang dulu ya." Rey kembali dan duduk di samping Rangga, sambil memangku sang kakak. "Baim. Suruh Pak Danu antarkan Lanisa!" ----------------------------------- ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD