Empat

1085 Words
Minggu lalu Mba Septi, kakak tingkat SMA ku, memintaku untuk bergabung dengan proyeknya. Proyek perancangan pembangunan sebuah rumah sakit, untuk rencana tahun depan, di area BSD. Bergabung di sini, bukan dalam artian aku menjadi investor, ikut jadi pemegang saham, atau menjadi tim kerja Mba Septi. Ia hanya memintaku memberikan ide dan saran, bagaimana tata letak dan pembagian ruang-ruangan di sebuah rumah sakit yang seharusnya. Aku memang tidak begitu paham dengan detail bangunan atau seni artistik di bidang arsitektur. Aku hanya memberikan sedikit gambaran tentang pendapatku dan selanjutnya aku akan membantunya melobi tim rumah sakit agar mereka bisa melakukan survei lebih detail lagi. "Makasih Non. Udah mau main ke rumah Tuan." Aku yang sedang membalas satu-satu pesan w******p dari Mama dan Romi, mengarahkan pandanganku melalui kaca tengah pada pak Danu, sopir yang mengantarku sore ini. "Ya Pak? Maaf, gimana Pak? Bapak namanya Pak Danu ya?" "Benar Non, saya Pak Danu. Saya sudah bekerja jadi sopir Tuan selama lima belas tahun. Dulu saya sopir pak Brata Wiraditama, papanya Tuan." "Wow lama juga Pak. Oiya, jangan panggil saya 'Non', kayak apa aja. Saya bukan atasan Bapak." "Iya maaf Bu." "Mmm, jangan Ibu juga Pak panggilnya. Makin tua dong saya? Bapak kayaknya seusia almarhum bapak saya. Mba Lani aja gapapa Pak." "Baik Mba. Bapak makasih Mba Lani sudah mau main ke rumah. Udah lama rumah gak pernah kedatangan tamu." Aku mengernyit. Orang sesibuk Reymond Wiraditama tidak pernah punya tamu yang berkunjung? "Emang kalo lebaran atau acara, gak pernah ada tamu? Kolega Pak Rey?" "Tuan gak pernah mengizinkan tamu masuk rumah Mba, selain keluarga dan karyawan yang memang diminta sendiri sama Tuan." "Mungkin karena dia serem banget kali ya Pak? Tadi siang aja dia suruh kami ngepel. Di depan umum. Marah-marahin kita Pak." "Hahaha." Pak Danu tertawa terbahak-bahak. "Tuan orang baik, Mba. Beliau gak sejahat yang Mba kira." "Yaa, itu kesan pertama saya, Pak. Bapak pernah dengar gak? Karena nila setitik, rusak s**u sebelanga? Karena kesalahan setitik, bisa-bisa kebaikan dia juga orang jadi gak anggap lagi." Aku menggedikkan bahu. "Apalagi saya, yang belum tau pak Rey itu baiknya dimana." Rey, pria yang baru tadi siang aku temui. Bapak anak dua, dengan asisten yang begitu banyak. Laki-laki dingin dan banyak menyimpan misteri, yang aku tidak berani menanyakan lebih lanjut tentang seluk-beluknya pada pak Danu. 'Emang siapa dia? Pentingnya apa buat gue tau dia?' "Iya Non, tapi jangan menilai buku dari sampulnya." "Yah, jadi main peribahasa kita Pak, Pak. Haha ... ! Oiya itu perempatan depan belok kiri ya. Rumah nomor tiga nanti, yang cat pagarnya putih." Aku menunjuk jalan komplek di depanku, dan memberi arahan karena rumahku sudah dekat. "Baik Mba." ----------------------------------- "Kemana aja lo? Mama udah hampir aja nyuruh gue muter Jakarta buat nyariin lo." Begitu aku membuka pintu ruang tamu, sapaan selamat datang aku dapatkan dari Romi adik tercintaku.  Laki-laki yang seharusnya sudah mapan di usia dua puluh lima tahun ini, masih sangat manja dan malas. Di saat teman-temannya sudah banyak yang mendaftar PPDS melanjutkan kuliah spesialis, atau PTT pengabdian ke daerah terpencil, dia malah asyik memilih menikmati masa kejombloannya. Itu kata dia sendiri. Pekerjaannya sehari-hari hanya ke rumah sakit, jaga IGD, pulang, tidur, makan, main game, lanjut jaga lagi. Seperti itu seterusnya. Aku jengah. Pacar? Meskipun tubuhnya tinggi, otak encer, kulit putih, wajah lumayan, tapi aku dan Mama sama sekali belum pernah mendengarnya menyebut nama seseorang sebagai pacarnya. Aku juga tidak ingin memaksanya segera mencari pendamping. Karena aku sendiri saja masih begini-begini. Tidak ada progress. 'Gue bukannya takut dilangkahin, tapi kan nanti gue iri juga kalo dia punya pasangan, sedangkan gue gak! Gue realistis kan?' Kami bekerja di rumah sakit yang sama. Rumah sakit yang juga merupakan tempat Papa dulu bekerja. Rumah sakit milik sahabat Papa. Di sana, aku juga tidak pernah mendengar dia menjalin hubungan dengan sejawat dokter atau paramedis lainnya. Dan disinilah Romi, tiduran di sofa ruang tamu, dengan kaki yang asyik menumpang di pinggir sofa, dan kedua tangannya sedang khusyuk memainkan game di handphone. "Tadi ada urusan dikit sama Mba Septi. Eh makin lama makin panjang. Kesorean lah gue." "Alesan lo. Bilang aja mau main. Lo kalo di wa, balesnya gak kelamaan bisa?" "Iya, bisa Bapak." "Dan hp lo itu ya?! Bisa gak sih gak usah di silent? Kalo IGD mau konsul lo gimana coba?" "Kan gue lagi gak on call kali Rom. Gue juga butuh istirahat. Masa libur gini masih aja di telpon? Dokter anak kita ada delapan Bapak. Masih kurang?" "Terserah lo deh. Tapi kalo gue telpon jangan kelamaan. Kuping gue juga udah panas Mam ... " "Kuping kamu panas kenapa Rom?"  Mama yang datang membawa kue bolu buatannya dan air putih dingin, memotong kalimatnya. Aku bangkit dari sofa dan mencium tangan Mama, menyomot satu potong bolu yang beliau bawa. "Kita itu cuma bertiga. Udah seharusnya saling jaga. Kamu anak laki-laki Mama. Udah pasti mama minta tolongnya ke kamu, kalo kakak kamu ilang gimana?" Romi bangun dan memeluk Mama yang duduk di sampingnya.  "Iya iya ... Mamaku sayang. Maafin Romi. Nih anak wedok-nya udah datang. Gak jadi ilang." "Iya dimaafin." "Anak setua gini. Jaman serba canggih. Kok masih takut aja anak ilang, Ma ... Ma ..." Aku melempar kotak tissue yang ada di meja ruang tamu. Alih-alih menyanggah Romi, lebih baik aku menghabiskan bolu Mama. "Kamu darimana Lani? Katanya siang pulang?" "Jadi Mam, tadi itu Lani ..." ----------------------------------- Aku menceritakan semua yang aku alami hari ini dengan Mama dan Romi. Memang sejak dulu, orang tua kami mendidik agar kami selalu terbuka, dan tidak menyimpan rahasia sedikitpun. Keterbukaan ini membuat kami sangat dekat, terutama setelah Papa meninggal dua tahun yang lalu. "Nah lo! Duda tajir tuh." Romi duduk dan serius mendengarkan ceritaku. Handphonenya sudah tergeletak asal di sofa. Sepertinya topik curhatanku lebih menarik dibandingkan game kesukaannya yang sedang hits akhir-akhir ini. "Jangan-jangan lo mau dijadiin istri doi, Kak. Secara dia duda. Eh emang istrinya meninggal? Apa cerai? Apa gimana? Atau ... jangan-jangan ditinggal kabur istrinya gara-gara dia KDRT?" "Romi!" Mama memperingatkannya. "Sembarangan lo. Baru juga kenal sehari. Lo mikirnya udah istri-istri aja. Gue kasian aja sama tu anak-anaknya. Laki semua di sana. Yang ibu-ibu cuma Bibi nya doang." "Alah ... bilang aja lo mau jadi ibu sambungnya, ye 'kan?" "Mamaaaa." Rasa-rasanya aku salah tempat dan waktu untuk bercerita. Harusnya Romi tidak seharusnya ada di sini. Mama menepuk bahu Romi. "Romi kamu jangan sembarangan ngomong. Ini kakak kamu lagi serius, jangan bikin dia marah!" Lalu kembali fokus mendengarkan kelanjutan kisahku. "Trus Lan, istrinya kemana emang?" Aku menggedikkan bahuku. Mulutku masih asyik mengunyah potongan bolu buatan Mama. Berebut dengan Romi. "Gak tau. Lani ke atas dulu Ma. Lengket mau mandi!" ucapku setelah mengakhiri acara ngemil-ngemil dengan segelas air minum. Sampai di kamar atas, aku tidak langsung menuju kamar mandi. Tapi malah duduk di kursi meja kerja, membuka handphoneku. Ada beberapa miscall dari Romi dan Mama. Pesan w******p Mama, Romi, Mba Septi, dr. Renata, dr. Cyntia, grup DSA, Angkatan 2006, Kajian muslimah, Geng berisik dan dari Rey si Singa bermata Serigala? ----------------------------------- Tuan Singa: Udah sampe? Lanisa Kenanga: Emang pak Danu belum sampe? Tuan Singa: Udah ----------------------------------- ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD