bc

Dalam Genggaman (Doctor-Billionaire)

book_age16+
9.3K
FOLLOW
65.2K
READ
billionaire
possessive
age gap
CEO
doctor
drama
sweet
bxg
office/work place
like
intro-logo
Blurb

TELAH DIBACA 1,5JUTA PEMBACA DI PF SEBELUMNYA.

Lanisa Kenanga Hardiawan adalah seorang dokter spesialis anak yang terjebak situasi sulit dengan Sang Kontraktor bertangan dingin, pemilik Wiraditama Group, Si Tuan Singa, dan bapak dari dua anak. Terikat hutang maaf dengan sang milyuner, Lanisa terpaksa harus mengasuh dua anak emas Reymond Wiraditama. Hingga berujung keinginan ketiganya untuk menjadikan Lanisa, bagian dari hidup mereka.

"It takes hands to build a house, but only your heart can build a home. You are our home, Lanisa."

____________________

Jangan lupa Add ke library teman-teman ya (Tap simbol love), dan nantikan update terbarunya.

chap-preview
Free preview
Satu
"Bu Septi ... Bu Septi. Tolong! Itu ... itu ..." Wajah Pak Bejo panik sambil menunjuk-nunjuk pintu lift. "... Pak Dendi disuruh ngepel lantai di depan." Aku dan Mba Septi bangkit dari kursi dan sontak berpandangan. 'Ada apa?' pikir kami. Pak Bejo yang baru saja berteriak adalah salah satu office boy di kantor ini. Baru saja tadi ia membawakan teh untukku. Sekarang, ia datang dengan lari tergopoh-gopoh dan nafas yang tersengal-sengal, menarik Mba Septi untuk segera turun dengannya. Setelah memastikan Mba Septi paham maksudnya, ia langsung berbalik lari untuk keluar lagi menuju ke lobi, diikuti oleh kami. Mas Dendi adalah Chief Marketing di Fabulous, salah satu korporat yang melayani jasa arsitektur, terutama bangunan-bangunan bertingkat, gedung tinggi. Nama Fabulous cukup sering terdengar karena beberapa kali mendapat proyek dari pemerintah. Mas Dendi yang dikenalkan Mba Septi beberapa hari lalu berpostur pendek bertubuh tambun. Kata Mba Septi umurnya masih seusiaku. Namun, ia terlihat sedikit lebih tua daripada usianya. Bisa jadi beban hidup dan pekerjaannya turut berkontribusi menambah jumlah kerutan di dahi dan bawah matanya. "Emang siapa yang suruh?" Mba Septi menggigit jarinya sambil berjalan mondar-mandir panik saat mereka sedang menunggu pintu lift terbuka. "Pak Reymond. Dia Bos Konstruksi yang suka bangun gedung-gedung tinggi itu 'kan, Bu? Yang mukanya sangar, suka bolak balik ke sini." Mba Septi memucat. Aku menelisik lebih dalam kepanikan yang Mba Septi tunjukkan. Apa hebatnya orang itu? "Ini Rey ... Reymond yang kita mau kerjasama bareng itu Mba? Buat proyek Mba ini?" "Iyah. Ayo!" Kami langsung berlari ke lobi begitu pintu lift sampai di lantai satu. Mba Septi berdiri mensejajarkan tubuhnya dengan sedikit membungkukkan badan, di samping Mas Dendi, berhadapan langsung dengan sang bos konstruksi. Sudah pasti status sebagai b***k korporat menuntutnya untuk tunduk dengan orang yang menyandang jabatan lebih tinggi, termasuk pada klien yang terus mengagung-agungkan motto bahwa mereka adalah raja. Benar apa yang dikatakan Pak Bejo, mukanya sangar. Alisnya tebal ke atas, rahangnya tegas, rambutnya dipangkas sangat pendek, ditata jabrik ke atas. Khas orang yang suka mendominasi. Badannya tinggi, tidak gemuk dan cenderung berotot. Otot-ototnya terlihat kuat menonjol terutama di bagian lengan. Membuat semua orang menelan ludah karena takut melawan, sekaligus takjub dengan paras dan postur sempurna salah satu kaum Adam ini. Aku sendiri berdiri di belakang Mba Septi. Aku bukan orang yang punya kepentingan dengannya.  "Cukup! Kamu siapa?" "Saya Septi, Pak. Salah satu tim Pak Dendi." "Oke. Lanjutkan pekerjaan Dendi!" Mba Septi terkesiap dan mau tidak mau dia maju ke arah Mas Dendi. Baru satu langkah, dia menoleh karena aku mencekal lengannya. Jelas saja, Pak Reymond sedang melakukan tindak ketidakadilan yang melanggar hak asasi manusia. Bagaimana bisa, seseorang yang bekerja dengan kemeja rapinya dan berstatus karyawan, diperlakukan layaknya babu dengan cara yang tidak hormat. Di depan banyak anak buahnya. "Tunggu Mba Sep. Kamu gak perlu lakuin itu. Gak ada faedahnya!" Aku menatap Pak Reymond tajam. "Kamu siapa? Berani ya kamu!" "Saya Lanisa, Pak. Saya memang orang luar, bukan dari kantor ini. Tapi sejak detik tadi, saya jadi bagian dari proyek Mas Dendi. Karena mereka meminta saya gabung." "Owh oke. Kamu mau tolongin mereka? Kalo gitu, kamu yang pel! Septi! Berikan ke Lanisa! " Aku menolak. "Maaf gak bisa Pak. Apa Bapak selalu seperti ini cara kerjanya? Menggunakan cara licik biar orang takut dan patuh? Hh ... Gak elegan sama sekali!" Suara kami bersahutan, keras dibalas dengan makin keras, hingga semua orang pada akhirnya berkumpul di lobi. "Kamu berani ya!" Rey melirihkan suaranya di dekat telingaku. Sangat lirih tapi ekspresi wajahnya makin tajam. Marah dan jengkel. Tangan kanannya mencekal erat daguku. "Lepas! Bapak gak berhak sentuh-sentuh saya. Lepas!" Aku berontak dengan menjauhkan tangan itu. Seumur hidupku tidak pernah ada pria yang berani melakukan itu. "Oke! Kita batalkan kontrak kita Pak Dendi." Mas Dendi terperanjat, berlari dan duduk bersimpuh di depan Pak Reymond. Kedua tangannya memegang kedua kaki Pak Reymond yang membelakanginya, memohon. "Gak Pak! Saya mohon ... Kita sudah sejauh ini bekerja sama!" Ia merunduk. "Kami minta maaf." Mas Dendi sepintas melihat ke arahku. "Oke. Bapak mau syarat apa yang bisa kami penuhi untuk memperbaiki semua ini?" Rey setengah berbalik dan tersenyum licik. "Saya cuma mau temanmu itu melakukan perintahku. Lakukan! Jika kalian mau kerja sama ini berlanjut." Mereka menatapku dengan ekspresi menyedihkan, menunggu keputusan.  Tangkupan tangan memohon ikut mendramatisir situasi ini. Aku tidak tega. "Gak Mba." Aku menggeleng. "Lan, Please. Semua jabatan anak-anak sekarang tergantung sama kamu! Anakku masih kecil dan aku single parent. Mas Dendi juga masih biayain adeknya kuliah. Ayolah Lan." "Satu! Kalau sampai tiga tidak ada respon, saya pergi." "Dua!" Aku menghentakkan kaki. Tanganku mengepal. Kesal tapi apa boleh buat. "Oke! Puas? Udah nginjak-nginjak harga diri orang buat kelancaran bisnis Bapak." Aku menengadahkan tanganku, meminta Pak Bejo mengangsurkan tongkat kain pel yang tadi dipakai Mba Septi. "Pak Bejo! Mana sini? Kasih sabun yang banyak Pak. Biar bersih! Mba Septi rekam kata-kata Bapak gila hormat ini." Masa bodoh aku menghinanya. Dia sudah menghina teman-temanku lebih dulu. Aku bisa lihat Mba Septi dengan gemetar mengambil handphone dan membuka aplikasi recorder. "Jaga ucapan Bapak! Pegang janji Bapak! Setelah saya lakukan yang Bapak perintahkan, Bapak akan setujui kontraknya tanpa embel-embel merendahkan mereka lagi kayak gini!" "Oke. Siapa takut?" Jawab Pak Reymond acuh. Aku mulai membersihkan lantai dengan kain pel tadi. Segaris. Dua garis. Ku bolak balik. Hingga akhirnya terlintas ide jahil di kepalaku untuk sedikit menghukumnya. Aku mengarahkan kain pel ke wajah Pak Reymond dan mengapusnya di sana. Kemeja depannya pun tak luput dari kain pel basah itu. "Kurang ajar! Kamu pel saya hah? Dasar perempuan stres!" Pak Reymond terusik lalu spontan membersihkan wajahnya. Bodyguard dan sekretarisnya membantu dengan mengusap wajah dan kemejanya dengan sapu tangan. "Saya cuma merasa lantai ini udah bersih aja tadi di pel cleaning service. Justru yang saya lihat sekarang itu, banyak kotoran di otak dan hati Bapak. Jadi saya gak salah kan?" Aku melempar tongkat pelnya. "Penuhi janji Bapak!" Jantungku sebenarnya hampir lepas menantang orang yang tidak aku tahu sebesar apa kuasanya. Aku berusaha memasang ekspresi sedatar dan sesantai mungkin, walaupun rasanya aku ingin menangis. Aku takut. Selama ini, tidak pernah mengalami memiliki musuh dengan orang sepertinya. "Mba Sep, maaf aku gak bisa ikut lagi proyek Mba. Aku pamit. Bye." Sebelum ketakutanku pecah, aku pergi sambil menahan mataku yang sudah berkaca-kaca, hingga tiba-tiba tanganku dicekal oleh Pak Reymond saat melewati sampingnya. "Mau kemana kamu?! Urusan kita belum selesai!" "Lepasin tangan kotor Anda! Saya udah gak punya urusan dengan siapapun lagi di sini!" Aku berlari menuju jalan raya. Tadi pagi, aku memang datang menggunakan layanan ojek online, sehingga sekarang pun harus pulang dengan transportasi umum itu lagi. Berjalan cepat menyusuri trotoar, sambil sesekali mengusap genangan di mataku. Seorang ibu paruh baya menghampiri dan duduk disampingku, di halte. "Kamu kenapa Dek? Gapapa 'kan?" "Gapapa Bu. Cuma lagi ada sedikit masalah aja." Sebuah mobil Mercedes Benz V-class berwarna hitam, melaju lambat di depan kami. Dan setelah beberapa meter, kemudian berhenti. Jendela penumpang belakang terbuka. "Mundur ke halte!" Aku melihat mobil itu mundur. Belum sempat aku kabur, Rey sudah keluar berlari mengejarku dan langsung mmencekal serta menarik tanganku. Dibantu dua asistennya. "Ikut saya! Masuk mobil!" "Eh eh ... Mas kamu siapa? Jangan kasar sama perempuan!" "Owh maaf Ibu, ini istri saya. Kami ada sedikit masalah jadi tadi dia lari ninggalin saya. Mohon ijin saya bawa dia, Bu." Jawabnya dengan masih mencekalku kuat. Raut mukanya ia buat seolah-olah sedang sedih. Pandai sekali ia berakting. "Gak Bu. Bohong! Dia bukan suami saya. Saya masih gadis. Tolongg Bu! Saya diculik Bu! " Aku meronta sambil menarik-narik tanganku agar dilepaskan dan meminta bantuan ibu paruh baya tadi. Tak ada orang lain lagi di sana. Ibu itu hanya melambai dan tersenyum padaku. 'Tolong..' "Udah selesaikan dulu masalah kalian ya? Ck ... anak muda jaman sekarang kalo ngambek kok sampe kayak gitu." ----------------------------------- ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MOVE ON

read
94.6K
bc

Skylove (Indonesia)

read
108.8K
bc

The Ensnared by Love

read
103.6K
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
259.8K
bc

Kamu Yang Minta (Dokter-CEO)

read
292.5K
bc

Akara's Love Story

read
257.6K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook