"Mari Dok, saya antar ke atas."
Aku berdecak dan bergeming dari posisiku berdiri. Nathan menelpon sang Tuan karena tidak bisa mengatasiku. Setelah hanya dibalas dengan anggukan dan beberapa kalimat 'iya' dan 'baik, Tuan', ia mengakhiri sambungannya.
"Maaf, saya juga tidak tau, Dokter. Tapi Pak Rey suruh Dokter Lani ke atas. Ke ruang rawat Rangga. Rangga lagi rewel."
"Rewel? Emang gak ada babysitter nya? Bibi yang tadi siang itu kemana?"
"Ada Dok."
"Kamu mau pake alasan Rangga rewel, biar saya ke atas?"
Nathan menggaruk tengkuknya. Meskipun saat berdiskusi dengan Rey tentang proyek ia terlihat sangat ahli dan pintar, tapi sepertinya kali ini ia tak sanggup menghadapi kekesalanku.
"Gak Dokter. Pak Rey mau ngomong sama Dokter Lani."
"Anter saya pulang! Ngomongnya besok aja."
Aku nekat ingin pulang. Percuma aku di sini kalau Rangga sudah ditangani. Aku tidak boleh kalah. Aku tidak boleh lemah dan gampang menuruti semua permintaan Rey.
Baru beberapa meter aku berjalan ke arah parkiran, dengan Nathan yang terpaksa mengikutiku di belakang, tiba-tiba lengan kekar seseorang dari belakang mencekal tanganku. Sontak aku mengibaskan tangan agar lepas dari pegangannya.
"Kamu lepas ... "
Aku berbalik. Mataku terbelalak tak percaya.
"Pak Rey!"
"Kamu mau kemana? Bisa gak sih udah sampe sini, lima menit aja ke atas?"
"Buat apa? Rawat bayi Bapak? Maaf, bukannya saya tegaan atau gimana. Tapi Pak please sadar!"
Aku berjalan mondar-mandir, sambil memijat pelipisku. Pusing memikirkan bagaimana cara memberikan pemahaman kepada pria satu ini. Sebenarnya sedang disimpan dimana otak pintarnya sekarang ini?
"Saya ini siapa, Bapak siapa? Kita baru kenal satu hari."
"Kamu hutang maaf sama saya. Dan kamu harus menebusnya!"
"Hhhh, bukannya tadi siang saya udah minta maaf? Tadi sore saya juga udah bantu Bapak rawat Rangga. Walaupun bentar. Bapak gak merasa hutang budi sama saya?"
"Merasa. Saya merasa hutang budi sama kamu."
"Yaudah. Impas kan kita?"
Ekspresinya tetap terlihat datar. Aku sulit membaca pikirannya, jika dia terus seperti itu.
"Aku akan bayar hutangku nanti, sekarang kamu bayar hutang maaf kamu dulu."
"Hh ... gimana?"
"Temui anak saya di atas. Dan kita bicarakan perjanjian hutang kita ini di sana. Kamu gak malu diliat orang, marah-marah begini?"
Rey berbalik dan berjalan duluan meninggalkan kami. Baru beberapa langkah di depan, dia kembali menatap kami.
"Ah ya ... satu lagi. Sekarang dokternya Rangga kamu. Dokter Lanisa Kenanga Hardiawan."
Aku mematung. Mulutku membulat dengan ekspresi tidak percaya. Bagaimana bisa seenaknya dia. Owh oke ... dia pasien VVIP yang bebas memilih dokter semaunya. 'Tapi gue harus gimana besok, ketemuan sama dokter Cyntia?'
-----------------------------------
Aku berjalan menyusuri lantai empat koridor VVIP ini. Di depanku ada Rey dan di belakangku ada Nathan.
Saat aku melewati nurse station, para perawat menyapa, dan aku membalasnya dengan senyuman. Setelahnya, aku bisa melihat dari sudut mataku, mereka sedikit berbisik di belakang. Aku cuek melanjutkan langkahku ke VVIP 1.
"Non."
Bi Wati dan salah seorang perempuan muda dengan seragam babysitter di belakangnya, menyambutku saat aku memasuki ruangan. Ruang VVIP ini bernuansa anak-anak dengan wallpaper bermotif gambar dinosaurus hijau kecil-kecil. Aku menganggukkan kepala membalas sapaan mereka.
Aku juga melihat sang Kakak sedang tertidur di tempat tidur khusus keluarga penunggu.
"Kok Kakak tidur di sini? Harusnya anak kecil di rumah aja. Ini rumah sakit kan tempat infeksius."
Aku menghampirinya. Meskipun ranjangnya cukup besar, dengan selimut tebal menutupinya, tapi aku melihat dahinya sedikit berkerut. Ia tidak tidur dengan nyaman. Aku mengusap rambut dan dahinya, agar kerutannya menghilang.
"Bibi sama Putri pulang dulu aja. Pak Danu di bawah." Perintah Rey yang mendaratkan dirinya di sofa.
"Loh nanti Den Rangga sama siapa Pak?"
Rey sudah duduk di sofa panjang di sisi kiri ruangan.
"Nanti sama saya dan Nathan. Sekalian kami mau cek laporan karyawan."
"Bu?" Aku memanggilnya.
"Ya Non. Panggil aja Bi Wati, Non."
"Ah ya ... Bi Wati. Ini Kakak diajak pulang aja sekalian. Kasian dia tidurnya juga gak nyenyak."
"Tapi Non--"
"Aldrich gak pernah pisah sama adiknya."
Rey memotong. Aku bersidekap.
"Bapak mau anak Bapak sakit dua-duanya? Kalo Bapak sayang, harusnya Bapak kasih ijin dia pulang."
Aku menepuk punggungnya dan mendekatkan kepalaku. Aldrich sedikit membuka mata dengan raut masih mengantuk.
"Kakak ... hai Kak. Ini Tante Dokter. Kakak pulang dulu ya? Nanti bobo sama Bibi dulu, oke? Besok 'kan sekolah?" Dia masih mengerjapkan matanya. "Digendong Om Nathan ya?"
Aldrich mengangguk dan kembali membenarkan posisinya. Aku memberi kode Nathan untuk mengambilnya. Nathan belum bergerak dan masih menatap sang Tuan, meminta ijin. Sebelum akhirnya Rey mengangguk. "Bawa aja."
-----------------------------------
Sepeninggalan mereka, aku memeriksa Rangga dengan stetoskopku. Mengecek tetesan infus dan suhunya.
"Saya ke nurse station dulu ya, Pak? Mau liat rekam medis Rangga."
Rey sontak berdiri.
"Tenang, saya gak kabur. Nanti saya ke sini lagi. Setidaknya setelah Nathan ke sini. Saya gak nyaman kalo cuma berdua begini."
Rey akhirnya mengerti. Ia kembali duduk sembari mengambil laptop di sampingnya.
Aku benar-benar canggung ditinggal berdua dengannya. Lebih baik aku menghindar daripada orang rumah sakit berpikiran macam-macam kepadaku.
"Dok, pacar Dokter ya?"
Nah kan! Aku sudah merasa aneh dengan sikap para perawat di sini. Jadi, mereka menganggap kami seperti ini?
"Bukan Mba. Kita aja baru kenal tadi siang."
"Loh? Tapi kok bisa-bisa nya dia ngotot banget tadi minta ganti dokternya?"
Mba Wita memajukan kursinya mendekatiku, yang sedang duduk di depan meja, dengan tumpukan map di atasnya. Aku sedang mencari-cari map rekam medis milik Rangga.
"Dok, Dok ... Dokter tau gak? Tadi Dokter Cyntia ke sini. Periksa anak itu. Pas di kamar pasien sih senyam-senyum salting gitu. Mungkin karena Bapaknya ganteng kali ya? Haha ... saya aja juga tersepona Dok."
Mba Wita menutup kedua pipinya yang merona dengan tangan.
"Terpesona mba." Aku tersenyum.
"Kayak ... Salman Khan gak sih, Dok?"
"Astagaa Mba Wita!"
"Iya iya ... Ah Dokter. Masa dibecandain gitu aja, gak bisa sih." Ia memukul lenganku.
"Trus trus Dok. Pas tadi Dok Cyn lagi nulis status di sini, tiba-tiba Bapaknya itu dateng lagi. Minta tuker dokter anaknya."
Aku masih mendengarkannya sambil menulis laporan pemeriksaanku di rekam medis Rangga.
"Lah, itu senyum lima jarinya dok Cyn langsung berubah melengkung ke bawah Dok. Hahaha ... Dokter harus liat deh ekspresinya!" Dia terbahak dengan dua perawat jaga lainnya.
"Hush! Ssst ... gak boleh berisik." Aku hanya geleng-geleng dan menyuruh mereka berhenti.
"Yang pasti aku kudu siap-siap ini mba besok ketemu beliau. Aduh!" Aku menenggelamkan kepala di kertas-kertas status di depanku ini.
"Bapaknya Rangga itu duda, Dok? Saya gak liat istrinya. Di laporan juga ditulis single parent."
"Iya kayaknya. Please deh, Mba. Aku baru ketemu tadi juga."
"Pacarin, Dok. Pacarin!" kompornya.
"Gak lah, Mba. Gak minat."
"Tapi doi segitunya sama Dokter. Padahal udah pas lho. Dapet dokternya Dok Cyn, yang konsultan infeksi. Kalo doi gak minat sama Dokter, gak mungkin 'lah."
"Tadi siang itu, aku gak sengaja ketemu, Mba. Pas anaknya sakit, jadi aku yang ngajarin kompres dan sebagainya. Mungkin karena itu kali ya, jadi mau aja anaknya dirawat sama aku."
"Owh ... "
Mereka serempak ber-owh ria.
Aku menjelaskan panjang lebar drama pertemuanku dengan para perawat. Tentu hanya sekilas tapi jelas. Singkat namun padat. Agar mereka tidak salah paham dan menyebarkan gosip miring ke seantero rumah sakit. Menjadi bahan gosip di rumah sakit ini sangat berbahaya. Karena gosip dapat menyebar dengan sangat cepatnya. Melebihi kecepatan dari akun lambe-lambean di i********:.
-----------------------------------
Tak berselang lama, aku melihat Nathan melewati meja nurse station kami. 'Oke, ini saatnya gue tawar-menawar and make a big deal. Trus pulang.'
Aku segera menghubungi Romi agar beberapa menit setelahnya, dia sudah ada di bawah, untuk menjemputku.
Aku mengetuk pintu dan masuk. Di sana sudah ada dua pria berkemeja yang lengannya sudah digulung sesiku, sedang menatapku.
Yang kudapati saat itu adalah Rey sedang menggendong Rangga, sedangkan Nathan sedang sibuk membuatkan s**u untuknya.
'Ya Allah, ini bapak-bapak eksekutif lagi momong anak?'
Aku hampir tertawa jika mulutku tidak aku tahan dengan menguncinya. Sekaligus mendadak ada perasaan bangga terbesit di dadaku, 'Dia tipe husbandable banget'. Dan juga merasa miris pada saat yang bersamaan, mengingat bahwa yang merawat anak ini adalah dua pria dewasa yang terlihat agak kikuk.
Tidak ada tangan ibu yang mendekapnya.
Hatiku sedikit meleleh. Aku mengambil Rangga dari gendongan Rey.
"Kalo gendong begini. Jangan sampai selang infus kejepit sama badan Bapak. Dan usahakan gimana caranya biar darahnya gak keluar ke selang. Kalo darah keluar, berarti posisi botol infusnya kurang tinggi lagi."
Rey hanya mengangguk. Dari sudut mataku, aku bisa melihat ia tersenyum. Senyum yang baru pertama kali aku lihat. Bapak ini bisa manis juga mukanya. 'Lan, jangan lemah! Jangan lemah!"
Nathan memberikan botol s**u Rangga kepadaku. Wow, dia sudah mahir membuatnya. Tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin.
"Kalo ngasih s**u, usahakan agak tinggi kepalanya, biar gak tersedak. Kalo dia udah lelap tidur, botolnya harus dilepasin dari mulutnya. Banyak kasus bayi tersedak, gara-gara susunya masih ngalir saat anaknya udah tidur."
"Baik Dokter."
Hanya Nathan yang menjawabku sambil kembali duduk ke sofa. Sedangkan Rey hanya menatapku tajam, sedari tadi. Aku sama sekali tidak berani mengarahkan pandanganku ke arahnya. Takut-takut nanti tatapan kami bertemu dan malah menjadi canggung.
Lebih baik aku menatap anak ini dan mengusap kepalanya. Memberinya sedikit dukungan kasih sayang yang seharusnya ia dapat dari wanita yang melahirkannya. Kedua tangannya masih asyik memegangi botol s**u, dengan mulutnya yang masih kuat menyedot, walaupun kini matanya sudah terpejam.
"Uw uw ... Adek pinter banget minum susunya."
Tidak ada lagi yang bersuara. Aku lebih baik menjelaskan ulang keadaan Rangga sebagai tanggung jawab karena dia adalah pasienku. Sambil tetap menimangnya dalam gendonganku.
Aku menghadap ke mereka.
"Oke. Saya jelaskan keadaan Rangga ya? Mungkin tadi Dokter Cyntia udah jelaskan. Demam Rangga gak cuma karena gigi mau tumbuh. Tapi dari hasil lab, sel darah putihnya juga naik. Kemungkinan ada faktor infeksi bakteri juga. Antibiotik dan obat lainnya udah masuk. Saya mengikuti advice Dokter Cyntia untuk dilanjutkan aja. Nanti tiap hari kita evaluasi. Oke? Cukup? Ada pertanyaan?"
Rey mengangguk tanda mengerti. Aku memberanikan diri menatap tajam manik matanya.
"Dan ... Bapak mau bikin kesepakatan apa sekarang?"
Aku melirik jam di dinding.
"Waktu saya lima menit lagi. Adik saya udah perjalanan jemput saya ke sini."
"Aku mau kamu jadi dokter anak-anakku selama tiga bulan."
"Loh? Ini udah. Kalo gak sakit buat apa butuh dokter?"
"Sakit gak sakit. Aku mau kamu ke rumah selama tiga bulan!"
'Wassalam' siksaan apalagi ini? Aku harus menawarnya.
"Satu bulan."
"Tiga bulan." Rey menjawab.
"Oke, satu setengah bulan please!"
"Empat bulan."
"Duh, dua bulan! Itu udah waktu paling lama buat saya."
"Enam bulan."
'Salah ya gue? Upik abu yang biasa nawar sayur di pasar, sekarang tandingannya sama tukang tawar tender pemerintah macem ini.'
"What? Oke! Tiga bulan. Deal!"
Aku kesal. Sangat amat kesal! Rasa-rasanya aku ingin memasukkannya ke dalam roket yang akan berangkat ke planet Mars, sekarang juga. Atau, ke Pluto sekalian. Agar ia tak ada lagi di muka bumi ini, dan mengacaukan hari-hariku ke depan.
Semua yang aku sebutkan baru saja, itu hanyalah khayalan yang bisa terwujud di otakku saja. Karena nyatanya, sekarang aku masih menggendong anaknya, di sini. Yang bisa kulakukan hanya menggerutu pada bungsunya, dengan suara lirih.
"Papamu nyebelin! Tukang mendominasi! Tegaan sama Tante dokter! Gak ada belas kasihan! Pemaksa! Kamu jangan kayak Papamu ya nanti kalo udah gede, bisa-bisanya ..."
"Lanisa."
Aku menoleh padanya yang masih berdiri menyandarkan punggung di ujung ranjang pasien. Berani-beraninya dia memanggil namaku. 'Gak ada sopan-sopannya, panggil Dokter kek.'
"Kamu ngomong jelek begitu, anak udah bisa denger dan ngerti."
Aku melengos tidak terima. Mau gimana lagi? Dia terlalu berkuasa.
Aku rasa keputusanku tepat menerima perjanjian ini, selama tiga bulan. Setelah ini, aku akan pindah rumah sakit, kabur atau apapun itu, agar bisa menjauh darinya.
-----------------------------------
***