"kok ngelamun?"
Suara nenek menyadarkan Rinta yang sedari tadi hanya menatap kosong sambil sesekali mengaduk makanan di piringnya dengan sendok. Bahkan belum sekalipun dia suapkan makanan itu ke mulutnya.
"Ah? Apa nek?" Rinta gelagapan.
"Ada masalah apa?" Wanita tua itu tak bisa dibohongi.
Rinta menggeleng cepat. "Nggak ada apa-apa kok, nek."
"Kamu jangan bohong, nenek tau kamu lagi berbohong." Maryamah menatap langsung pada mata Rinta, namun gadis itu memilih menatap arah lain.
Ada banyak pikiran yang berkecamuk di kepala Rinta. Tentang bagaimana akhirnya dia bertemu ayahnya untuk pertama kali setelah sekian lama dengan cara yang tidak dia inginkan.
Tentang hubungannya dengan Andro yang harus berakhir dengan tidak baik. Tentang perasaanya sendiri yang masih tidak bisa menghapus nama Andro dari hatinya, meski itu sesuatu yang harus dia lakukan cepat atau lambat.
Dan kini ... Dia harus berpikir bagaimana beralasan pada sang nenek untuk bisa pergi dari kota ini.
Rinta benar-benar tak sanggup jika harus bertahan di kota yang sama dimana Andro dan segala kenangan mereka berdua tertinggal.
"Nek, apa Rinta boleh pergi ke Jakarta?" Tanyanya dengan ragu.
Nenek mengernyit. "Ke Jakarta?" Tanya wanita sepuh itu memastikan pendengarannya tak bermasalah.
Rinta mengangguk. "M-mbak Ajeng meminta Rinta untuk bekerja di salah satu butik temannya di sana."
Gadis itu tak sepenuhnya berbohong. Ajeng memang berjanji akan membantunya pergi dari kota ini. Mencarikan tempat tinggal dan pekerjaan untuknya.
Bukan perkara yang sulit, sebagai seseorang yang bekerja di bidang mode, Ajeng punya banyak kenalan dan relasi bisnis. Bukan masalah yang besar baginya untuk mengatur hal yang sepele untuk gadis seperti Rinta ini.
"Kamu dipecat dari butiknya Ajeng?" Mata nenek melebar dengan wajah terkejut.
"Enggak Nek, bukan seperti itu. Mbak Ajeng cuma minta Rinta untuk pindah ke butik temannya dan cari pengalaman baru di ibu kota. Itupun kalau Nenek mengijinkan," jelas Rinta dengan hati-hati.
Nenek Maryam mendesah kecil. "Apa kamu benar-benar harus pergi, sampai-sampai tega mau ninggalin Nenek di sini sendiri?" Ada kegetiran di dalam nadanya.
"Kalau Nenek tidak mengijinkan, Rinta tidak akan pergi kok, Nek." Dia menggeleng sambil tersenyum, berusaha meyakinkan bahwa dia baik-baik saja dengan keputusan Nenek.
Tapi sekali lagi, sorot mata Rinta tidak bisa berbohong. Nenek bisa melihat dia kecewa. Entah apa yang sebenarnya gadis itu tengah tutupi, apa yang membuatnya sampai ingin pergi dari kota ini, tapi Maryamah bisa merasakan, itu sangat penting bagi Rinta.
***
Rinta baru saja turun dari angkot yang dia tumpangi dan berjalan menuju butik yang hanya berkisar tiga ratus meter dari halte.
Gadis itu berjalan dengan tenang sampai sebuah tangan mencengkeram lengannya dengan kuat.
Rinta hampir limbung saking kagetnya, dia menoleh dengan cepat.
"M-mas?" Sebutnya saat melihat siapa pemilik tangan besar yang tengah mencengkeram tangan miliknya.
Andro menatapnya dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Rinta bisa melihat pemuda itu terluka, kecewa dan marah di saat yang bersamaan.
"Ikut aku, aku mau bicara," perintah Andro sambil menariknya menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat itu.
Rinta berusaha menolak dan meronta, tapi demi Tuhan, Andro benar-benar tak melepaskannya meski Rinta memukuli lengannya dengan satu tangan yang bebas. "Aku gak mau, Mas. Lepaskan!" Gadis itu terus meronta.
Andro tak peduli, terus menyeret Rinta. Membuka pintu penumpang di mobilnya dan mendorong paksa gadis itu untuk masuk. Dia lantas merangsek masuk ke dalam dan menutup pintu itu dengan keras.
Rinta berusaha membuka pintu yang berada tepat di sebelahnya, tapi tentu saja Andro sudah menguncinya.
"Aku mau pergi, Mas. Aku nggak mau bicara sama kamu," ucapnya dengan ketus.
Andro mengeratkan gigi gerahamnya, semakin kuat memegang tangan Rinta sampai tangan gadis itu terasa sakit.
"Aku cuma mau bicara sebentar, Rinta. Apa sesulit itu kamu kasih aku waktu sebentar aja?" Mata Andro terlihat sangat frustrasi.
Jauh di lubuk hati Rinta yang paling dalam, dia ingin sekali memeluk Andro. Dia tak bisa melihat pemuda itu terluka dan dipenuhi dengan kebingungan seperti ini. Namun Rinta tak akan melakukannya. Dia dan Andro benar-benar harus saling menjauh satu sama lain.
"Untuk apa lagi, Mas? Sudah tidak ada yang perlu kita bahas. Semuanya sudah jelas. Aku tidak mau lagi punya hubungan apapun sama kamu. Tolong!" Perih sekali hatinya saat mengatakan itu.
Rasanya Andro tidak ingin mempercayai pendengarannya. Suara Rinta bagaikan cambuk yang melukai hatinya yang berdarah.
Pemuda itu menunduk sebentar, benar-benar putus asa.
Sesaat kemudian dia mengangkat kepalanya, menatap Rinta dengan mata yang memerah dan sorot yang terluka.
"Apa kamu gak bisa kasih aku satu kesempatan lagi? Aku cuma mohon satu kali aja, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Rinta. Aku mohon."
Wajah Andro dengan segala keputus asaan yang bergumul jadi satu, seperti sayatan baru di hati Rinta. Dia benci melihat Andro yang seperti ini. Dia tak mau Andro terluka seperti ini.
Jika boleh memilih, Rinta lebih memilih Andro membencinya atau bahkan melupakan dirinya, dibanding pemuda itu tersiksa dan tak bahagia karena dirinya seperti ini.
Rinta menelan ludahnya kasar, tekadnya sudah bulat, ini semua harus dia akhiri sekarang.
"Mas ...."
Andro menatapnya dengan penuh harap.
"Maaf, kita sudah selesai sekarang. Aku sudah punya seseorang yang lain. Maafin aku, ya. Aku bukan orang yang sebaik yang kamu kira."
Rasanya ada petir yang menyambar di kepala Andro. Dia tidak percaya hal itu, dia mengenal Rinta lebih dari apapun, dan setelah semua alasan sebelumnya, kini dia mengeluarkan alasan konyol ini?
"Gak mungkin, aku tahu kamu bohong. Aku tau kamu mengada-ada. Ini cuma alasan kan? Sama seperti alasan-alasan konyol kamu sebelumnya.
Demi Tuhan, Rinta menahan air mata dan emosinya mati-matian.
"Benar, alasan sebelumnya memang alasan konyol yang aku buat-buat, tapi sekarang rasanya aku memang harus bicara jujur. Gak ada gunanya menutupi yang sebenarnya terus menerus kan? Aku sudah punya orang lain mas, yang jauh lebih baik daripada kamu. Jadi, maaf, kita harus benar-benar selesai sekarang. Dan lebih baik kamu jangan temui aku lagi, karena aku sudah gak punya perasaan apapun sama kamu." Rinta mencoba bicara setenang mungkin, meski sekujur badannya bergetar menahan perasaan yang bercampur aduk dengan ngeri.
Andro tak sanggup mengucapakan apapun, pemuda itu menatap Rinta dengan tatapan kosong dan bibir yang menganga tak percaya.
Rinta melanjutkan. "Aku selalu bikin alasan untuk nolak keinginan kamu untuk ketemu orang tua kamu, tapi kamu gak peka. Aku gak mau serius sama kamu, karena aku punya seseorang yang lain yang lebih baik dari kamu," bohongnya.
"Jadi mulai sekarang, hentikan ini semua, Mas. Tidak ada gunanya lagi. Kamu gak bisa memaksa orang yang tidak mencintai kamu untuk terus bersama dengan kamu. Karena itu memuakkan, rasanya aku pengen muntah. Jadi sekarang tolong buka pintunya dan biarin aku pergi dari sini," lanjut Rinta menahan gemetar di dalam suaranya.
Andro menatap Rinta dengan tatapan tak percaya. Dia tidak ingin percaya dengan apa yang dia dengar dari bibir gadis yang selama satu setengah tahun ini selalu bersama dirinya, selalu menjadi gadis baik yang lembut. Tapi wajah gadis itu sangat dingin, tak menunjukan ekspresi sedih, dia mengatakan semua hal mengerikan itu dengan tajam dan tanpa emosi.
"Mas, tolong buka pintunya," ucap Rinta dengan tenang, meski badai sedang mengamuk di dalam jiwanya.