Chapter 6

1177 Words
Tiga hari berselang.... Sejak hari dimana Rinta bertemu Andro terakhir kali, sejak hari itu juga Andro tak muncul di hadapannya atau berusaha mencarinya. Tak ada pesan yang masuk ke dalam teleponnya dari pemuda itu. Di satu sisi ada kelegaan namun di sisi lain, Rinta merasa khawatir. Apakah lelaki itu baik-baik saja? Apa dia sudah menerima keputusan darinya. Atau bahkan Andro telah menemukan orang lain dalam waktu yang singkat ini. Jika Andro telah menerima maka memang itu yang diharapkan oleh Rinta. Namun bolehkah dirinya merasa sedikit khawatir tentang keadaan pemuda itu sekarang? "Aku sudah telepon temenku, kamu bisa langsung kerja di tempat dia setelah sampai di jakarta. Soal rumah kontrakan, aku juga sudah minta temanku yang lain untuk carikan buat kamu. Dan semuanya sudah beres, kamu tinggal berangkat aja besok." Jelas Mbak Ajeng panjang lebar pada Rinta yang justru masih termangu dalam lamunannya. "Hei, kamu dengerin Mbak gak sih, ta?" Perempuan itu menepuk lengan Rinta. "Oh iya iya, mbak. Rinta ngerti," sahutnya sedikit gelagapan. "Ngerti apa?" Tanya Ajeng sambil berkacak pinggang. "Tau kalo besok aku harus berangkat," jawabnya. Mbak Ajeng menggelengkan kepalanya. "Aku bilang, kamu bisa langsung bekerja setelah sampai sana, gak perlu pake surat lamaran dan lain sebagainya. Dan urusan tempat tinggal sudah beres." Wajah Rinta sedikit tersenyum. "Oh, gitu ya. Makasih banyak ya, Mbak." Rinta bersyukur ada Ajeng di sisinya. Jika bukan karena Ajeng, entah bagaimana dia harus menghadapi masalah ini. "Kamu seneng tapi wajah kenapa wajah kamu kelihatan gak seneng?" Hanya senyuman hambar di wajah Rinta dan helaan napas berat, Ajeng sudah bisa menebak isi hati gadis itu. "Kamu masih kepikiran Andro?" Tanyanya. Rinta hampir tersedak, tapi kemudian menata diri. Benar, apa yang ditanyakan Ajeng adalah benar. Dia masih memikirkan Andro. Apa dia baik-baik saja? Ajeng menggeser kursi dan meletakkannya tepat di hadapan Rinta, wanita itu menatap wajah Rinta yang terlihat lelah karena beban mental. "Kamu masih punya waktu untuk berubah pikiran, ta. Kalau kamu memang gak yakin untuk pergi, kamu gak perlu pergi. Yang perlu kamu lakukan adalah menghadapi kenyataan ini dan katakan semua kebenarannya pada semua orang. Pada Andro, pada ayah kamu dan juga nenek kamu." Ajeng menatap Rinta dengan wajah sangat serius. Rinta menggeleng cepat. "Enggak mbak, keputusan aku sudah bulat. Aku mau pergi dari sini, aku gak mau menghancurkan hati banyak orang, cukup aku aja." Ajeng menghela napas. Dia begitu prihatin dengan gadis ini, gadis yang sudah begitu banyak merasakan penderitaan sejak masih kecil. Dan sampai kini pun, dia masih memilih untuk menderita sendirian, memikul beban berat di pundaknya sendirian. "Aku mau berangkat secepatnya mbak," lanjutnya. Ajeng mengangguk pelan. Wanita itu menjulurkan tangannya ke kepala Rinta, mengusap rambut gadis itu dengan lembut dan sayang. Gadis itu sudah menjadi bagian dari hari-harinya di kantor. Menjadi adiknya. "Nenekmu sudah setuju?" Tanya Ajeng. *** "Rinta janji akan selalu kabari nenek, kalau Rinta punya waktu libur, pasti Rinta akan pulang buat jenguk nenek. Surabaya Jakarta itu gak jauh kok, nek. Jadi nenek jangan khawatir ya?!" Gadis itu mencoba terlihat ceria dan bersemangat sembari memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Nenek Maryamah hanya duduk menatap Rinta uang sibuk dan terus mengoceh meyakinkan dirinya. Tentu, berpisah dari Rinta akan menjadi hal yang berat untuknya. Namun meski dalam diam dia bersedih, tetap ada restu dan ridho untuk Rinta kecilnya yang ingin melihat dunia luar, mengembangkan sayap yang terus tumbuh. "Kamu sudah bilang Nak Andro tentang ini? Dan apa katanya?" Ucapan nenek membuat tangan Rinta yang tadinya sibuk mendadak berhenti. Sorot matanya kelabu. Rinta merasakan sesak di dadanya setiap kali mengingat Andro. Gadis itu meninggalkan baju dan kopernya, berjalan mendekat ke arah Nenek dan duduk tepat di sampingnya. Di ranjang besi tua yang berderit. "Rinta sudah putus dari mas Andro, Nek," jelasnya. Mata tua itu melebar, tubuhnya yang bungkuk sedikit menegak karena terkejut. "Kenapa? Kalian ada masalah?" Tanyanya penuh kegelisahan. Rinta tersenyum kecil. "Tidak ada apa-apa, Nek. Cuma Rinta merasa kami sudah tidak cocok lagi." "Apa Nak Andro menyakiti kamu?" Rinta menggeleng cepat. "Tidak, Mas Andro tidak pernah nyakitin aku, Mas Andro itu orang yang sangat baik, jadi Nenek jangan berpikiran yang aneh-aneh tentang dia." "Lalu apa masalahnya? Kenapa mendadak? Bukannya kalian baru saja ketemu dengan orang tuanya Nak Andro? Atau ... Jangan-jangan orang tuanya sebenarnya tidak setuju dengan hubungan kalian?" Sungguh Nenek Maryam tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Sekali lagi Rinta menggeleng. "Mama sama papanya Mas Andro orangnya baik kok, mereka gak ada hubungannya dengan keputusan Rinta ini. Intinya Rinta sedang lelah dengan hubungan kami. Rasanya kami semakin nggak cocok satu sama lain." Kini giliran nenek Maryam yang mendesah dan menghela napas. "Jadi itu sebabnya kamu mau pergi dari tempat ini dan bekerja di Jakarta?" Sorot mata sepuh itu menatapnya dengan penuh telisik. Rasanya berbohong pun tidak akan bisa untuk menutupi kenyataan bahwa memang hal itu alasan yang benar. Rinta menunduk dan mengangguk tanpa menatap pada sang nenek. Nenek Maryam menggenggam jemari tangan Rinta, mencoba untuk mengerti situasi yang sedang dialami cucunya tersebut. "Kalau memang itu yang terbaik menurut kamu, Nenek bisa apa. Nenek cuma bisa dukung dan berdoa semoga semua keputusan kamu adalah hal yang tepat dan tidak akan kamu sesali." Rinta mengangkat wajahnya. "Rinta sudah yakin dengan keputusan ini, Nek. Rinta cuma minta satu hal sama Nenek." Dahi Nenek Maryam mengernyit. "Apa yang kamu inginkan?" Rinta memandang dengan sorot mata yang bersungguh-sungguh. "Jangan katakan keberadaan Rinta pada Mas Andro." Nenek Maryam mengangguk dan menghela napas. "Baik, nenek nggak akan bilang pada Andro, sekalipun dia memohon." Rinta tersenyum lega. "Makasih banyak ya Nek, maafin Rinta selalu bikin nenek sedih, maafin karena Rinta terpaksa ninggalin nenek untuk sementara waktu," ucapnya sambil memeluk tubuh tua sang Nenek yang semakin rapuh. "Tidak apa-apa," jawab wanita sepuh itu dengan suara yang bergetar menahan air mata. Dia tak ingin menangis, tak ingin semakin membebani perasaan sang cucu dan harus rela melepaskan cuci satu-satunya yang teramat dia sayangi itu untuk hidup menjauh darinya untuk pertama kali. *** Rinta mengusap wajahnya yang basah setelah menutup pintu kamar, sebab sang nenek telah keluar dari kamarnya. Setelah hampir bertangis-tangisan karena perpisahan yang sebentar lagi akan terjadi. Gadis itu menuju meja belajarnya, membuka laci kecil di meja rias yang besarnya tak seberapa. Dia mengeluarkan sebuah album foto bersampul coklat dengan hiasan bunga kering. Album yang usianya mungkin sama dengan usianya. Dia membuka halaman foto yang biasanya menjadi halaman favoritnya. Sebuah foto pernikahan yang teramat sederhana, foto sang ibu yang memakai kebaya sederhana dan make up yang tak begitu tampak, tengah duduk bersanding dengan sang ayah yang mengenakan jas dengan ukuran yang kebesaran karena mungkin hanya dari menyewa. Dia menatap foto yang biasanya sangat dia sukai itu dengan deraian air mata. Rasa sakit yang dulunya tak begitu terasa untuk sang ayah yang meninggalkan dirinya kini berubah menjadi rasa sakit yang teramat mengerikan dan parah, tatkala dirinya mengetahui kenyataan bahwa ayahnya pergi untuk wanita lain, menikah dan bahkan telah memiliki putra, yang tak lain adalah kekasihnya, Andro. "Kenapa ayah sangat jahat? Kenapa ayah jahat sekali sama ibu dan Rinta. Apa salahku, yah? Apa?" Dia menangis tanpa suara. Tangisan dan rasa sakit yang semakin membuat dadanya terasa begitu sesak dan penuh. Rasa sakit yang terkadang membuat dirinya merasa ingin menyerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD