Chapter 7

1241 Words
"Rinta pamit dulu ya, Nek. Nenek jaga diri baik-baik, kalau ada apa-apa Nenek harus langsung kabari Rinta." Gadis itu memeluk tubuh tua yang sudah lemah dimakan usia itu. Nenek Maryamah menepuk punggung Rinta dengan lembut. Sambil menahan dadanya yang sesak dan gemetar dalam suaranya dia berbicara. "Kamu juga jaga diri baik-baik, makan yang teratur, tidur yang cukup, jangan sampai sakit. Sering-seringlah telepon Nenek kalau ada waktu senggang, Nenek pasti akan kangen sekali sama kamu, Nak." Sudut mata Rinta memanas digenangi air mata. Ini akan menjadi kali pertama bagi dirinya dan sang nenek untuk hidup terpisah dalam waktu yang lama. Jika bisa, Rinta ingin sekali membawa Nenek pergi dari sini. Namun itu tak mungkin, sebab Nenek telah bersumpah setia akan selalu ada di rumah, dimana dirinya dan almarhum Kakek memulai bahtera cinta mereka dahulu. Rumah ini menyimpan begitu banyak kenangan. Manis dan pahit sekalipun. Dan hal itu tidak akan pernah bisa Nenek tinggalkan. "Sudah-sudah, lebih baik kamu cepat berangkat. Nanti malah terlambat kalau seperti ini." Sekali lagi Nenek menepuk bahu sang cucu sebelum benar-benar melepaskan pelukan hangat antara keduanya. Rinta menarik dirinya meski terasa begitu berat. Dia menatap wajah tua yang dipenuhi keriput, dengan rambut yang telah hampir berubah sepenuhnya itu. Ada rasa ragu, setiap kali mengingat Neneknya. Namun tekad yang muncul setiap kali dia mengingat bahwa masalah antara dirinya dan Andro serta ayahnya bukanlah hal sepele, membuatnya semakin yakin untuk pergi. "Rinta berangkat ya, nek. Doakan Rinta selalu ya," ujarnya sebelum benar-benar melepas tangan penuh keriput itu. "Iya, Nenek akan selalu doakan kamu di manapun berada." Wanita renta itu mengangguk, buliran bening yang hangat itu jatuh tanpa bisa dia tahan lagi. Rinta menyeka ujung matanya yang juga basah. Gadis itu naik ke jok belakang ojek yang telah dipesannya dan telah menunggu sejak tadi. "Assalamualaikum, Nek, Rinta pergi dulu," ucapnya sambil melambaikan tangan. Sang nenek melakukan hal yang sama. Mereka berdua saling melambaikan tangan dan terus menatap satu sama lain, hingga motor yang Rinta tumpangi semakin menjauh dan hilang di ujung jalan. Hampir empat puluh menit Mbak Ajeng menunggu Rinta di stasiun kereta. Wanita dengan pakaian modis dan bibir merona merah itu menatap arloji di tangannya. "Mbak ...," Panggil Rinta dari kejauhan. Gadis itu setengah berlari sambil menyeret koper di tangan kanannya. Ajeng menatap pada arah sumber suara. Wanita itu lantas melambai dan tersenyum. Lega karena Rinta akhirnya datang, sementara jam keberangkatan kereta sebentar lagi. "Mbak Ajeng udah lama nunggunya? Maaf ya, aku tadi pamitan dulu sama Nenek." Rinta mengusap peluh di dahinya dengan punggung tangan. "Enggak papa, aku cuma khawatir aja kok kamu belum sampai," jawabnya. "Harusnya kamu pakai pesawat aja biar cepet, kenapa milih kereta." Wanita itu tak habis pikir, padahal dirinya siap membelikan tiket pesawat. Ketika Ajeng mengatakan akan membantu Rinta, maka dia bersungguh-sungguh akan hal itu. "Nggak apa-apa, mbak. Sudah lama aku gak naik kereta," jawabnya. "Ya sudah terserah kamu aja. Oh iya, ini sedikit uang saku untuk kamu. Anggaplah pesangon karena kamu resign dari butik mbak." Ajeng merogoh dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop yang terlihat tebal. Mata Rinta membulat, kedua tangannya reflek menghalau tangan Ajeng dan uang yang disodorkannya. "Enggak Mbak, gak usah. Aku gak mau terima itu, Mbak Ajeng udah banyak bantuin aku selama ini. Bahkan sampai detik ini aku bisa melakukan ini semua karena bantuan Mbak Ajeng." Rinta terus menggeleng dan menghalau. Wajah Ajeng mengernyit. Tangannya terjulur dan meraih telapak tangan Rinta dengan sedikit memaksa. "Ambil ini, atau aku akan marah sama kamu. Ini hak kamu, ini pesangon kamu." Dengan sedikit menekan Ajeng meletakkan uang itu pada genggaman Rinta. "Tapi Mbak ...." Ajeng meletakkan telunjuk di bibirnya sendiri, sebagai jawaban bahwa dia tidak ingin mendengar apapun dari bibir Rinta. "Sekarang kamu siap-siap, kereta kamu sebentar lagi datang. Alamat kontrakan dan butik teman Mbak, sudah Mbak kirim ke ponsel kamu. Kalau sampai sana, jangan lupa langsung hubungi aku ya," jelasnya seperti layaknya seorang kakak yang khawatir pada adiknya. *** Setelah hampir sepuluh jam perjalanan dengan kereta, Rinta akhirnya sampai di Jakarta menjelang subuh. Rasanya ibu kota seperti tak pernah tertidur. Di waktu sepagi ini, aktivitas manusia telah terjadi dengan ramai. Rinta segera memesan taksi melalui aplikasi di gawainya. Berharap pagi ini kemacetan belum parah seperti yang sering diberitakan di media televisi. Entahlah, ibu kota begitu identik dengan kemacetannya. Suara berisik kendaraan sudah terdengar ramai meski matahari saja masih terlelap di peraduannya. Beruntung, tak butuh waktu lama, taksi yang Rinta pesan telah tiba. Gadis itu segera masuk dan menunjukkan alamat yang ingin dia tuju. Kontrakan barunya. Jujur saja, matanya masih terasa berat oleh kantuk dan rasa lelah. Sampai-sampai Rinta tak menyadari bahwa dirinya terlelap, hingga akhirnya suara sopir taksi itu yang membangunkan dirinya. "Mbak, sudah sampai mbak," ucapnya dengan sedikit keras. "Ahh?" Rinta terkejut saat membuka mata. Matahari sudah muncul dengan malu-malu. Mereka telah berhenti di sebuah gang kecil masuk arah perumahan sederhana. "Ma-maaf, Pak. Saya ketiduran," ucapnya sambil mengusap-usap matanya. "Nggak apa-apa, Mbak, mari saya bantu." Sopir taksi itu lantas keluar dan membantu mengeluarkan koper dan tas milik Rinta. Gadis itu menggeliat sebentar. Merasakan tubuhnya yang kaku dan penat. Dia keluar, merogoh dompetnya untuk membayar secara cash dan berterimakasih. Rinta meraih koper dan menggendong tas di punggungnya. Gadis itu berjalan masuk, melewati beberap petak rumah dengan ukuran yang hampir sama. Matanya menyapu tempat itu, dan memindai sebuah rumah dengan ukuran besar berlantai dua. Itu adalah rumah pemilik kontrakan. Dengan gegas dia mendatangi Rumah itu, seorang wanita berbadan gemuk berpakaian daster bunga-bunga dan roll rambut di kepalanya tengah menjemur pakaian. "Maaf permisi, Bu," sapanya dengan sopan. Wanita itu berbalik, tersenyum ke arah Rinta sambil memindai gadis itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Ya?" Tanyanya lantas menatap wajah Rinta yang gugup dan lelah. "Yang mau ngontrak baru ya? Dari luar kota?" Tanyanya berlanjut. Rinta tersenyum senang. "Iya, Bu. Benar," jawabnya. Mbak Ajeng benar-benar bertanggung jawab atas dirinya dengan baik. "Tunggu sebentar, saya ambil kunci di dalam." Wanita itu mengusap tangannya yang basah ke dasternya yang telah berwarna pudar lantas berjalan memasuki rumah. Meninggalkan Rinta yang berdiri dengan koper di tangannya tanpa disuruh duduk. Rinta merasakan ada seseorang yang menatap ke arahnya. Gadis itu berputar, menatap sekeliling dan menemukan seorang lelaki dengan kaos berwarna gelap dan celana jeans selutut yang belel tengah duduk di teras kontrakannya menatap dengan tajam. "Ayo." Suara wanita pemilik kontrakan terdengar membuat Rinta lantas menoleh. "Ah iya, Bu." Dia mengikuti wanita itu melangkah ... Ke arah si lelaki yang menatap dirinya tadi??? "Ehm, Bu maaf. Jadi ini kontrakan campuran ya?" Sedikit sungkan dia bertanya. "Oh iya, di sini ada lelaki dan perempuan yang mengontrak," jawabnya dengan santai. Rinta sedikit bingung saat pemilik kontrakan ini menuju ke arah lelaki tadi. Apa maksudnya? "Nah ini kontrakannya," kata wanita berbadan gempal tadi berhenti tepat di samping kontrakan si lelaki yang sejak tadi menatap Rinta, membuat gadis itu benar-benar tak nyaman. "D-di sini, Bu?" Tanya Rinta gelagapan. "Iya, cuma rumah ini yang tersisa. Yang lain penuh, beruntung masih ada satu ini yang kosong." Wanita tua itu menyodorkan kunci pada Rinta. "Oh iya, sampai lupa, nama saya Lilis," ucapnya saat Rinta menerima kunci di tangannya. "Saya Rinta Bu, Larinta." Mereka berjabat tangan. "Ya sudah kalau begitu saya tinggal dulu, nanti tolong fotocopy identitas dibawa ke rumah saya ya." Rinta mengangguk mengerti, dan Bu Lilis berjalan kembali ke rumahnya. Rinta menatap wanita gemuk itu sampai menjauh. Merasa ada seseorang yang terus menatapnya, Rinta menoleh. Lelaki itu kini tersenyum padanya, dengan kikuk Rinta membalasnya dan mengangguk. Sebelum akhirnya berjalan cepat untuk masuk ke dalam rumahnya. "Hii orang aneh," gumamnya ngeri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD