Andro mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari. Lelaki itu tampak tak tenang dan gelisah. Beberapa waktu terakhir ini dia berhasil menahan dirinya mati-matian untuk tidak menemui atupun menghubungi Rinta.
Tidakkah dia rindu? Tentu saja, rasanya hampir sekarat menahan perasaan itu. Namun perkataan Rinta tempo lalu tentang perasaannya pada Andro sangat menyakitinya.
Pemuda itu tak yakin bahwa apa yang diucapkan Rinta adalah sebuah kebenaran. Dia tak percaya, setidaknya itulah yang selalu diteriakkan hati kecilnya.
Andro dilema tentang apa yang harus dia lakukan kini? Pemuda itu mengangkat ponselnya, menggulir layar pada gawai pipih dengan logo apel di belakanganya. Dengan gamang dia menekan nomor Rinta lantas menekan tombol panggilan pada layar itu.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan."
Andro mengernyit mendengar mesin penjawab otomatis, sekali lagi pemuda itu menekan dial. Dan jawaban yang sama dia dapatkan.
Apa nomernya telah diblokir? Pertanyaan itu muncul seketika di kepalanya. Dengan lemas dia merebahkan punggungnya pada sandaran kursi.
Sejak terakhir kali Andro bertemu dengan Rinta waktu itu, sejak itu pula dia tak menghubungi gadis itu lagi. Namun tetap saja, hati kecilnya tidak bisa berbohong, dia masih ingin memperjuangkan Rinta. Andro tak percaya bahwa Rinta tak mencintainya lagi, itu tidak masuk akal. Dia bertekad akan berjuang satu kali lagi.
***
"Kalo gitu saya permisi ya buk, terimakasih," ucap Rinta sambil pamit membawa satu kotak puding yang tersisa di tangannya.
Hari ini dia membuat puding buah dan membagikannya pada tetangga-tetangga barunya di komplek kontrakan itu. Ada sekitar lima kotak puding yang sudah dia antar kepada tetangganya sebagai bentuk perkenalan. Dan kini tinggal tersisa satu kotak lagi, dan itu untuk tetangga sebelah rumahnya. Pemuda aneh yang kemarin menatapnya saat dirinya baru datang.
Dengan perlahan Rinta menuju ke depan rumah pemuda itu, motornya masih terparkir di teras kecilnya. Rinta yakin pemuda itu masih ada di rumah.
Gadis itu menjulurkan tangan, ragu-ragu untuk mengetuk pintu yang tertutup rapat. Setiap kali hendak mengetuk, hatinya mengurungkan niat itu.
Rinta menarik napas dan mengembuskannya sekali lagi, dan menjulurkan tangannya dengan mantab. Namun belum sempat dia mendaratkan tangannya pada pintu kayu itu, lebih dulu benda itu terbuka.
"Oh, hai?!" Sapa pemuda itu tepat di depan Rinta dengan wajah terkejut.
Wajah Rinta memucat karena sama terkejutnya. Yang bisa dia lakukan hanya tersenyum dengan canggung.
"Hai, ehmm ... S-saya tetangga baru," ucapnya sambil menunjuk rumahnya tepat di samping rumah milik lelaki ini.
"Saya tahu, duduk dulu," jawabnya sambil menggiring Rinta duduk di kursi kayu di teras rumahnya itu. Mau tak mau gadis itu menurut.
"Oh iya lupa, saya Bara. Kalau kamu?" Tanya Bara sambil menjulurkan tangannya saat mereka berdua tengah duduk bersisihan di kursi teras tersebut.
Rinta tersenyum, masih senyum canggung yang sama. "Saya Rinta, Mas. Larinta."
Bara mengangguk dan menyinggungkan senyum yang khas. "Namanya cantik, sama seperti orangnya."
Rinta hanya bisa nyengir masam menunjukan deretan giginya yang rapi. Lihat? Lelaki ini belum apa-apa sudah mencoba merayunya dengan pujian khas buaya.
"Oh iya, ini saya kebetulan bikin puding, anggaplah sebagai salam perkenalan saya." Rinta menjulurkan kotak bening dengan isian puding berwarna putih dengan hiasan potongan buah yang terlihat segar.
Beruntung tempat tinggalnya ini tak begitu jauh dari supermarket yang biasa menjual berbagai bahan makanan. Tak susah bagi Rinta untuk menyiapkan ini semua.
"Ehm, terima kasih banyak ya," ucap Bara sambil tersenyum manis.
Mata Bara menghilang saat dia tersenyum, lucu sekali. Wajahnya terbilang tampan dengan kulit sawo matang. Alis matanya tebal dan memiliki lesung Pipit di kedua pipinya. Rambutnya yang hitam legam dibiarkan sedikit panjang di bagian depan. Masih basah, rambut masih basah.
Rinta bisa mencium aroma shampo dan sabun yang menguar dari tubuh pemuda ini.
Jika dilihat-lihat tinggi dan proporsi tubuhnya hampir sama dengan Andro. Ah, Andro, pemuda yang ingin sekali Rinta lupakan, ingin sekali Rinta hapus dari hati dan cintanya. lelaki yang telah dia tinggalkan di kota dan kenangan yang lama, yang bahkan nomornya telah dia blokir.
"Oh, iya. Jadi kamu ini berasal dari mana?" Tanyanya sambil membuka kotak puding yang Rinta bawa.
"Saya dari Surabaya, mas," jawabnya dengan sopan. Meski sebenarnya Bara justru terlihat sangat santai dan tidak kaku sama sekali.
"Boleh aku makan?" Tanyanya sambil melepas sendok plastik yang melekat di sisi samping box puding itu.
"Silakan." Rinta mengangguk cepat.
Bara tersenyum dan terlihat antusias dengan pudingnya. Dia menyendok benda itu dan menjejalkan satu suapan ke mulutnya. Matanya berbinar sambil mengunyah. "Enak," ucapnya di sela-sela kunyahannya.
Mau tak mau sebuah tawa kecil meluncur dari bibir Rinta. Tawa yang baru pertama kali Bara lihat sejak pertama kali bertemu gadis ini. "Cantik," gumamnya.
"Maaf?" Tanya Rinta saat mendengar Bara menggumam tapi tidak begitu jelas di telinganya.
"Oh, enggak, pudingnya cantik," jawabnya sambil sedikit mengangkat kotak itu.
***
"Rinta tidak ada di rumah," kata Nenek Maryamah.
Dahi Andro mengernyit bingung. "Tapi tadi Andro coba hubungi tempat kerjanya, Rinta juga gak ada di sana, Nek."
Lantaran tadi dirinya mencoba menghubungi telepon butik namun mereka bilang Rinta tidak ada disana. Kenapa semua orang berbohong padanya? Tidakkah mereka punya sedikit saja perasaan untuk sekedar membantunya bertemu dengan gadis itu.
"Nak Andro, lebih baik Nak Andro tidak usah lagi mencari Rinta. Rinta sudah tidak ada di sini, jadi percuma kalau Nak Andro terus mencari Rinta kemari setiap hari. Tidak akan bertemu," terang Nenek.
Sejujurnya wanita sepuh itu tak sampai hati melihat bagaimana kegigihan pemuda ini terhadap cucunya. Dirinya benar-benar tak mengerti apa yang menyebabkan hubungan mereka berdua yang terjalin cukup lama dan sangat baik, berubah menjadi seperti sekarang ini?
"Maksud Nenek apa? Rinta pergi dari sini maksudnya Rinta pergi dari rumah?" Mata Andro membeliak tak mengerti sekaligus terkejut setengah mati.
Nenek Maryamah mengangguk.
"Tapi kenapa, Nek?" Tanya Andro frustrasi.
Wanita tua itu menggeleng. "Seharusnya Nenek yang bertanya pada Nak Andro, apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian?"
Andro menggeleng kuat-kuat. "Andro sendiri gak tahu apa yang sebenarnya membuat Rinta seperti ini, Nek."
Pemuda itu hampir menangis kala mengingat semua yang terjadi dan terucap dari bibir Rinta beberapa waktu terakhir lalu.
"Terlalu banyak alasan yang gak masuk akal yang dikatakan Rinta. Dia bilang dia gak pantas untuk Andro, dia bilang dia muak, dan terakhir kali Rinta bilang dia sudah menemukan orang lain," jelasnya dengan suara gemetar. Pemuda itu memegang kepalanya dengan kedua tangan. Rasanya mau pecah!
Nenek terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar. Rinta menemukan orang lain? Demi apapun, wanita sepuh itu tidak akan percaya cucu kesayangannya seperti itu? Lantas apa alasan sesungguhnya? Hanya Rinta yang tahu.
"Nenek benar-benar tidak punya alamat tempat dimana Rinta pergi?" Andro menatap Nenek Maryamah penuh pengharapan.
Wanita tua itu menggeleng. "Dia tak sepenuhnya bohong, Rinta memberitahunya tentang kota tujuannya, namun tidak dengan alamat lengkapnya.
"Nenek jangan bohong!" Andro putus asa.
"Nenek benar-benar tidak tahu," jawab lansia itu lirih.
Andro menyugar rambutnya dengan kasar.
"Mbak Ajeng, Mbak Ajeng pasti tahu," ucapnya dengan yakin.