Seminggu berlalu, Rinta sudah mulai bekerja di butik yang baru. Bertempat di kawasan yang padat dan sibuk, ada di tengah kota. Pekerjaannya menjadi jauh lebih sibuk dibandingkan saat di butik mbak Ajeng.
Jam makan siang hampir selesai, ponselnya berdering.
"Hallo, Mbak," sapanya saat mengetahui panggilan itu berasal dari Ajeng, mantan bosnya.
"Rin, kamu lagi istirahat?" Suara yang nyaring itu terdengar dari seberang sana.
"Iya mbak, habis makan siang." Rinta menyeka bibirnya dengan tissu.
"Gimana? Betah kamu di situ?"
Gadis itu tersenyum kecil. "Lumayan mbak, tapi aku kangen Manganti," jawabnya sambil mengingat bagaimana kesehariannya dahulu di butik Manganti milik Mbak Ajeng.
"Lama-lama kamu juga akan terbiasa di situ," sahut Ajeng. "Oh, iya, Rin. Sudah beberapa kali Andro datang kesini nyari kamu lagi," lanjutnya.
Hati Rinta berdesir mendengar nama itu lagi. Tak ayal dia mengernyit.
"Kenapa dia cari aku lagi, Mbak? Padahal setelah waktu itu dia gak pernah muncul lagi." Rinta masih ingat, Andro menghilang dan berhenti menemuinya setelah pertemuan terakhir mereka kala itu.
"Aku sendiri gak tau, Rin. Yang pasti dia tahu kamu gak ada di Surabaya lagi," kata Ajeng dengan nada yang sedikit khawatir.
"Darimana dia tahu? Apa nenek yang bilang ya, Mbak?"
"Mungkin begitu, dia pasti datang ke rumah kamu untuk cari kamu sebelum ini dan akhirnya dia tahu kalau kamu sudah tidak ada di kota ini."
Rinta semakin risau. "Jangan sampai dia tahu aku ada di sini ya, Mbak. Pokoknya jangan sampai dia tahu aku ada di Jakarta. Aku gak mau ketemu dia lagi," pinta Rinta dengan cemas.
"Iya, Rin. Aku juga berusaha untuk menghalau dia setiap kali kesini, tapi kamu tahu, dia itu lelaki yang tidak gampang menyerah."
"Aku tahu, mbak. Sangat tahu," jawab Rinta lirih.
"Kamu sendiri gimana sekarang? Cepat atau lambat kamu juga harus lupain Andro, Rin."
"Iya, Mbak, tapi rasanya masih sulit banget sekarang. Kenangan kami terlalu banyak, cinta kami dulu terlalu dalam, Mbak. Itu gak mudah," kata Rinta.
"Mbak tahu, Rin. Semoga kamu segera dapat pacar baru, biar kalian cepat move on satu sama lain, ini udah gak bener kalau terus begini."
"Iya ...," Rinta menjawab tak bersemangat.
"Ya sudah kalau gitu ya, Rin. Kamu jaga diri baik-baik di sana. Kalau ada apa-apa jangan lupa kabari Mbak," pungkas Mbak Ajeng sebelum mengakhiri teleponnya.
"Iya, Mbak, makasih banyak ya Mbak, dan maaf setiap hari aku selalu ngrepotin Mbak Ajeng terus." Ada nada sedih di kalimat itu.
"Enggak, Rin, kamu tenang aja. Oke, Mbak tutup dulu ya sekarang."
"Iya mbak, Makasih ya," tutup Rinta sebelum benar-benar mengakhiri panggilan itu.
Rinta menatap lurus ke depan dengan gamang dan gelisah.
"Andro," gumamnya.
Bohong kalau dia bilang, dia sudah melupakan pemuda itu. Bohong kalau dia bilang dia tak cinta lagi. Bodoh memang, bagaimana perasaan cinta itu masih terus subur di hatinya saat dia telah tahu bahwa Andro adalah adiknya? Anak dari ayahnya juga?
Terkadang Rinta benar-benar mengutuki dirinya sendiri. Bagaimana hatinya tetap bertahan pada cinta yang salah. Ayolah, dia harus mulai bangun dan sadar.
Mengapa sejauh apapun jarak yang memisahkan dirinya dan Andro kini, rasanya tak sedikitpun mengurangi perasaan itu. Seperti kata orang, raga menjauh namun hati selalu dekat. Sayangnya itu adalah hal yang dosa. Dosa!!
"Uhh, ayo dong Rinta, mikir," gumamnya sambil memijit keningnya sendiri.
Apa memiliki kekasih baru bisa menjadi solusi dari ini semua? Membuka hati untuk orang lain? Apakah akan semudah itu? Entahlah, pertanyaan itu mendadak mengisi relung hati Rinta.
***
"Andro, kamu dari mana?" Sang mama begitu khawatir melihat putra satu-satunya itu masuk ke dalam rumah dalam keadaan sempoyongan, seperti yang selalu dia lakukan setiap malam selama hampir lebih dari satu bulan ini.
Pemuda itu berjalan melewati sang mama tanpa menjawabnya.
Ibu mana yang tak khawatir melihat perubahan putranya yang sedemikian drastis. Andromeda-nya yang selalu menjadi anak yang baik dan sopan selama ini berubah menjadi pemabuk, semrawut, dan tak terarah.
Rosita tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Andro tak pernah mau menceritakan semuanya. Hanya saja suatu malam, Rosita pernah mendengar Andro menyebut-nyebut nama Rinta dalam tidurnya.
Kehidupan Andro yang seperti sekarang ini sudah tidak benar. Dia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya menjadi lebih buruk lagi.
Dengan gegas dia naik menuju kamar Andro. Pintu kamar itu yak tertutup, Rosita masuk. Mendapati Andro yang tengah menangis sambil menutup wajahnya di atas ranjang.
Hati ibu mana yang tak terluka melihat putranya terluka?
Dengan perlahan dia mendekati sang putra kesayangannya.
"Sebenarnya kamu ada masalah apa sih? Jangan bikin mama khawatir. Kenapa kamu jadi sering pulang mabuk begini, Ndro?" Dengan lembut dia mengusap bahu Andro.
Andro mengangkat wajahnya yang memerah dan basah. Menyedihkan, anak lelaki kebanggannya itu terlihat sangat menyedihkan.
"Andro sama Rinta putus, ma." Dia berusaha bercerita. Hatinya butuh sandaran.
"Kenapa?" Tanya sang Mama mengernyitkan dahi.
Andro menggeleng. "Andro sendiri gak tau, kenapa Rinta ngotot sekali minta putus. Padahal sebelumnya kami baik-baik saja. Dia bilang Andro terlalu baik untuk dia sampai dia muak. Dia bilang dia punya orang lain sekarang, dan lebih parahnya sekarang ini dia pergi, ma."
Rosita semakin bingung. "Pergi kemana?"
Pemuda itu menggeleng dengan frustrasi. "Andro gak tahu, Ma. Nggak tahu."
Anak lelakinya itu terlihat semakin buruk dan tertekan. Dia bisa melihat bagaimana hancurnya hati sang putra, sebab Rosita sangat tahu, Andro adalah pemuda dengan hati yang tulus.
"Ya sudah, sudah, sekarang jangan dipikirkan dulu. Kamu perlu istirahat, jangan seperti ini. Lupakan ini untuk sekarang, lebih baik kamu mandi, langsung tidur. Oke?!" Rosita mengelus kepala anak kesayangannya itu. Andro hanya mengangguk.
Rosita berjalan keluar kamar sang putra dengan pikiran yang sama berkecamuk. Dia bisa melihat bagaimana Andro begitu terluka dan terpuruk. Ibu mana yang tega melihat putranya seperti ini? Dia harus melakukan sesuatu.
Jika Rinta yang memilih pergi dari putranya, maka itu sudah menjadi kerugian Rinta sendiri. Tak ada yang perlu dilakukan untuk gadis itu. Tapi Andro berhak mendapatkan kebahagiaan lain, bukan?
Banyak gadis-gadis baik dan terhormat di luar sana yang akan mengantri untuk putranya, Andro. Rosita bukan orang sembarangan, teman-teman bisnisnya, teman-teman arisannya punya putri-putri yang jauh lebih cantik dibanding Rinta, memiliki pendidikan bagus dan terpandang.
Bukan perkara sulit baginya untuk mendapatkan calon istri yang sempurna bagi putranya.
"Mama akan berikan kamu calon istri yang jauh lebih baik segalanya dari, Rinta, sayang. Mama janji, kamu gak perlu khawatir. Kamu tampan, berpendidikan, dan dari keluarga terpandang. Akan banyak gadis yang berlomba-lomba untuk jadi istri kamu." Wanita itu bergumam sendirian di depan kamar Andro. Tekadnya sudah bulat, Andro akan segera memiliki calon istri yang lebih baik. Dia akan berikan itu.