Bab 4 : Pergi Dengan Sejuta Luka

1087 Words
Calista terduduk lemas di lantai, bentakan ayah pada ibunya membuat matanya mulai berkaca-kaca. Walaupun ia masih kecil.Tapi, ia mengerti apa yang diucapkan oleh Julius. Apalagi, barusan Julius menyebutnya anak sialan. “Tutup mulutmu Julius, dia putrimu!” teriak Sahila. Calista menoleh ke arah sang ibu, ternyata sang ibu baru saja menampar Julius dan berteriak di hadapan wajah sang ayah. Ia yang tadinya ingin menunggu ibunya untuk pergi ke kamar, membatalkan niatnya kala mendengar pertengkaran yang terjadi di antara kedua orang tuanya. “Berani sekali kau menamparku,” ucap Julius. Rupanya, Sahila marah karena Julius menghina Calista dan menyebut Calista sebagai anak Sahila. Ia akan tahan ketika Julius hanya menghinanya. Tapi ia tidak akan tahan, jika Julius menghina putrinya. Namun, setelah menampar Julius, Sahila tersadar. Ia tak seharusnya melakukan itu pada Julius, karena walau bagaimanapun ia masih butuh belas kasihan dari Julius. Bukan untuknya tapi untuk putrinya, ia tidak ingin Calista hidup kekurangan dan jika Julius mengusirnya ia bingung harus berteduh di mana, sedangkan ia tidak mempunyai siapapun. “Ju-Julius ... maafkan aku,” ucap Sahila. Julius maju ke arah Sahila kemudian ia mencengkram pipi Sahila. “Berani sekali kau menamparku. Apa kau ingin, aku membalasmu berkali-kali lipat!” bentak Julius dan itu sungguh menakutkan di mata Sahila. Ia benar-benar menyesal telah menampar Julius. “Sekarang, dengarkan ini. Cepat, kemasi barang-barangmu. Kau hanya boleh mengemasi baju-bajumu dan baju anak sialan itu, kemudian pergi dari rumah ini dan jangan pernah menampakan lagi dirimu di hadapanku!” kata Julius, setelah itu, ia menghempaskan wajah Sahila dengan kasar. “Aku memberimu waktu satu jam, cepat bereskan pakaianmu, jika tidak,l kalian akan pergi tanpa apapun!” bentak Julius. Saat Sahila masih terdiam di tempat. Dengan kaki yang gemetar, Sahila pun mulai berjalan, kemudian ke arah kamar. Saat masuk ke dalam kamar, ia terkesiap ketika melihat ada Calista di kamarnya dan sedang menangis dipelukan Bi Ina. Ia pikir, Calista pergi ke kamarnya sendiri. Tapi ternyata, ia salah, Calista malah di kamarnya. “Bi Ina ....” panggil Sahila, ia menatap Bi Ina dengan tatapan yang benar-benar hancur. Seketika Sahila pun berlari ke arah Bi Ina, kemudian memeluk wanita paruh baya itu. Walaupun hanya sebagai pekerja. Tapi, Sahila sudah menganggap Bi Ina sebagai ibunya. “Bi Ina ....” Sahila hanya mampu memanggil Bi Ina dengan berderai air mata. Setelah puas menumpahkan tangisannya, Sahila melihat ke arah Calista yang tampak berdiri dengan tatapan kosong. Gadis kecil itu, setidaknya mengerti bahwa ia dan ibunya diusir oleh sang ayah. Perlahan, Sahila berjalan ke arah Calista kemudian ia menekuk kakinya lalu menyetarakan diri dengan sang putri. “Calista, kau jangan khawatir. Kita bisa meminta pertolongan pada kakek,” ucapnya. Sekarang, satu-satunya tumpuan adalah ayah mertuanya, satu-satunya orang yang peduli padanya. Calista tidak menjawab, ia hanya menatap wajah sang ibu dalam-dalam, kemudian tangan kecilnya tergerak mengelus air mata ibunya, membuat pelupuk mata Sahila kembali berlinang. Hingga Ia pun langsung memeluk sang Putri. “Tuhan apakah kau akan memberikan rasa sakit yang lebih dari ini?” batin Sahila menjerit perih, entah bagaimana ia bisa menghadapi hari-hari ke depannya. “Ibu, ayo pergi.” Tiba-tiba gadis kecil itu berbicara dengan suara yang lirih, membuat Sahila melepaskan pelukannya dari Calista, kemudian menatap dalam-dalam wajah putrinya. “Ibu akan membereskan baju ibu dulu. Kau membereskan pakaianmu bersama Bi Ina ya," kata Sahila “Bi, tolong bibi ajak Calista untuk ke kamarnya!” kata Sahila, Bi Ina pun mengangguk. Setelah Calista pergi, tubuh Sahila ambruk di lantai kemudian ia menangis sejadi-jadinya seraya memukul dadanya yang terasa sesak *** Calista berjalan di belakang tubuh sang ibu, di tangannya sudah memeluk satu boneka kesayangannya. Sedangkan Sahila berjalan ke arah Julius yang menunggunya di depan pintu. Ia berjalan, sambil menyeret dua koper besar di mana koper itu berisi pakaiannya dan pakaian putrinya. “Baguslah jika kalian sudah selesai, cepat pergi dari sini!” kata Julius. Sahila berusaha menegarkan hatinya, ia tahu akan percuma, jika ia terus mengemis di hadapan Julius. Ia menatap Julius, kemudian menatap ke arah Calista. “Calista ayo cium tangan ayah ....” kata Sahila. Walau bagaimanapun ia tidak ingin mengajarkan Calista membenci Julius. “Tidak perlu, pergi sana!” kata Julius dengan sadis, Sahila menggigit bibirnya, ia mati-matian untuk tidak menangis. Kemudian, ia menoleh ke arah belakang. “Ayo Calista.” Sahila pun melewati tubuh Julius begitu saja, disusul oleh Calista. “Tunggu!” kata Julius tiba-tiba, hingga Sahila dan Calista kembali menoleh. “Lepaskan boneka itu!” kata Julius, membuat Calista langsung menatap sang ibu. Mata gadis kecil itu langsung membasah, ketika Julius meminta boneka yang ia sedang peluk. Boneka itu adalah hadiah dari Aiman untuk Calista dan itu boneka kesayangannya. Tapi Julius dengan tega tidak memperbolehkan Calista membawa boneka tersebut. Saat ini, Julius benar-benar ingin puas melihat luka di mata Sahila dan Calista. Ia ingin melihat Sahila menderita untuk yang terakhir kalinya. Sahila menghirup udara sebanyak-banyaknya, kemudian menatap Calista. “Calista, ayo berikan boneka itu pada ayah!” pinta Sahila, ia ingin sekali menangis sekencang-kencangnya ketika melihat ekspresi wajah Calista, namun ia tahan. Mendengar ucapan sang ibu, kedua mata Calista mulai berlinang, ia memeluk boneka yang ia pegang semakin erat, pertanda ia tidak mau memberikan boneka itu pada ayahnya. Boneka itu satu-satunya pemberian dari kakeknya yang tidak diambil kakak sepupunya dan yang terpenting itu adalah pemberian dari Aiman, orang yang satu-satunya peduli padanya dan kini sang ayah malah mengambilnya. “Calista ayo, berikan pada ayah, Nak!” kata Sahila mengulangi, ia berusaha membujuk sang putri agar Calista mau memberikan boneka itu pada Sahila. Sahila menggeleng. “Tidak ibu, ini punyaku!” Calista memepetkan tubuhnya pada tubuh Sahila, membuat Julius menggeram kesal. “Aku mohon, Bu. jangan biarkan boneka ini diambil ayah.” Calista berbicara pelan, tangannya memegang celana Sahila dengan erat. ia benar-benar takut sang ayah mengambil boneka kesayangannya. Melihat reaksi Calista, Julius menggeram, anak kecil di depannya ini benar-benar membuatnya kesal. Seketika Julius pun maju, kemudian ia mengambil paksa boneka itu dari tangan Sahila. “Kemarikan!” bentak Julius hingga boneka itu terlepas dari tangannya dan seketika itu juga Calista menelusupkan wajahnya pada punggung sang ibu, lalu menangis sejadi-jadinya. Rasanya begitu menyakitkan ketika Julius mengambil bonekanya dan setelah itu, tangis Sahila pun mulai berlinang. “Julius demi apapun, aku tidak akan memaafkan Apa yang kau lakukan pada pada kami. Selama 8 tahun ini aku diam. Tapi, sekarang aku berdoa semoga karma berat akan segera menghampirimu!” Sahila menatap Julius dengan tegar, kemudian ia menoleh ke arah Calista. “Ayo kita pergi, Calista!” Sahila sedikit menarik tangan Calista dengan keras, hingga mereka pun langsung keluar dari kediaman Julius. BERSAMBUNG.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD