1- Tidak Semua Orang Baik

1214 Words
Tujuh tahun yang lalu... “ Je. Kamu dengerin aku nggak sih?” Medusa—panggilan kesayangan Jean untuk sahabatnya—Melisa, gadis itu menoel apple cheeks miliknya. “ Eh? Iya. Sampai mana kita tadi?” Jean yang sejak tadi fokus dengan layar ponselnya kemudian meletakkan benda pipih itu di atas meja, di samping jus sirsaknya yang masih belum tersentuh. Tangannya pun meraih gelas berisi jus itu dan meminumnya. “ Ini. Kita dapet kelas Farmakoterapi. Kelas pagi juga kayak yang kamu mau.” Jean mengangguk-angguk. “ Syukurlah. Aku jadi tetap bisa kerja.” “ Oh iya. Aku juga dapet chat di grup angkatan. Kita sudah bisa ngajuin judul buat proposal. Kamu jadi kan ambil farmakologi?” “ Iya. Tapi kalo bisa sih kita cari proyek dosen.” Melisa mengerutkan keningnya. “ Nanti aku cari info deh. Biasanya banyak proyek dosen sih tapi kan pasti diseleksi. Kamu sih pasti lolos soalnya IPK kamu tinggi. Nggak pas-pasan kayak aku.” “ IP farmakologi kamu bagus semua kali. Harusnya bisa lolos.” Jean berusaha menyemangati. Melisa ini memang tipe-tipe manusia yang selalu insecure soal ilmu. Dia selalu merasa bahwa otaknya pas-pasan. Tapi kalau soal asmara, Melisa yang paling punya tingkat kepercayaan tinggi. Tak salah karena memang wajahnya yang manis khas perempuan-perempuan Jawa yang kalem. Kalem wajahnya saja ya, tingkahnya sih sebelas dua belas sama cacing kepanasan, alias nggak bisa diam. “ Iya sih. Tapi tergantung dosen juga deh. Banyak yang pemilih banget kan. Semoga saja deh.” “ Nanti aku juga cari-cari info soal projek deh. Sekarang aku mau cabut dulu.” “ Ke klinik lagi?” Jean mengangguk lesu. “ Banyak minusan. Sebel banget deh aku.” “ Tiap kamu dinas perasaan ada minusan mulu. Orang-orangnya toksik itu pasti. Aku yakin!” Melisa kembali memanas-manasi apalagi dia tahu betul pekerjaan sampingan yang Jean jalani. Karena sebelumnya mereka kerja bersama hanya ia kemudian memilih mengundurkan diri agar bisa fokus kuliah. Menyadari otaknya tidak semampu itu untuk menjalani kuliah sambil kerja. Jean mengedikkan bahunya. “ Kalo permintaan pindah cabang aku nggak di-ACC kayaknya aku mending resign juga deh.” Melisa mengacungkan jempolnya. “ Kerjaan yang nungguin kamu banyak.” Ia kemudian mengepalkan tangan ke udara, “fighting!” Jean pun mengangguk lalu segera pergi dari sana. Langkah kakinya yang selalu cepat menuju ke halte transjakarta karena memang lokasi klinik tempatnya bekerja cukup jauh. Melewati jembatan Semanggi yang panjangnya mengalahkan jalur marathon saja sudah biasa baginya. Jadi tak heran tubuhnya bisa langsing seperti orang yang sering berolahraga. Padahal olahraganya sendiri hanya berjalan cepat di halte atau sekedar mengejar bus yang akan segera berangkat demi menghemat beberapa menit waktu perjalanan. Begitu sampai di halte Bundaran Senayan, Jean turun dari bus dan berjalan menyebrang. Menuju salah satu mall tempat kliniknya berada. Sesampainya di sana, sudah ada beberapa orang yang tengah duduk di ruang karyawan yang luasnya hanya tiga kali enam meter. “ Minusannya belum ketemu juga?” Jean langsung bertanya pada Fahmi, staff admin yang setiap hari bekerja di ruangan itu. Ya ruang admin dan karyawan memang berbarengan. Jadi bisa dibayangkan betapa sempitnya ruangan itu ketika para karyawannya beristirahat atau sekedar bertukar shift. “ Belum ini. Masih kurang tujuh puluh ribu. Barangnya juga belum ketemu.” Jean berdecak lalu menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. “ Aku cek lagi deh. Takutnya ada barang yang nyelip. Aku yakin nggak ngasih kelebihan kok.” Fahmi mengangguk. Salah satu wanita yang duduk di kursi sembari memoles wajahnya dengan makeup sedikit melirik ke arah Jean. Bola matanya memutar dengan malas. “ Susah memang kalo kerja sama mahasiswi. Suka nggak bisa fokus ke satu tujuan,” ucapnya pelan tapi dapat terdengar jelas oleh Jean maupun Fahmi dan beberapa karyawan di sana. Jean menghela nafas kasar. Wanita yang usianya terpaut sepuluh tahun lebih tua darinya itu memang sejak awal tak suka dengan keberadaannya di sini. Apalagi manajer area klinik itu sering memuji Jean yang kinerjanya bagus. Meskipun ada minus pasti bisa ditemukan dengan baik. Tapi karena keseringan minus, ia dikira tak becus bekerja. Namun Jean tahu, hanya Rita—satu-satunya staff yang begitu membencinya. Berusaha tak memperdulikan ucapan Rita, Jean langsung masuk ke ruang stok obat. Lalu menutup pintu pembatas cukup keras sebagai peringatan untuk wanita yang tengah hamil tua itu. Jean berharap sekali agar wanita itu segera mengambil cuti hamilnya, atau bila perlu nggak usah lanjut kerja lagi. Sayangnya Rita tipe karyawan yang totalitas tanpa batas. Sudah menginjak usia kandungan delapan bulan saja belum rela mengambil cutinya. Apa dia tidak khawatir? Jean mulai menyusuri rak-rak yang berisi obat-obatan itu. Memang sangat banyak obat di sana tapi semua sudah diatur sedemikian rupa agar teratur. “ Coba dilihat-lihat kali saja nyasar ke kotak lain. Biasanya kan begitu,” ucap Vini—salah satu staff yang saat itu bertugas di dalam apotek. “ Iya sih. Cuma kalo keseringan gini kok kayak dikerjain ya.” Jean mendengus sebal sembari matanya tak lepas menyusuri setiap sudut rak sampai ke pojok-pojoknya, takut ada yang terlewat. Vini tersenyum geli. “ Kayak nggak tahu saja. Sabar saja, minggu depan dia sudah cuti kok.” “ Syukurlah. Semoga dia sayang banget sama bayinya dan nggak tega ninggalin nanti terus resign deh.” Jean berucap dengan nada sebal. “ Aku aminin deh.” Vini tersenyum lagi. Setelah beberapa menit mencari, mata Jean tertuju pada tumpukan kardus di bagian sudut rak. Padahal ia merasa sudah merapihkannya kemarin setelah menyetok obat ke rak-raknya seperti biasa karena memang kemarin jadwal datang barang. Ia pun mengambil tumpukan kardus itu dan tiba-tiba satu botol sirup menggelinding tepat berhenti di kakinya. Seketika ia menghela nafas dan mengambil botol berwarna merah muda itu. “ Ini kenapa juga kardus masih di sini. Padahal semalem sudah aku keluarin buat diambil sama petugas kebersihan.” “ Oh. Itu Rita yang naruh. Katanya mau dipake kardusnya.” “ Buat apaan dia pakai kardus? Buat lahirin anaknya?” Jean tampak kesal. Lagi-lagi semua karena manusia bernama Rita itu. “ Ngaco deh. Memangnya dia kucing.” Vini tergelak. “ Iya! Kucing garong!” Jean langsung saja keluar dari ruang apotek ke ruangan staff. Sayangnya yang dicari sudah duduk manis di depan kasir saat ia melihat ke arah CCTV. “ Ada ini sirupnya, kak. Sekalian ini kardus-kardus aku taruh di lokernya Rita ya.” Ia memang malas memanggil Rita dengan sebutan ‘kak’. Baginya sebutan kak hanya untuk orang-orang yang memiliki sikap dewasa, bukan kekanakan seperti Rita itu. Usia saja dewasa, tapi sangat picik. “ Loh, kardusnya kok masih di dalam sih?” tanya Fahmi keheranan. “ Tanya itu temenmu kak. Buat apa dia ngumpulin kardus. Apa kekurangan biaya?” Jean melengos kembali ke apotek setelah meletakkan tumpukan kardus di depan loker Rita. Biar tahu rasa! Seperti dugaan Jean, Rita tampak kesal melihat tumpukan kardus di depan lokernya lalu melirik ke arah pintu pembatas yang tertutup rapat. “ Lain kali jangan numpuk-numpukin kardus di apotek. Kalau audit datang kan bisa gawat,” ucap Fahmi yang tak menyadari tatapan kesal di mata Rita karena terlalu fokus dengan laptopnya. Rita berdecak pelan, mengambil tumpukan kardus itu dan membuangnya ke plastik sampah. “ Loh kirain mau dibawa pulang.” Jean dengan sengaja keluar dari apotek, berpura-pura mengambil air mineral. Rita menatap Jean begitu tajam seolah tatapannya mampu menusuk siapapun. “ Tinggal buang saja kok repot.” Ia kembali keluar dari ruang karyawan ke meja kasir. “ Susah deh kalau orang selalu merasa benar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD