"Maaf nona, tapi aku bukan supir taksi."
Nadia menatap punggung pria itu tanpa bisa melihat wajahnya karena pria itu duduk di kursi depan kemudi sedangkan dia di kursi penumpang belakang. Tapi karena pikiran dan emosinya sedang sangat kacau, dia tidak bisa berpikir jernih dan hanya ingin cepat sampai di rumah untuk melampiaskan kesedihannya di atas bantal. Dia pun tidak perduli keadaan sekarang. Apakah pria itu supir taksi atau bukan atau pun orang jahat atau baik.
"Aku minta maaf jika anda bukan supir taksi. Tapi dalam keadaan hujan seperti ini, aku tidak tau di mana harus mendapatkan taksi. Jadi, aku sangat mengharapkan bantuan anda untuk mengantarkanku. Nanti akan aku bayar lebih dari ongkos taksi."
Pria itu menyeringai penuh arti. Dipandangnya Nadia dari kaca tengah tersebut. Dia mendapati mata sendu yang berair, hidung yang bentuknya sempurna, kerangka wajah yang pas, dan bibir berisi yang memikat. Meskipun dirinya sudah banyak mencicipi wanita yang kecantikannya tidak diragukan, Nadia terlihat sangat memikat. Dan... membuat penasaran.
Dia jadi ingin mencicipinya juga.
Pria itu berdehem sebelum akhirnya menjawab. "Baiklah. Aku akan mengantarmu sampai ke alamat tujuan."
"Terima kasih sebelumnya. Rumahku tepatnya ada di Blok B nomer dua belas."
Mesin mobil menyala. Tak lama kemudian, mobil itu meninggalkan tempatnya menuju Griya Permadani.
Perjalanan ke sana sepi tanpa obrolan. Nadia memilih untuk mengalihkan pandang ke luar jendela yang hujan sembari terus menangis mengingat apa yang sedang menimpanya. Dia tidak bisa membayangkan kalau Gandi benar-benar menikahi Putri. Jangan ditanya bagaimana perasaannya jika itu benar-benar terjadi.
Tak ada wanita yang ingin di duakan. Jangankan dimadu, suami dekat dengan wanita lain saja hati cemburu.
Sementara pria yang mengemudi, sesekali melirik Nadia. Entah mengapa dia tidak bosan memandang.
'Siapa yang sudah membuat wanita secantik dan selembut itu menangis? Alangkah bodoh orang itu. Lihat saja, suatu hari dia akan jatuh ke dalam pelukanku,' gumamnya dalam hati.
Lima belas menit kemudian, mobil itu berhenti di depan sebuah rumah yang mengambil konsep minimalis modern tapi terkesan mewah.
"Kita sudah sampai," ucap pria itu. Tapi tetap tanpa menoleh.
Nadia mengusap basah di wajahnya dengan kasar. "Oh, iya. Maaf aku tidak memperhatikan."
Bahkan karena kesedihannya, dia tidak memperhatikan sekeliling.
Cepat dia membuka tas dan mengeluarkan uang seratus ribuan tiga lembar. Uang itu lalu diulurkan Nadia ke arah pria pengemudi itu. "Ini uang untuk ganti bensin."
Pria itu mengangkat tangan kirinya. "Tidak perlu. Aku tidak meminta bayaran. Simpan lagi saja uangnya." Lagi-lagi tetap tanpa menoleh.
"Jangan begitu. Aku sudah menghabiskan bensin, waktu, dan tenagamu." Nadia bersikeras.
"Sudahlah! Keluar saja dari mobilku sekarang! Atau aku meminta bayaran dengan sebuah ciuman!"
Kalimat itu terdengar dingin dan bernada ancaman. Nadia langsung merinding dan menelan saliva. Dia tidak berani untuk membantah.
"Ba-baiklah aku akan keluar sekarang juga. Terima kasih."
Nadia membuka pintu mobil sebelum akhirnya melangkah keluar. Tapi tanpa sepengetahuan pria itu, dia menyelipkan uang yang tadi diniatkan untuk membayar ke cekungan di pintu mobil.
Nadia berbalik dan hendak membungkukkan badan sebagai ucapan terima kasih, tapi mobil itu langsung tancap gas seolah marah.
Nadia terdiam. Memperhatikan mobil itu hingga hilang di balik tikungan. Dia baru sadar kenapa pengemudi itu tidak mau menerima uang darinya. Karena mobil yang ditumpanginya tadi adalah mobil mewah berharga miliaran rupiah. Itu menandakan pemiliknya adalah orang kaya raya. Dan orang kaya raya tidak akan mungkin menjadi supir taksi.
"Kenapa dia tadi mau mengantarkanku ya? Apa hanya karena aku memohon?" gumam Nadia lirih. Tapi karena hujan yang sempat mereda itu melebat kembali, akhirnya dia berlari masuk ke dalam rumah.
Di kamarnya, tangisnya kembali pecah begitu mengingat rencana orangtua Gandi yang hendak menikahkan suaminya itu dengan mantan pacar hingga lelah dan tertidur.
Setelah beberapa puluh menit kemudian, dia terbangun oleh suara pintu. Dia melihat Gandi masuk ke dalam kamar. Dia tidak ingat apakah dirinya lupa mengunci pintu sehingga Gandi bisa masuk.
"Mas baru pulang?" tanya Nadia sembari bangun dari baringnya.
Gandi menoleh sekilas. "Iya."
"Kenapa baru pulang, mas? Ini sudah jam berapa? Kenapa mas betah sekali di sana? Jangan-jangan, mas sudah menerima perjodohan dengan Putri." Nadia tidak bisa menahan untuk bertanya.
Gandi tidak langsung menjawab melainkan duduk di samping Nadia. Dia mengusap punggung Nadia yang ternyata lembab. "Kamu tidur dengan baju yang basah? Kamu bisa masuk angin kalau begini."
"Jangan mengalihkan pembicaraan, mas. Apa mas sudah menerima perjodohan mas dengan Putri?"
Gandi menarik tangannya dari punggung Nadia dan menundukkan wajah.
"Aku bingung harus menjawab apa, Nad. Jujur saja aku tidak ada niat untuk menikah lagi. Aku ini kan punya kamu. Bagi laki-laki menikah tidaklah semudah itu. Membagi kasih sayang itu sulit. Dan yang pasti, aku merasa belum sanggup menanggung tanggung jawab dua wanita."
"Jadi mas menolak?"
Gandi terdiam beberapa saat. Kemudian menarik nafas panjang dan berat.
"Aku juga berat untuk menolak karena papa dan mama sangat ingin melihat anakku."
Hancur hati Nadia mendengar itu. Kedua matanya kembali banjir dengan airmata.
"Oh, ternyata mas menerima perjodohan itu dan akan menikah dengan Putri."
"Tidak juga. Aku sedang meminta waktu kepada mama dan papa untuk berpikir."
"Waktu untuk berpikir atau waktu untuk bisa menerima rencana pernikahan itu, mas?"
Gandi kembali terdiam. Tampak dia sulit untuk menjawab pertanyaan Nadia yang tidak ada habisnya dan semakin menyudutkannya.
Namun Nadia tidak menyerah. Dia menatap suaminya itu lekat. Berjanji tidak akan berubah sebelum Gandi menjawab.
Gandi memaksakan senyum. Dia lalu mengusap tangan Nadia. "Tidurlah lagi. Jangan banyak pikiran. Apa pun yang terjadi, kamu harus tau bahwa aku mencintai kamu. Aku mau ke kamar mandi dulu."
Gandi berdiri. Tapi Nadia langsung menarik tangan suaminya itu. "Kita belum selesai bicara mas."
"Beri aku waktu untuk berpikir. Baru setelah itu kita bicarakan lagi masalah ini. Saat ini aku benar-benar stress memikirkan hal ini. Rasanya kepala mau meledak."
Mendengar itu, Nadia mengatupkan bibirnya seketika. Dia tidak berani untuk memaksa lagi karena Gandi terlihat sengsara dengan apa yang terjadi.
Nadia pun melepaskan tangannya, membiarkan Gandi meninggalkannya masuk ke kamar mandi.
***
Malam itu Nadia tidak bisa tidur. Dia sangat gelisah. Miring kanan, kiri, telentang, atau pun tengkurap semua tidak bisa membuatnya mengantuk.
Sebenarnya, Nadia sangat ingin bertanya pada pada Gandi mengenai kecenderungan hati pria itu. Apakah berat kepadanya atau kepada kedua orangtuanya. Akan tetapi selain pertanyaan itu terkesan tidak sopan, saat ini dia tidak berani untuk mengganggu ketenangan Gandi yang katanya butuh waktu untuk memikirkan perjodohannya dengan Putri.
Namun jika melihat sikap suaminya kepada orangtua selama ini, bisa dipastikan Gandi tidak bisa membantah keinginan mereka. Apalagi dengan alasan yang tepat, dirinya belum bisa hamil.
Akan tetapi, meskipun dia mengetahui kekurangannya yang belum bisa memberikan keturunan, dia sangat tidak terima dimadu. Membayangkan Gandi berdua di dalam kamar dengan wanita lain saja hatinya sudah sakit.
Maka hingga dini hari, Nadia tetap terjaga. Hingga dia terhenyak dengan suara denting ponsel Gandi sebagai tanda bahwa ada pesan yang masuk.
Nadia tertegun. Siapa malam-malam begini yang mengirim pesan kepada suaminya?
Nadia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Dia beranjak bangun dengan pelan-pelan dan mendekati meja rias di mana ponsel Gandi saat ini tergeletak. Setelah sampai, cepat-cepat dia membuka pesan itu dan terhenyak. Ternyata itu adalah pesan dari Putri.
'Sudah tidur belum, Gan? Aku tidak bisa tidur memikirkan ini. Rasanya deg-degan. Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu juga sudah membicarakan hal ini dengan Nadia dan memperoleh keputusan?'
Mata dan hati Nadia langsung panas membaca pesan tersebut. Rasanya dia ingin menelpon wanita yang bernama Putri itu dan memaki-makinya. Tapi otaknya masih bisa berpikir jernih dan bisa menahan amarah. Dia hanya menaruh ponsel itu kembali ke atas meja rias sebelum akhirnya dia terduduk di kursi meja rias dengan wajah yang memucat.
'Apa yang sebenarnya ingin dibicarakan Mas Gandi denganku, Tuhan? Apakah dia hendak memintaku untuk mengikhlaskannya menikah lagi? Sungguh aku tidak bisa melakukan itu.'
Bersambung.