Hal yang selalu dikerjakan oleh Nadia sebagai seorang istri adalah memasak makanan buat suami.
Begitu pun dengan pagi ini. Meskipun dia kurang tidur semalam dan hatinya gundah gulana, dia tetap mengerjakan tugasnya tersebut. Dia selalu berusaha untuk memasak makanan yang lezat untuk sang suami.
Setelah masakannya jadi semua, dia lalu menyusunnya di meja makan sebelum kemudian membuatkan teh hangat. Gandi sangat menyukai teh hangat buatannya.
"Nadia!"
Panggilan Gandi membuatnya menoleh. Dia mendapati suaminya itu sudah siap dengan jas kerjanya. Gandi terlihat tampan mengenakan jas itu. Oh, tidak. Pakai apapun akan membuat Gandi terlihat tampan.
"Ya mas."
"Aku baru cek ponsel. Aku menemukan chat dari Putri yang belum aku baca tapi sudah bertanda terbaca. Kamu yang membacanya ya?"
Nadia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, mas. Maaf. Aku tidak bisa tidur semalam dan mendengar ponsel mas berdenting. Entah mengapa aku tidak bisa menahan diri untuk melihat."
Gandi menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat gelisah. "Lain kali jangan lagi membaca pesan yang masuk ke ponselku tanpa seizinku."
Mata Nadia mengedip. "Memangnya kenapa mas? Bukankah selama ini aku sering membaca pesan yang masuk ke ponsel mas dan mas tidak keberatan? Bukankah untuk saling keterbukaan dalam hal apapun adalah prinsip yang kita sepakati bersama sejak sebelum menikah?"
"Tapi tidak mulai hari ini."
Nadia menyipitkan mata. "Apa karena mas mulai memiliki rahasia?"
Gandi mengibas tangannya. "Tolong jangan banyak tanya." Dia lalu menarik kursi dan mulai sarapan.
Nadia mengulum bibir bawahnya. Ada benda tajam yang menusuk hatinya. Sakit sekali mendapati jawaban Gandi yang seperti itu.
Nadia menarik kursi makan yang ada di hadapan Gandi dan duduk di sana. "Terus apa maksud dari pesan kiriman dari Putri? Apa yang mas akan bicarakan denganku tapi belum mas bicarakan? Apa ini berkaitan dengan perjodohan mas dengan Putri? Mas setuju untuk menikahinya? Mas hanya butuh momen yang tepat untuk mengatakannya padaku?"
Rahang Gandi mengencang. Jemarinya juga mengepal. "Aku sudah bilang kan untuk tidak banyak tanya."
"Tapi memang ada yang hendak mas bicarakan denganku kan? Apa itu? Kenapa harus ditunda dan mas terkesan berat untuk menyampaikannya?"
Gandi menyandarkan punggungnya ke penyangga kursi. "Aku bingung. Aku sangat bingung. Aku takut menyakiti perasaanmu. Karena itu berat sekali untuk mengatakannya."
Nadia menelan salivanya. Jawaban Gandi adalah penjelasan secara absurb atas keputusan yang kemungkinan sudah dibuat oleh suaminya tersebut.
Nadia menata hati. Meski begitu matanya dia tidak mampu membendung air mata yang jatuh mengalir menyusuri pipinya yang mulus.
"Mas, menerima perjodohan itu?"
Takut-takut Nadia mempertanyakan itu. Tapi mau bagaimana lagi, penting untuk mengetahui keputusan Gandi sejak dini.
"Jika iya, apakah kamu akan marah?"
Sendi-sendi Nadia melemas seketika. "Apa mas perlu mempertanyakan itu lagi? Mas pasti tau bagaimana rasanya diduakan bukan? Wanita yang bernama Putri itu kan yang dulu menduakan mas hingga akhirnya mas menikah denganku?"
Gandi mengusap keningnya. "Itu sebabnya mas tidak mau mengatakannya, Nad."
"Oh, jadi mas memang sudah memutuskan untuk menerima perjodohan ini? Yang artinya mas bersedia menikahi Putri?"
Gandi membisu melihat emosi yang mulai tampak pada Nadia. Dia tidak berani untuk melanjutkan obrolan ini. "Aku... tidak ingin membahasnya lagi."
Gandi berdiri. Dia sudah tidak berselera untuk menghabiskan sarapannya.
Mata Nadia melebar melihat reaksi Gandi yang hendak meninggalkannya dalam keadaan bingung dan emosi. Zara pun ikut berdiri. "Mas, kita belum selesai bicara."
Gandi tak memperdulikan ucapan Zara dan lebih memilih menerima telpon masuk.
"Halo," sapanya lirih sembari berjalan meninggalkan ruang makan sekaligus Nadia yang berharap jawaban.
Nadia lemas mendapati hal ini. Dia kembali duduk dan menangis tersedu-sedu. Bagaimana tidak, Gandi bahkan tampak sudah berubah meskipun belum pasti menikahi Putri.
Tangis Nadia tiba-tiba terhenti karena ponselnya yang ada di dekat kompor bergetar. Nadia mengusap basah di wajahnya dengan kasar sebelum akhirnya beranjak mengambil ponselnya itu. Tapi dia ragu untuk menerima setelah tahu yang menelpon adalah Ambar, ibu mertuanya.
Nadia menimang-nimang haruskah dia menerima telpon tersebut atau tidak. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menerima.
"Halo, ma," sapanya lembut.
"Nad, apa Gandi sudah mengatakan kepadamu bahwa dia sudah setuju menikahi Putri?"
Tanpa basa-basi ibu mertuanya itu bertanya seperti itu. Sebagai sesama perempuan, tidakkah ibu mertuanya itu peka dengan perasaannya?
"Ma-mas Gandi belum mengatakannya secara gamblang, ma."
"Tapi kamu sudah tau bukan kalau dia sudah menyetujui untuk menikahi Putri?"
Nadia memejamkan mata. "I-iya, ma."
"Baguslah. Mama harap kamu bisa mengerti situasi Gandi dan kami semua. Kamu tidak boleh egois dengan melarang Gandi menikah lagi. Ini akan mempersulit dirinya dan kami semua."
Harus mengerti dan tidak boleh egois?
Sebenarnya siapa yang tidak mengerti dan egois itu? Dirinya kah? Jadi jika dia tidak setuju suaminya menikah lagi maka dirinya adalah wanita yang egois?
Setetes bening mengalir kembali dari kedua mata Nadia. Sakit sekali hatinya saat ini. Rasanya seperti dicabik-cabik dengan membabi buta.
"Hei, kenapa kamu diam saja, Nad? Bicara dong. Mama ingin mendengar ucapan dari mulut kamu bahwa kamu tidak melarang Gandi menikah lagi sehingga putraku itu tidak banyak alasan untuk menikahi Putri. Kami ini sudah ingin cucu dari Gandi. Kami sudah yakin kamu tidak akan bisa memberinya keturunan. Ini hanya akan melelahkan kita semua."
Nadia sudah tidak tahan lagi. Dia menarik ponselnya dari telinga dengan perlahan. Dia tidak ingin lagi mendengar penjelasan, permintaan, perintah, atau apapun itu dari sang mama mertua. Hatinya sudah teramat sakit sehingga untuk berdiri saja gemetaran.
Nadia menaruh ponselnya begitu saja di tempatnya semula sebelum akhirnya berjalan dengan sempoyongan menahan perih teramat sangat di hati menuju sofa. Dia kembali menangis tersedu hingga menit demi menit berlalu. Bahkan, dia ketiduran di sana hingga siang datang.
"Astaga, sudah jam berapa ini?"
Nadia panik mencari jam dinding. Bahkan dia lupa di mana jam dinding itu menggantung. Dia terhenyak begitu mendapati hari telah sangat siang sedangkan pekerjaan rumah belum ada yang dikerjakan.
Nadia bangkit. Dengan cekatan dia menyelesaikan pekerjaan rumah tanpa ada yang terlewat satu pun. Hatinya terasa agak enteng ketika bekerja seperti ini. Luka hatinya sedikit terobati. Kalau begitu dia tidak boleh berhenti bekerja.
***
Rumah sudah mengkilat. Tak ada sebutir debu pun yang menempel apalagi sampah. Semua benda terpasang dan tertata rapi di tempat yang seharusnya. Rumah pun terlihat mengagumkan.
Nadia kelelahan. Dia memutuskan untuk beristirahat di teras dengan tangan masih memegang serbet. Dia pun tersadar kalau ternyata hari telah sore dan dia belum mandi beberapa menit kemudian. Bagaimana jika Gandi melihatnya dalam keadaan seperti ini?
Itu tidak boleh terjadi. Dia harus terlihat lebih cantik dari Putri sehingga sang suami bisa mempertimbangkan keinginan kedua mertuanya untuk menikah lagi. Selama Gandi belum mengatakan secara jelas keputusannya untuk menikahi Putri, maka harapan masih ada.
Tapi baru saja hendak berdiri, mobil Gandi memasuki halaman. Nadia pun terpaksa mengurungkan niatnya dengan hanya merapikan rambut dan pakaiannya.
Ketika Gandi turun, suaminya itu memperhatikannya dengan dahi mengerut. "Kamu belum mandi? Pakaianmu masih yang tadi pagi?"
Nadia memaksakan senyum. "Ee iya. Aku terlalu asik beres-beres sehingga sampai lupa mandi."
"Oh, ya sudah mandi dulu sana."
"Iya. Aku mandi sekarang."
Setelah berlari Nadia masuk ke dalam kamar. Dia hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mandi. Keluar dari kamar mandi, dia terkejut melihat Gandi sedang memasukkan pakaian ke dalam koper.
"Lho, mas mau kemana?"
Bersambung.