bc

My Lecturer Mr. Judge!

book_age16+
41
FOLLOW
1K
READ
HE
curse
badboy
bxg
kicking
campus
enimies to lovers
professor
wild
like
intro-logo
Blurb

Di tengah usahanya mengejar gelar sarjana Psikologi demi mewujudkan permintaan terakhir almarhumah ibunya, Hana (26) harus berhadapan dengan dosen killer—Gunawan—yang ia juluki sebagai Mr. Judge. Tak hanya sebagai dosen, status Gunawan dan dirinya yang tak jelas di masa lalu menambah petaka tersendiri bagi Hana, pasalnya, dosennya itu selalu bersikap dingin, keras, dan arogan saat memberikan bimbingan padanya. Tak pelak perlakuan diskriminatif dan penuh intimidatif Gunawan membuatnya hampir mengalami cidera otak berat!

Masalah lainnya, Hana harus berkejaran dengan waktu lantaran semester ini adalah kesempatan terakhirnya sebelum DROP-OUT dari kampus setelah menghabiskan 14 semester masa perkuliahan.

Mampukah, Hana menyelesaikan misi mengejar gelar sarjana tepat waktu? Lantas, bagaimana dengan perasaannya terhadap Gunawan?

chap-preview
Free preview
Bab 1. Pertemuan Kembali
“Iya Mas, ini aku masih nunggu dosen pembimbing. Nanti, aku kabari lagi ya?” ucap Hana sebelum kemudian menutup sambungan teleponnya dan kembali bersandar pada kursi di ruang tunggu fakultas psikologi. Perempuan bernama lengkap Hana Anastasya itu duduk gelisah sambil sesekali menghela napas panjang, ditatapinya ruang tunggu fakultas yang masih ramai. Setidaknya ada 10 mahasiswa yang sedang mengantri untuk melakukan bimbingan skripsi. Dari banyaknya mahasiswa yang sedang menjalani proses skripsi, ia yakin dirinyalah yang paling senior. Bagaimana tidak, ia satu-satunya mahasiswi yang duduk di semester 14, di usianya yang sudah menginjak 26 tahun. Beruntung, wajah dan tubuh mungilnya menyamarkan jumlah usianya. Bahkan ia masih sering disangka sebagai anak SMA, jika itu bisa disebut prestasi. Namun, prestasi sesungguhnya baginya adalah setelah dua tahun berkejaran dengan waktu, akhirnya ia sampai di penghujung kariernya sebagai mahasiswi abadi. Satu langah terakhir sebelum ia menuntaskan permintaan terakhir sang ibu yaitu menjadi sarjana. “Hem roman-romannya ada yang nanti mau ngedate nih?” ucap Anita setengah bertanya, lebih tepatnya menggoda. Adik tingkat yang juga sedang mengambil skripsi bersamaan itu memang sudah lama mengenalnya. Mereka menjadi sangat dekat lantaran sering mengambil kelas yang sama. Selain itu, Anita juga menjadi salah satu karyawan di toko bunga milik Hana. Hana menoleh pada lawan bicaranya, “Kepo!” Baru saja Anita akan menanggapi, namanya dipanggil oleh mahasiswa yang baru saja keluar dari salah satu ruangan dosen. “Duluan ya Kak, do’ain lancar,” bisik Anita sebelum melenggang dengan langkah gugup dan tergesa. Hana pun mengepalkan kedua tangannya, memberikan semangat pada adik tingkatnya seraya tersenyum menampilkan lesung pipit di kedua pipinya. Hana melirik jam di pergelangan tangan kirinya, sudah hampir satu jam berlalu, tetapi belum ada tanda-tanda Anita selesai, sementara ponselnya kembali berdering. Sebuah panggilan masuk dari Pram—kekasihnya, tetapi Hana memilih menolak panggilan tersebut lalu mengirimkan pesan singkat jika dirinya belum selesai dengan urusan skripsi. Ia yakin Pram pasti mengerti akan situasinya. Jika tidak salah mengingat, pagi tadi bu Tasyi—dosen kepala urusan skripsi—mengatakan ia akan dibimbing oleh dosen baru yang bernama Gunawan Mahendra atau mungkin ia salah mendengar karena sedang tidak fokus ketika bu Tasyi meneleponnya. “Ah nggak mungkin itu mas Gun,” batin Hana, ia mendadak cemas mengingat nama itu. Dari slentingan mahasiswa yang tak sengaja Hana dengar beberapa saat lalu, Gunawan adalah dosen muda yang baru lulus S2 di salah satu universitas luar negeri di Australia. Jujur saja, Hana tak peduli dengan latar belakang pendidikan dosen pembimbingnya, siapa pun dosen tersebut, seharusnya tak jadi masalah karena yang terpenting ia bisa segera menyandang gelar sarjana sebelum … didrop out dari kampus. “Inhale … exhale….” Bibir Hana berkomat-kamit membimbing otaknya untuk lebih tenang. Ia singkirkan semua kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Namun, seberapa pun kerasnya seseorang berharap, yang menentukan tetap kenyataan. Dua tahun yang lalu Hana kembali melanjutkan kuliahnya setelah tiga tahun mengambil cuti panjang. Sesuai peraturan, pihak kampus memberinya waktu empat semester atau dua tahun saja untuk menyelesaikan kuliahnya karena ia sudah terlalu lama cuti. Dengan waktu yang sesingkat itu, Hana benar-benar harus berjuang lebih keras untuk mengejar ketertinggalan. “Kak Han, dipanggil pak Gunawan,” ucap Anita yang baru saja keluar dari ruangan Gunawan. Satu tangannya ia gerakkan di depan wajah Hana. “Hah?” Hana celingukan ke kanan dan kiri, sedikit panik. “Malah ngelamun.” Anita menggeleng pelan seraya memutar bola matanya. Hana yang sempat hilang konsentrasi karena terlalu lama menunggu kembali tersadar. “Ya sudah Kak, aku ke toko duluan ya? Eh Pak Gun baik banget kok, jadi nggak perlu gugup Kak, kecuali gugup karena dia ganteng banget. Hehe…,” lanjut Anita setengah berbisik, yang bahkan demi Tuhan, Hana tak peduli sekalipun dosennya setampan Gordon Levvit. Setidaknya ada dua belas kubikel yang masing-masing berukuran tiga kali dua meter. Setiap kubikel, dibatasi dengan dinding kaca, dengan proporsi setengah ke bawah kaca berbahan sandblast dan setengah ke atas kaca transparan. Sayangnya, kaca bening tersebut tertutup tirai sehingga Hana tak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajah dosennya. Setelah memantapkan niat, Hana pun mengetuk pintu ruangan Gunawan tiga kali ketukan sebelum akhirnya sebuah suara bas yang cukup familiar terdengar tegas menyuruhnya masuk. “Masuk!” “Tenang Hana, hanya kebetulan saja suaranya mirip,” Hana kembali menangkan diri dari perasaan rasa gugup. Gugup adalah respon yang wajar ketika seseorang baru pertama kali melakukan hal yang cenderung menegangkan. Percayalah, skripsi adalah momok menakutkan bagi kebanyakan mahasiswa tingkat akhir, terlebih untuk Hana yang nyaris DO! Namun, bukan hanya karena hal itu. Hana memberanikan diri memutar gagang pintu. Perempuan itu pun masuk dan mengulas senyum ramah. Ia ingin memberikan kesan baik di hari pertamanya. “Permisi Pak Gun—” Mendadak Hana menghentikan kalimatnya ketika pria yang duduk di dalam ruangan itu menegakkan wajahnya, dan menatapnya datar. Mas Gun? lanjutnya dalam hati. Benar, Hana tidak salah melihat. Pria itu kembali muncul setelah tiga tahun menghilang tanpa alasan. Gunawan Mahendra, sosok pria yang kini duduk di kursi ruang dosen itu menatapnya datar. Berbeda dengannya yang gugup menahan campuran emosi di d**a, Gunawan tampak santai seolah pertemuan mereka bukan hal yang mengejutkan. “Kenapa masih berdiri di sana?” tegur Gunawan karena Hana masih saja berdiri di ambang pintu ruangan berukuran dua kali dua meter itu. Dengan langkah berat, Hana pun berjalan menuju meja Gunawan seraya memperhatikan raut tegas pria yang semakin tampak tampan, namun sekaligus menebarkan aura kebencian padanya. “Duduk,” lanjutnya santai, mempersilakan Hana duduk. Hana mengangguk canggung. Matanya selalu berusaha menghindar dari tatapan pria yang pernah singgah di masa lalunya itu. Hana, tenanglah, batinya memberi semangat. Tetap saja persasaannya bagai diaduk-aduk, tak karuan. “Hana Anastasya …?” Gunawan membaca nama Hana dengan nada setengah bertanya dan setengahnya lagi Hana yakin pria di depannya sedang mencemooh, terlihat dari caranya duduk bersandar dan senyum miring tercetak samar di bibirnya. Hana menunduk tak acuh dengan sikap yang Gunawan tunjukkan. Dengan cepat, ia menarik keluar formulir pengajuan judul skripsi yang sudah mendapat persetujuan dari bu Tasyi. Ia hanya ingin urusan skripsinya segera selesai. “Kenapa terlambat?” Belum juga Hana mengatakan sepatah kata pun, Gunawan sudah memojokkannya dengan pertanyaan menohok. Ya, seharusnya Hana memang datang lebih awal sesuai jadwal yang sudah diumumkan oleh dosennya. “Ta—tadi saya ada—” Gunawan mengecek jam tangannya. “Buang-buang waktu saya saja,” potong Gunawan sebelum Hana sempat menjelaskan situasinya. Gunawan membuang muka, menghindari tatapan Hana, membuat Hana mencelos dengan tingkah angkuh sang dosen. “Seharusnya saya sudah pulang sejak tadi, gara-gara kamu saya masih di sini,” imbuhnya dengan bersungut-sungut. Raut wajahnya sangat tidak ramah, berbeda sekali dengan apa yang Anita katakan. Sungguh tidak profesional! Untuk menghindari perdebatan yang tidak penting, Hana pun akhirnya meminta maaf. Baginya, jika meminta maaf bisa membuat masalah selesai, kenapa tidak? Tak peduli apapun alasannya, toh dalam hal ini Hana memang salah. “Maaf. Saya salah,” tuturnya, menurunkan ego. “Gara-gara kamu, istri saya harus menunggu—” “Istri?!” Bersambung….

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook