Kabar itu menghantam Hudson seperti badai: istrinya, belahan jiwanya, kini terperangkap dalam genggaman keluarga Haxonder, nama yang berbisik ketakutan di seluruh wilayah. Amarah membabi buta menyergapnya. Ia membanting tinjunya ke meja kerja, sekali, dua kali, hingga puing-puing kayu dan kertas berserakan. Ruangan itu menjadi saksi bisu kemarahannya yang meluap. Ia menyadari, membawa istrinya pulang bukanlah sekadar permintaan, melainkan pertempuran sengit melawan kekuatan yang tak terjamah. Sebuah desakan mendesak untuk bertindak, namun juga sebuah pengakuan pahit akan kesulitan yang akan ia hadapi. Tanpa buang waktu, jemarinya yang gemetar meraih ponsel, menekan nomor kontak yang telah lama ia hafal: teman polisinya. Bukan untuk kekerasan, bukan untuk konfrontasi langsung, tetapi untu

